[ads-post]

Pada periode usia tertentu banyak dari kalangan remaja (umur 14-18 tahun) kita yang telah ‘terenggut’ masa depannya, salah satu faktornya dari sekian banyak hipotesa, tentu saja musik dan pergulatan budaya menempati posisi strategis di lingkup kehidupan remaja kemarin dan hari ini, mungkin besok juga – sama. Namun apa yang lebih menyakitkan dari musik yang ditransformasikan hanya sebagai life style atau gaya hidup semata; trend – tidak lebih. Sehingga yang terjadi hanyalah sekedar gagah-gagahan semata, tanpa implikasi positif – misalnya. Dan pada kurun waktu belakangan, setelah tekhnologi memegang tali kuasa penuh atas manusia, musik dan penggermar (fans) semakin merajalela, bak jamur dimusim hujan.

Lalu apa yang seharusnya dilakukan dari musik yang tidak hanya sekedar di dengarkan? Terutama musik menghantarkan manusia pada ‘pemberontakan-pemberontakan’ terhadap dirinya, serta i,plikasi sosial yang konkrit. Sudah barang tentu dari sekian banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli, musik memiliki dampak yang luar biasa terhadap manusia – perkembangan mental – terutama. Meskipun yang terjadi adalah suatu kontradiktif akan hal tersebut, namun dalam perjalannnya, genre Punk misalnya, telah memulainya dengan segenap pemberontakan serta pembelotan akan hal-hal yang timpang, khususnya realitas sosial. Punk yang muncul pada kisaran tahun 1970 yang di gawangi oleh Ramones, The Clash dan The Sex Pistols, dan konon katanya muncul kali pertamanya di Inggris, dan yang lebih penting adalah genre musik ini hadir bukan untuk memenuhi kepentingan industri atau dengan bahasa lain anti-mainstream karena substansi kahadirannya adalah sebuah pemberontakan terhadap sesuatu yang dianggap ‘mapan’, karena sebenarnya Punk merupakan sebuah pemberontakan dari anak-anak kelas pekerja yang tidak puas akan sistem politik dan ekonomi yang di terapkan oleh pemerintah karena melihat dampak nyata seperti pengangguran serta krisis moral (dekadensi moral). Akan tetapi, this is Indonesian, semua yang terpikir sebelumnya pasti terjadi, dari Punk yang awalnya ‘suci’ sebagai alat pergerakan serta sebuah sikap reaksinoner terhadap sistem, namun kini telah di reduksi maknanya menjadi life style secara cuma-cuma. Semua jargon ksatria Do it your self  terabaikan begitu saja dalam derasnya arus ‘alay’ remaja kita, ada yang bergeser dalam tempurung kepalanya. Namun siapa sangka anti-kemapanan yang dimaknai dengan mengemis dengan cara bermusik di lampu merah sudut kota (baca; ngamen), atau hanya mencukur rambutnya dengan gaya Mohawk serta menggunakan atribut-atribut punk seperti umumnya musisi punk, namun minim esensi –memalukan.

Dan yang terjadi hari ini adalah “Punk alay” yang hanya mampu memutar mp3-nya, mengemis untuk mencari makan, datang ke gigs pada setiap event (dangdut sekalipun). Maka telah jelas apa yang terjadi terhadap reduksi manka akan punk itu sendiri; hanya gembel yang kurang ‘nutrisi’ mental dan akalnya. Dan yang lebih miris adalah kewajiban akan pendidikan yang ditempuhnya terabaikan begitu saja, apa itu punk? Musisi punk tidak ada yang bernalar rendah. Memang punk-punk masih menjaga kata-kata sayidina Ali RA;

إن الفتى من يقول ها أنا ذا <> ليس الفتى من يقول كان أ بي
“Seorang pemuda sejati adalah yang berkata ‘Inilah aku’ bukanlah pemuda yang berkata ‘Inilah bapakku’.”

Meski kenyataannya bersebrangan dengan ;

شبان اليوم رجال الغد
“Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan”

Atau kata-kata mutiara ‘umum’ dari Bung Karno dan Tan Malaka yang biasa menempel di kaos punkers juga aktivis (yang belum sampai mental) ; “Berikanlah aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku sepuluh pemuda, maka akan ku guncang dunia-Bung Karno” dan “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda-Tan Malaka.” Walau sudah sangat banyak aktivis yang dulunya planga-plongo namun setelah bergabung dengan komunitas atau organisasi menjadi yang paling sok tau, padahal sama sekali malas membaca apalagi menulis. Sekali lagi this is Indonesian. Punk pun dapat dibodohi oleh brand-brand kapitalis melalui pernak-perniknya, tanpa mengedukasi para konsumennya. Yah itulah, belum lagi stigma yang memang diciptakan oleh mereka sendiri, bukan orang lain. Mengapa? Kurang kreatif, saat ini yang dibutuhkan oleh dunia adalah punk yang kreatif bukan naif, bukan yang jadi-jadian. Mereka yang berkarya dan memberontak ketimpangan-ketimpangan sosial serta menciptakan ruang aman dengan dialektika taken granted, bukan sebaliknya.

Punk sejatinya adalah perlawan terhadap diri sendiri, yang terus menerus berdialog dengan hatinya, siapa saya dan aku, untuk apa aku ada, sehingga pemaknaan terhadap punk tidak kabur seperti saat ini. Dan pada remaja “alay” yang berdandan ala punk adalah satu stereo type yang ‘memang seharusnya’, karena hanya sebatas pengekor dan lebih menyakitkan adalah hyper-consumtif bukan atau belum produktif sama sekali, padahal punk yang dicita-citakan oleh sederetan pionirnya adalah, meninjam istilah Nietszche, manusia unggul, walau dalam kenyataannya adalah mandul. Boro-boro menjadi diri sendiri, ilusi bila anti-kemapanan atau jargon-jargon yang memang telah ‘dibuat malu’ oleh punkers itu sendiri. Dan sekali lagi not punk today, punk is dead – dalam esensinya. Apabila disuguhi permasalahan sosial kadang ‘kudet’ (jika tidak apatis), apabila turun-aksi juga hanya sebagai gagah-gagahan saja, birokrasi tidak tau, padahal dalam lirik lagu punk banyak mengandung kata serta kalimat yang berat, sarkes, kadang satire. Tapi karena rendahnya taraf pendidikan dari punkers itu sendiri maka hal-hal yang menyangkut permasalahan sosial sama sekali tidak digubris. Lebih mementingkan cara menyambung nyawanya daripada manusia lainnya. Itukah punk?

Dengan kepala tertunduk malu saat menyaksikan punk jadi-jadian (baca; alay) tersebut, mari kita menjadi punk yang sesuai dengan kredo-kredo yang digariskan oleh pendahulu kita, bukan mental budak, menolak konsumtif serta memilih produktif, mencintai alam, serta menjunjung tinggi nilai universal kemanusiaan. Dengan berkarya dan berdikari sebagai bekal penguat atas ekonomi, karena punk itu harus kaya, serta sebagai modal untuk mereduksi stigma yang selama ini dilekatkan pada punk itu sendiri.                  

  
Selasa, 25 April 2017

Ahonk bae

Posting Komentar

  1. This is indonesia, menjadi punk hanya sebatas life style...
    Jadi tau apa itu punk,lewat artikele mang ahonk bae.

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.