[ads-post]

Dalam banyak literatur, Datuk Ibrahim atau lazim dikenal dengan Tan Malaka (1897-1949M) sering di persepsikan sebagai seorang revolusioner sebab kepiwaiannya dalam memimpin massa atau pun organisasi. Namun, beliau dapat dipersepsikan lain, tentu dengan kacamata yang lain pula. Seperti hanya menegasikan persepsi kita bahwa beliau bukan hanya seorang organisator yang tekun dalam menulis sebagai buah karyanya, akan tetapi beliau sebagai motivator ulung dalam kehidupan seorang pemuda secara personalnya, dengan jalan menemui berbagai jalan pikirannya melalui karya-karyanya dari Madilog sebagai masterpice-nya hingga pamflet-pamfletnya yang kini mulai rajin di cetak oleh penerbit indie sebagai warisan intelektual paling berharga serta sumbangsih terbesar bagi segenap pemuda dunia, khususnya Indonesia. Sebab melalui seorang soliter juga altruis seperti beliau, jalan pikiran pemuda Indonesia dapat berubah step by step hingga arah kemandiriannya eksis dalam pergulatan peradaban modern seperti sekarang ini, dan jika hanya melihat beliau hanya melalui sisi organisasi semata, maka niscaya Tan Malaka hanya akan menjadi sesuatu yang membosankan setelah puas dikonsumsi, layaknya technology yang semakin hari semakin berkembang. Tan Malaka masih hidup, selama karyanya masih terus dibaca serta diaplikasikan dalam realitas, sebab matinnya seseorang adalah semasa hidupnya tidak memiliki karya (tuna-karya) dan mat, lantas dilupakan begitu saja.

Oleh karenanya, banyak pesan yang disematkan oleh Tan Malaka dalam ‘mendobrak’ semangat para pemuda-pemudi Indonesia melalui karyanya itu, seperti halnya dalam Semangat Muda yang di tulisnya di Tokyo Jepang selama masa pengasingan tahun 1926, beliau bayak sekali menuliskan ‘pekikan-pekikan’ yang menyulut api semangat segenap pemuda Indonesia, untuk tidak letoy, prinsipil, serta memiliki gagasan yang bersifat revolusioner namun tidak mengesampingkan nilai-nilai keindonesiaan. Dan memang dalam dinamika modern seperti sekarang ini pemikiran-pemikiran Tan Malaka harus secara istiqomah ditanamkan dalam relung hati serta pikiran para penerus bangsa, yang kian hari kian mengahawatirkan. Seperti mereka yang telah terrenggut idelaismenya, Tan Malaka telah meramalkannya sejak sedia kala bahwa “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda,”  dan apa yang Tan tuliskan memang benar adanya, hari ini sangat sulit sekali menemukan pemuda dengan semangat berapi-api, entah dalam piliran atau perbuatannya, karena dengan multy-argument yang dimiliki pemuda hari ini memberangus semua apa yang di cita-citakan oleh founding father bangsa ini, dengan alasan klasik; perut. Semuanya tergadaikan dan terabaikan, baik persoalan yang menyangkut potensinya bahkan lingkup sosial kemasyarakatannya, dan kini yang tersisa hanyalah ‘homogenisasi kelayakan’ tutur Ucok-Homicide dalam sebuah sudut pandang mengenai masyarakat, terutama pemuda, asalkan ‘hidup aman’ lontar JRX-SID semuanya beres. So, menjadi pemuda saat ini adalah hanya menuntut kehendaknya sendiri atau super-ego supaya bisa seragam dengan yang lainnya serta tidak dianggap ‘aneh’ dalam era-kemunduran seperti saat ini. Lupakan keberagaman apalagi kebhinekaan, asalkan hidup aman serta menularkan budaya konsumtif yang nir-kritis, maka amanlah kehidupan pemuda itu. So it bull shit,  siapa kamu tanpa pengetahuan? Dengan pena menyala Tan Malaka menuliskan dalam Smangat 
Mudanya;

Kawan-kawan !!!
Janganlah segan belajar dan membaca! pengetahuan itulah perkakasnya kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu bisa merebut hakmu dan hak rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu di mana saja, dalam pekerjaamu, dalam bui ataupun buangan! janganlah kamu sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Adakalanya kelak dari kamu, rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan, seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah!! Di tanganmu tergenggam kemerdekaan-Indonesia, yakni kekapaan, keselamatan, kepandaian dan peradaban.

Namun apa yang dicita-citakan oleh ‘Rusa Berbulu Merah’ itu seakan sirna dalam gemerlapnya persepsi komunisme yang dianut beliau, baik dari aparatus pemerintah hingga agamawan, dengan penanaman dogma; komunis itu ateis, serta dengan dongeng-dongeng ‘komunisme itu biadab’ yang secara esensial mendiskreditkan pemuda yang gandrung dengan udaya oralnya itu, dan memang budaya oral dan visual merupakan metode instant  dalam menanamkan dogma-dogma kebencian serta stigma atas seseorang, siapapun itu. Hingga pada akhirnya budaya menebaca – perlahan namun pasti sirna karena di berbagai tempat telah mudah di temukan pendongeng-pendongeng ulung yang ‘dianggap’ labih mudah dalam dialektika-akademisi namun pada ujungnya hanyalah penanaman dogma subjekitifitas semata, like and dislike dalam mempersepsikan sesuatu, sperti halnya pada beliau, sehingga objektifitas hari ini menjadi sesuatu yang antik dan memang langka dalam pikiran pemuda. Membaca apalagi menulis adalah mitologi sakral bagi pemuda, dan secara global mereka lebih gandrung atas budaya oral dan visual tadi, sebagai ostioporosis-pikiran serta enggan mengasimilasikan dirinya dalam ruang sosialnya, dan menjamur inlander baru.

