Poster
dan baliho bilang “Marhaban Ya Ramadhan.” Di tiap sudut dan tergantung pada gerbang instansi-instansi
pemerintah atau swasta, entah apa yang terjadi, sebab poster yang bertuliskan kalimat
tersebut selalu ada pada momentum seperti saat ini – ramadhan. Sepintas kalimat
tersebut menjadi sebuah dillah syartiah yang menunjukkan bahwa
penduduk sekitar atau penghuni tempat tersebut ialah merupakan orang yang taat
dalam menjalankan ibadahnya. Namun di sisi lain, kalimat tersebut ialah hanya
sebuah instruksi dari up line kepada karyawannya, yang dengan harapan
mengajak semua elemen masyarakat dalam menjalankan salah satu rukun islam
tersebut.
Pada gilirannya, hari-hari pada bulan ramadhan ini
merupakan hari hari yang serba diatur, baik pola hidup dan juga pola
spiritualnya. Momentum ramadhan biasa dikatakan sebagai moment banjir pahala
oleh sebagian orang, dengan ketekunan serta militansinya dalam berinteraksi
dengan pemilik semesta. Akan tetapi dalam kaca mata yang lain, ramadhan menjadi
sebuah momok tersendiri dalam kesehariannya. Tidak disanksikan lagi apabila
dalam bulan ini angka kriminalitas atau tingkat kejahatan mengalami kenaikan
yang signifikan, seperti maling, begal, jambret dan lain-lain. Hal tersebut
tentu merupakan sebiuah reaksi atas kurangnya tingkat kewaspadan masyarakat
yang, kejadian tersebut memang terjadi pada bulan-bulan lainnya, baik bulan
konvensional atau pun syari’ah, terlebih apabila melihat tingkat konsumtif
masyarakat pada bulan ramadhan ini, seperti akan adanya pasar dadakan pada sore
hari menjelang berbuka puasa, budaya ngabuburit yang biasa dijumpai di
jalanan, yang dengannya segera menyusul angka kecelakaan yang juga sama
tingginya. Maka dengan bergelimangannya fenomena tersebut maka ramadahan
merupakan sebuah bulan yang begitu menekankan aspek kontrol atas kesadaran
(baca; taqwa).
Dari berbagai fenomena kecelakaan dan kejahatan lainnya
dalam bulan ramadhan ini, maka perspektif ramadahan akan sedikit bergeser
pemaknaannya, dari yang di maknai sebagai bukan yang penuh berkah, seketika
berubah maknanya menjadi bulan yang penuh dengan musibah. Terlebih, ramadahan
hari ini adalah ramadahan yang begitu bersinergi dengan teknologi – sosial
media, semua kebaikan di lempar pada dinding sosial media tersebut, yang jelas
menjadikannya suatu multitafsir, apakah termasuk pamer atau riya atau
memang hal biasa dalam arti sesuatu yang lumrah, yang juga merupakan kejahatan
psikologis, sebab pada saat ini pencitraan adalah raja.
Elegi ramadhan menjadi
sayu saat kaca mata yang digunakan adalah kaca mata lain, kacamata dari sebuah
siklus atas realitas di bulan ramadhan ini, dan ramadhan menjadi semacam
karnaval semata, sebuah seremoni akan adanya sahur, ngabuburit, tarawih
hingga tadarus yang diekspos secara masal. Kata mutiara semisal pahala yang
didengungkan oleh da’i masihkah relevan dalam panggung marabahaya ramadhan
seperti saat ini? Meskipun hal demikian terlampau abstrak apabila di diskusikan
atau di jadikan sebuah lekukan retorika. Menjadikan pahala sebagai prioritas
atas sebuah suatu ibadah merupaka hal yang kosong dari esensi ibadah itu
sendiri, tak ayal sama dengan apa yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan.
Dan oleh karena ramadhan menjadi sebuah ajang atas sebuah evaluasi diri atau muhasabah
dalam hiruk-pikuk dunia nyata atau pun dunia maya, bahwa ramadhan adalah bulan
yang hendak menjaga kewarasan masal, juga menekankan akan pentingnya ibadah mahdah
(vertikal) dan ghairu mahdah (horizontal), dengan ibadah sosial yang tidak bisa diabaikan
begitu saja, sebagai respon akan marabahaya akan ramadhan itu sendiri.
Tidak seorangpun menafikan akan keindahan ramadhan ini,
namun ramadhan yang selaras akan spirit islam yaitu rahmatul lil alamin
dan bukan sebaliknya, teror dan ketakutan yang disebarkan dalan entitas
masyarakat. Ramadhan pun dapat menjadi sebuah media kontemplatif yang begitu
dasyat atas pelarian dari realitas yang, begitu chaos dalam menangkal
bahaya kemiskinan dan kelaparan, dikala kebnyakan manusia sibuk memamerkan apa
yang dilakukannya dengan disolek pada dinding media sosial tersebut. Ketaqwaan
menjadi sebuah kontrol akan kesadaran yang sering di definisan sebagai;
menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya (baca;
kewarasan), dalam konteks ini adalah menjaga sebuah keteraturan sosial. Sebab,
dalam Rumah Kaca besutan Pramoedya Ananta Toer; “Hidup ini sederhana,
yang hebat hanyalah tafsirnya.” Begitu pula ramadhan, adalah bulan yang
biasa namun ditafsirkan sehebat-hebatnya oleh manusia sebagai tataran
seremonial semata.
Minggu, 28 Mei 2017
Ahonk bae
Posting Komentar