[ads-post]

Di dalam suatu sistem sebuah pemerintahan dunia, begitu banyak yang diantut oleh oleh bangsanya, sesuai konsensus rakyatnya. Dari mulai demokrasi, aristokrasi, teokrasi hingga dinasti, dan dengan definisi yang micro yang mengatakan bahwa dinasti ialah; keturunanan raja-raja yang memerintah, semua berasal dari satu keluarga. Berbagai unsur yang mengejawantahkan bahwa dinasti ialah sebuah suatu sistem turunan dari masa yang lalu (baca; feodal) dan feodal sendiri memiliki pengertian; seseuatu yang berhubungan dengan susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan, dan feodalisme ialah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan, serta mengagung-agungkan pangkat atau jabatan, dan sistem ini telah dianut oleh Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh kekuasaan yang besar di tangan tuan tanah. Dan juga telah tumbuh subur dimana-mana. Baik belahan bumi barat atau pun Timur, dengan rentetan psycho-monarcy yang tertanam dalam setiap personel kerajaannya – keluarganya.

Sistem yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa hingga beberapa sub-nya bermuara pada kerajaan tersebut, dan setiadaknya siapa yang hendak melawan sistem tersebut maka semua orang tentu mengatakan “bersiaplah”, karena feodalisme dan dinasti memiliki kemiripan, dan tentu feodalisme adalah bagian dari paham kekuasaan dalam kebangsaan dan ketatanegraan sebagai bentuk politik yang paling besar dan paling tua. Hingga banyak pihak yang mengatakan bahwa feodalisme sangat merugikan sebagian besar masyarakat atau rakyat. Kontribusi yang buruk menjadi sebuah citra tersendiri dalam kinerja yang buruk (baca; dalam memperlakukan rakyat) sebab telah menyimpang dari prinsip yang ideal, dalam arti yang baik dan benar. Sehingga feodalisme sering mendapat stereotipe atau juga stigma secara umum, sebab feodalisme atau dinasti merupakan sebuah bentuk baru dari dari masyarakat primitif, yang dapat dikatakan tidak ada aktivitas politik sebab masih hidup secara nomaden atau beripndah-pindah. Dan selain itu yang menjadi sebab akan sebuah kemunduran atau dekadensi sebuah masyarakat yang menganut sistem tersebut (dinasti atau feodal) ialah, mereka turut campur dalam sistem-sistem yang langsung bersentuhan dengan masyarakat gress root, sehingga memungkinkan adanya sebuah aturan yang dibuat dan ditetapkan sekehendak hatinya dan out put produk dari sistem tersebut adalah ‘ketundukan.’ Karena dalam feodalisme, kekuasaan – baik berupa tahta, jabatan, kedudukan, atau posisi merupakan sebuah prestasi – apakah itu sebagai darah atau trah dari keluarga yang “berprestasi dan diprestasikan,” sebagai bangsawan, atau prestasi yang didapat dan diperjuangkan sendiri, bukan sebagai tanggungjawab atau beban tugas yang harus dilaksanakan sebaik dan semaksimal mungkin sebagai pekerjaan yang menuntut profesionalitas. Dan karenanya feodalisme dengan ‘jarinya’ dapat mengatur segalanya, hingga ranah abstrak pun dapat tersentuh; dari mitologi hingga kata pamali pun sengaja dicipta demi melanggengkan tampuk kekuasaannya.

