Nampaknya bahaya
sekali ketika berbeda, seperti dewasa ini letupan atasnama agama begitu menohok
dengan berbagai variatif keberagamaannya, serta motif-motifnya dengan barbagai
ritus dan ritual yang berbeda serta teori yang diperolehnya pun berbeda. Sudah
barangtentu hal ini dapat menimbulkan sebuah gesekan yang bersifat micro,
yang setelah terakumulasi akan menjadi sebuah konflik yang berujung pertikaian,
tentunya karena bagaimana manusia itu menyikapi perbedaan tersebut, yang dalam
dekade belakangan manusia semakin memperlihatkan prilaku dekadennya.
Jika menelisik
akan hakikat sebuah agama maka tujuan agama ialah sebuah kedamaian serta cinta
kepada semua mahluk yang telah di ciptakan Tuhan, tenpa memandang apa agamanya,
siapa Tuhannya, atau bagaimana polahidupnya. Sehingga letupan-letupan yang
disebabkan oleh ketidakbiasaannya dalam menjadi seorang hamba dari ‘Tuhan yang
berbeda’ akan menjadi sedikit tereduksi, yang sebelumnya manusia silau
dengan perbedaan atau bahkan merasa riskan dengan eksisnya perbedaan tersebut,
maka sudah semestinya membuka hati serta membuka diri dalam menerima perbedaan.
Selayang pandang bahwa madzab pemikiran dalam agama (Islam khusunya) menjadi
sembuah moment yang tepat untuk saling mendiskreditkan serta mencibir siapa
saja yang ‘tidak sama dengan dirinya’ akan menerima nasib yang kurang
menyenangkan dari lingkungan yang ‘tidak seragam’ dengan dirinya. Keseragaman
persepsi, keseragaman pemikiran, atau mungkin keseragaman budaya seperti
pakaian dan ritual yang tidak sejalan akan mendapat ganjaran berupa isolasi
yang oleh manusia lain ditunjukkan dengan sebuah attitude baik gestur
atau tutur. Perbedaan yang disebabkan oleh jiwa manusia yang inklusif dalam
membukan akal serta pikiran dalam menerima hal-hal yang baru – juga dapat
menyebabkan manusia menemui titik awal bagi letupan kecil yang berujung gesekan
tersebut, dalam beberapa literatur Giambattista Vico (1668-1744M) mengatakan
bahwa “ Ini adalah sifat lain dari pikiran manusia bahwa ketika manusia tidak
dapat membentuk ide tentang sesuatu yang jauh atau tidak diketahui, mereka
menghakiminya dengan apa yang akrab dan terjangkau saja”, yang hari ini kita
semua merasakan dampak dari congkaknya akal dari manusia yang enggan membuka
dirinya pada hal yang bersifat baru bagi dirinya, seperti dalam teori hukum
atau yang biasa disebut ushul fiqh mengelaborasikan bahwa ;
المحا فظة على القديم الصّالح والأخذ بالجديد
الأصلح
“Melestarikan
nilai-nilai tradisional yang relevan dan adoptif terhadap produk-produk
modernitas yang lebih baik”, teori tersebut merupakan sebuah upaya atas keterbukaan manusia terhadap hal-hal yang baru ditemuinya dalam
mendulang nilai-nilai universal dalam kehidupan.Letupan kecil yang berjung pada konflik yang
disebabkan perbedaan, yang hanya disebabkan oleh perbedaan dalam genre
dalam satu agama juga tak bisa dipungkiri, meskipun tendensi atas legitimasi
hukum yang digunakan dalam agama dirasa sama, seperti ;
_ القران(al-Qur’an), _ السنّة(Sunah), _الإجماع(Kesepakatan/konsensus ulama), _القياس (Analogi), _الا استحسان
(Pertimbangan terbaik), _المصلحة المرسلة(Kemaslahatan bersama), _العرف(Adat), _شرع من قبلنا(Syari’at terdahulu), _مذهب الصحابي(Madzhab sahabat), _سدّ الذ ر ائع (Hukum prefentif), _الا ستصحاب (Menjaga orisinalitas). Namun dalam tafsir atau intepretasinya
menemukan titik perebedaan ‘bisa jadi’ seorang penafsir (inrtepretator) memiliki
alasan khusus dalam mengintepretasikan landasan hukum tersebut, yang juga tidak
menutup kemungkinan bahwa seorang yang mengikuti sebuah teks atas tafsir
tersebut memiliki perspektif lain dalam ‘mencatut’ – ayat umpamanya, dan
bermuara kepada pembaca yang dari pembaca tersebut terjadi misspersepsi
dalam pemaknaannya.