Namun bagi mereka yang mengenal Tan Malaka melalui karyanya juga mengalami sebuah shock cultur yang teramat sangat, lebih-;lebih dualisme yang terjadi pada dirinya.  Ia bisa menjadi beringas, sok kritis atau hanya sebatas berkoar dilayar fletron jejaring sosialnya. Ontologi seorang Tan Malaka diabaikan begitu saja dalam riuhnya aski-aksi mahasiswa yang juga gemar selfi ketika berorasi, namun mengamini boncengan-boncengan kolonialis-imperialis-kapitalis itu. Absurd memang. Benar adanya apabila Tan Mlaka masih hidup dalam relung pergerakan pemuda, bahkan ia berlipat ganda, akan tetapi dalam siklusnya ia akan tergantikan oleh bingkai dapur yang harus mengebul. Juga tertuang dalam Semangat mudanya sebuah wejangan bagi seorang revolusioner (meski jadi-jadian) yang gemar membakar ban;

Kaum-Kaum Revolusioner!!!
Kelak rakyat keturunanmu dan angin kemerdekaan akan berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu; “Disini bersemayam semangat revolusiaoner.”

Begitu sayangnya Tan Malaka menuliskan hal itu jauh dari Tokyo ketika 1926, karena toh pada akhirnya beliau akan dilupakan dengan sendirinya, saat mereka menumkan ‘dapur yang cocok’ untuk memadamkan ide progresif Tan Malaka itu, baik melalui rekrutem partai atau perbutan bangku PNS-nya. Beliau hilang, dan tersungkur kembali dalm kuburnya, serta teriakan parau “Suaraku akan lebih keras dari dalam kubur” itu ada, untuk mengutuk pemuda tadi. Akhirnya juga, diskursus Tan Malak hanya dijadikan sebagai gagah-gagahan serta parameter seorang pemuda agar ‘dianggap’ nasionalis atau revolusioner, mungkin. Dalam coretan kecilnya di Semangat Muda beliau menuliskan beberapa poin penting atas apa yang terjadi pada dunia serta mengkrucutkannya pada problem yang di hadapi oleh bangas ini, kala itu. Namun betapa ajaibnya yang beliau tulis kala itu, pula terjadi hari ini.

Seperti analisisnya mengenai Watak Zaman-Bangsawan (Feodalisme) yang dikorelasikan dengan kadaan desa hari ini, seperti Sekarang penduduk desa sudah mulai terbagi atas kasta: Tani, Tukang, Saudagar dan kasta-memerintah yaitu bangsawan dan oleh karenanya, lazim seperti pada zaman kerajaan bahwa Makin banyak peperangan dan kemenangannya raja itu, makin besar kekuasaannya turun menurun sehingga apa yang dikatakan nepotisme pada waktu dulu memang juga terjadi hari ini di desa-desa, sehingga apabila Negeri bertambah besar(kekayaan), kekuasaan makin tertumpuk kepada raja dan bangsawan, kekayaan makin tertumpuk kepada kaum hartawan serta kaum buruh dan tani makin terhisap dan tertindas hal itu bukan hanya pada sektor pertanian semata, yang menjadi komoditi terbesar desa akan tetapi dalam wilayah religius pun tak luput dari penindasan yang dilakukan oleh bangsawan tadi Gereja atau masjid jatuh di tangan kaum bangsawan juga, anaknya rakyat di aja jongkok dan menyembah, sedangkan anaknya raja serta bangsawan diajar memukul memaki dan menerjang  guna melindungi status quo-nya itu, sperti dalam urusan hak milik; Kaum hartawan tidak bekerja namun memiliki hasil karena kaum yang tak berpunya ini, terpaksa menjual tenaganya pada kaum hartawan dengan hargha yang seberapanya saja asal bisa menolak bahaya lapar dan mati. Jadi sebab hak milik tadi pergaulan hidup terbagi dalam dua macam; 1. Kaum hartawan sang sedikit orangnya, tetapi memiliki perkakas dan hasil, 2. Kaum buaruh yang terbanyak orangya, yang sungguhpun mengadakan hasil tak memiliki hasil itu, karena ia orang upahan saja dan karena menolak kertakuatan lapar serta bahaya mati itu maka para biruh hanya berpasrah dalam stagnasi kehidupan, sebab tak mampu melawannya. Dan kalau pun umpanya petani pribumi yang memiliki ladang serta hasilnya melimpah, maka makin banyak hasil dapat makin murah harganya barang, sehingga lawannya terpukul jatuh dan seperti itulah permainan mompopoli yang di canangkan oleh imperialis dulu-sekarang, sama saja. Dan representasi modern seperti mesin telah banyak merenggut penghasilan buruh tersebut sebab Berhubungan dengan memakai mesin baru, beribu-ribu buruh dilepas, karena mesin melimpah yang juga meminimalisir biaya produksi perusahaan. Dan kalau krisis datang beribu buruh dilepas.            

Begitulah serpihan sementara dalam Semangat Muda yang beliau tulis dengan sungguh-sungguh sebagai bekal pemuda Indonesia ke depan, namun alangkah irononya apabila yang di tlis beliau selama masa pengasingan tersebut hanya menjadi suatu cicipan sementara dan setelah itu kemabali dilupakan oleh segenap pemuda. Betapa menyedihkan. Akantetapi rasa pesimis itu akan kembali terkikis dengan adanya sebuah komitmen bahwa Tan Malaka bukalah seseorang yang mudah dilupakan, ia terus hidup dalam dinamika pergerakan abadi, dan dari mimpi revolusi itu sendiri, baik dirinya atau ruang dimana penghayat Tan Malaka itu hidup.

والله تعال وأعلم

Kamis, 13 April 2017
Ahonk_bae

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.