Sehinga pada prinsipnya, feodalisme dan dinasti merupakan suatu paralel yang terhubung menuju medan magnet kekuasaan yang absolut. Seperti; 1) Kekuasaan, hasrat terhadap kekuasaan merupakan sesuatu yang bersifat naluriah yang ada pada semua mahluk hidup, baik binatang, tumbuhan dan juga manusia. Dan kekusaan yang dimaksud adalah kekuasaan yang menghinggapi manusia, baik dalam sektor politik, sosial, budaya, reliji, dan ekonomi. Dalam model kekuasaan maupun sistem dan strategi antara manusia masa prasejarah atau primitif tidak jauh berbeda dari bentuk, sistem dan strategi di dunia binatang. Setelah itu ia berkembang mengikuti perkembangan budaya yang terjadi dan dilakukan oleh kelompok manusia yang bersangkutan. Sistem yang pertama kali muncul dalam dunia manusia, yaitu dalam bentuk leader kelompok yang terdiri dari anggota keluarga. Selanutnya, terjadi penyatuan antar keluarga yang membentuk komune atau kesukuan. 2) Kekerabatan, prinsip kekerabatan (karib) tersebut, dalam kekuasaan menjadi baku setelah memasuki gerbang feodalismesebagai progres dalam kancah perpolitikan, dengan terbentuknya sistem pemerintahan baru yang berbentuk “kerajaan.” Dalam sistem pemerintahan kerajaan, semua sektor dengan semua strata kekuasaan dari yang tertinggi hingga terendah dipegang oleh orang-orang yang terikat dalam kekerabatan, yang lazim disebut “kaum bangsawan.” Apabila semakin tinggi dan semakin penting jabatannya, semakin dekat relasi yang terbentuk, maka semakin dekat pula dengan raja. Dan untuk melanggengkan prinsip kekuasaan tersebut, maka konstruksi sistem dan strategi menjadi sesuatu yang wajib pula, karena semata-mata demi eksistensi kekuasaannya yang langgeng. 3) Pengkultusan, hal ini merupakan entuk pengembangan dari kodrat manusia itu sendiri sebagai mahluk sosial (baca; megalomaniak). Dan bentuk pengkultusan hanya ada dalam dunia manusia. Dan dari sistem ini, menjadi qarinah akan sebuah penjagaan atas eksistensi feodal dan dinasti tersebut, dan juga sistem kekuasaannya karena menempat jajaran penguasa yang dikultuskan sebagai manusia super, sebagai titisan dewa atau bahkan demagod.

Apabila bentuk pemerintahan seperti kerajaan atau dinasti hingga feodal sekalipun, hal itu tentu tidak menjadi soal, apabila pemimpinnya memang insyaf betul dengan amanat yang dibebankan pada pundaknya sebagai bagian yang tak bisa ditawar lagi, seperti yang terdapat dalam sebuah  hadist yang menyertakan watak kepemimpinan, atau dalam konteks ini adalah raja dengan sebuah pakem yang maenstream bahwa menjaga amanat merupaka sebagian dari iman:

حدّ ثنا عفّان حدّ ثنا حمّاد حدّ ثنا المغيرة بن زياد الثّقفيّ سمع أنس بن مالك يقول إنّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم  قال : لا إيمان لمن لا أما نة له ولا دين لمن لا عهد له

“Rasullah bersabda; tidak beriman orang yang tidak bisa menjaga amanah yang dibebankan padanya. Dan tidak beragama orang yang tidak bisa menepati janjinya.”               

Namun menurut Ankie dalam Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang-nya(1985) mengatakan; “Kelompok yang menguasai ekonomi, (memiliki) kecenderungan merampas tanggung jawab dan hak-hak politik dalam rangka mengkonsolidasikan posisinya,” kemudian dalam sistemnya, feodal juga memiliki ciri khas tersendiri. Yakni sistem; 1) Birokrasi, dalam sistem kerajaan di Jawa, sistem pemerintahannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pemerintahan dalam istana dipegang oleh Patih Dalam (parih lebet), dan di luar pemerintahan dipegang oleh Patih Jawi. Patih-patih tersebut bertugas mengkordinasi para pejabat yang mengurusi bidangnya, biasanya di sebut wedana. Patih dan wedana dalam mengurusi segala macam urusan istana dan yang terpenting melayani kepentingan raja dan para penghuni istana, dan keduanya (patih dan wedana) tidak lebih seperti abdi dalem. Seperti gubahan Imam as-Syafi’i dalam sya’irnya;

إن الملوك بلاء حيثما حلّوا {} فلا يكن لك فى أبوابهم ظلّ

“Sungguh birokrasi itu merupakan petaka di manapun berada, maka janganlah kamu nyaman duduk (meski) di pintunya”

2) Kemiliteran, dalam sistem pemerintahan manapun militer atau penjaga wilayah selalu eksis, demi mejaga sebuah kedaulatan wilayah tersebut. Seperti apa yang disebut sebagai punggawa yang juga mengurusi birokrasi kerajaan tersebut, dan dalam struktur tersebut punggawa yang bertugas dibedakan dalam segi pakaian atau seragamnya, seperti penggunaan baju jirah. Keprajuritan ini juga dibagi kedalam dua bagian, pasukan yang bertugas di luar istana dipegang oleh seorang senopati atau panglima dibawah pimpinan Patih Jawi, sedangkan yang bertugas di dalam istana kerajaan di pimpin oleh wedana keparak di bawah kendali atau komandi Patih Dalam. Dan tujuan adanya militerisme dalam sebuah sistem pemerintahan feodal sendiri ialah; pertama, dalam meyakinkan bahwa kekuasaan tersebut benar-benar ditangan kelompok feodal, maka dibutuhkan sebuah hierarki yang benar-benar ketat. Kedua, guna mengamankan setor-sektor vital sebagai pendukung terhadap eksistensi dan pengambangan feodalisme itu sendiri.  3) Reliji, di bidang ini, atau sistem reliji yang diaplikasikan oleh feodal ini, mereka bukan hanya memegang kendali sebagai pemimpin agama dari pusat, bahkan sampai ke suatu entitas pun tak luput dari ‘cengkramannya’, namun juga memposisikan diri sebagai seorang tokoh kultus dalam agama dan juga sebagai pengendali dua alam, yakni alam nyata seperti saat ini dan alam eskatologi. 4) Budaya, dalam perkembangannya budaya juga telah terkooptasi oleh kepentingan feodalm itu sendiri, selain mereka sendiri penentunya, mereka pula yang terdapat dalam penokohan tersebut, seperti yang telah di tulis oleh pujangga. Dan pujangga ini yang terdiri dari para cerdik pandai (baca; kaum intelektual) yang biasa menghimpun literasi atau juga menuliskan tentang watak serta kebesaran raja. Maka telah kokohlah kekuatan feodal atau dinasti tersebut, dengan di topang oleh birokrasi yang kuat, sistem kemiliteran yang memadai ditambah dengan religi dan budaya yang ada pada genggamannya.

Oleh karenanya Arus Balik (2002) milik Pramoedya Ananta Toer bahwa “Ketakutan selalu menjadi bagian mereka (rakyat kecil) yang tak berani mendirikan keadilan. (dan) Kejahatan selalu menjadi bagian dari mereka yang mengingkari kebenaran (membuang nilai-nilai kemanusiaan) maka melanggar keadailan. Dua-duanya busuk, dua-duanya sumber keonaran di atas bumi,” sehingga tanpa di sadari bahwa sampai pada saat ini sistem feodal masih subur dalam tanah katulistiwa ini, bukan lagi sebatas dongeng atau folklor yang biasa di hembuskan sebelum kitamenjemput mimpi, akan tetapi terdapat perbedaan dengan feodal pasca primitif tersebut, feodal saat ini adalah feodal yang tak lagi mengedepankan nilai-nilai kearifan seperti feodal kemarin, tidak lagi menjunjung tinggi adat istiadat. Feodal atau dinasti hari ini adalah dinasti sinisme yang lahir bukan dari rahim rakyat, yang sudah barang tentu berbeda dengan tempat lain, yang masih terdapat rakyat yang manut akan perintah raja. Namun feodal hari ini adalah mereka yang menabrak nilai-nilai universal kemanusiaan itu sendiri, dan hanya dipenuhi oleh sikap arogan, elitis, serta jauh dari preseden yang seharusnya menjadi tendensi akan eksistensinya di mata rakyat. Dan lagi, hari ini feodal atau pun dinasti kembali memelihara kasta brahmana, ksatria, waisya dan sudra seperti dalam epos mahabarata. Memang kata Tan Malak dalam Semangat Muda-nya (2015) menyatakan “Negri bertambah besar, kekuasaan makin tertumpuk kepada raja dan bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada kaum hartawan serta kaum papa makin terhisap dan tertindas.” Dan pula, beliau menambahkan “Gereja atau masjid jatuh di tangan kaum bangsawan juga, anaknya rakyat diajar jongkok dan menyebah, sedangkan anaknya raja serta bangsawan diajar memukul, memaki dan menerjang.” Yang pada hari ini masih juga terjadi, monopoli hak, amnesti, juga aturan yang di ‘maikan’ dengan seenaknya. Dan pada akhirnya primitif tetaplah primitif, semewah apapun apapun infrastruktur serta fasilitasnya tak akan nilai apa-apa kecuali ketamakan.

Jum’at, 19 Mei 2017
Ahonk bae     

                

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.