Dinamika tafsir ialah
dinamika perbedan yang dinamis, yang di dalamnya terdapat pelbagai ‘argumen
yang berargmen’, yang pada ahirnya jika dianalogikan secra simpel, bahwa
al-Qur’an itu ialah bahan baku yang nanti akan diproses menjadi sesuatu kemudia
dikonsumsi. Hal ini belum termasuk lagi dengan manusia yang fanatik terhadap
keyakinannya. Dengan berbagai
perspektif, tafsir sebagai pisau bedah atas analisis dalam
mengintepretasikan teks skriptural serta
tradisi Nabi tersebut. Dan apabila tafsir atas hukum hanya sampai pada masalalu,
dalam mendialogkan teks dan konteks yang selalu berkembang seperti pada saat
ini, maka urgensi atas re-intepretasi dari hukum tersebut harus terus dikaji
secara komperhensif sehingga teks hukum akan terus abadi dan tidak terkesan saklek
dalam dalam mengintepretasikannya, juga letupan serta gesekan-gesekan kecil
dapat direduksi secara perlahan. Apabila dewasa ini klaim surga dan neraka, kafir, murtad (apostasy) dan bid’ah telah begitu sering
dilancarkan dari genre teologis, fiqh (yurisprudensi), serta
pemahaman yang berbeda yang pada sisi lain mlupakan indahnya hakikat atas
eksisnya perbedaan tersebut, seperti dalam tradisi Nabi dikatakan bahwa “perbedaan
umatku adalah rahmat”. Terlepas apakah hadist tersebut menempati derajat
sahih, hasan, maudu’, atau bahkan dhaif sekalipun, karena jika
dibentangkan dinamika kebhinekaan maka Indonesia merupakan sebuah negara yang
plural.bukan negara agama.
Konflik yang
terkonstruksi dari letupan kecil yang disebabkan oleh rasa inklusif seorang
manusia atas hal-hal baru dapat berimplikasi atas terpecahnya kebhinekaan
tersebut, yang jika menilik sejarah bangsa ini telah tubuh dan dipandang oleh
dunia karena pluralitasnya, bukan karena keseragamannya. Kebebasan untuk
memeluk serta menjamin kemerdekaan bagi tiap penduduk yang tertuang dalam Undang-Undang
pasal 29 tahun 1945, aturan tersebut dibuat dengan tujuan untuk menjaga
persatuan serta jaminan kemerdekaan manusia dalam sisi keyakinannya. Selain undang-undang
terdapat juga Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang diresmikan pada 22
Juni 1945 oleh panitia sembilan, yang didalamnya merupakan founding father
bangsa. Lalu apabila dengan upaya-upaya pembenaran diri atau truth claim
terus tertanam dalam setiap individu bagsa ini, maka entah apa yang terjadi? Atau
atasnama moralitas mungkin, moralitas yang terus didengungan namun moralitas
kata Nietzsche merupakan simptomatologi ; orang harus mengetahui mengenai apa
moralitas itu sebetulnya guna memperoleh keuntungan darinya. Bukan malah
sebaliknya, moralitas dijadikan dalih dalam mengklaim sesuatu yang ‘tak seperti
dirinya’ yang pada ahirnya pergeseran budaya yang semenjak dulu terawat mulai
terdegradasi atasnama moralitas itu sendiri. Menurut KH. Abdurrahman Wahid atau
akrab disapa dengan Gus Dur mengatakan bahwa pembaruan pemikiran ialam dalam
era modern dapat disederhanakan ke dalam dua paradigma besar. Pertama, paradima
yang melihat ialam sebagai agama yang lengkap dan sempurna, yang melingkupi
seluruh aspek kehidupan manusia baik sosial, politik, ekonomi dan budaya. Kedua,
paradigma yang berpandangan bahwa
islam berada dalam alur umum sejarah kemanusiaan, karena islam memiliki
identitas khas sendiri, tetapi ia juga bertemu, berjumpa, berbaur bahkan
menyerap dari banyak hal yang berlangsung dalam sejarah umat manusia. Darinya islam
tidak terkesan leterlek namun sebaliknya, islam hadir dalam relung hati dengan
kelenturannya serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang pada hari
ini terdengar bising, bahkan kontra-kultura hanya karena permasalahan syari’at
atau aturan yang ‘dirasa’ kaku selama ini. Dalam kitab al-Muwwafaqat-nya imam
asy-Syathibi (wafat 1388 M) menulis ;
هذ الشريعة....وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في قيام مصالحهم في
الد ين والدنياما
“Sesungguhnya syari’at itu
ditetapkan dengan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan manusia
di dunia dan akhirat” dan dengannya maka dapat disederhanakan menjadi ;
المقاصد العام للشرع في تشريعة الاحكام هو مصالع الناس
بكفلة ضروريا تهم وتوقيرحاجيا تهم وتحسناتهم
Maqashid Syari’ah secara universal adalah sebuah kemaslahatan bagi manusia
dengan memelihara serta menjaga kebutuhan primer (dharuriat) mereka dan
menyempurnakan kebutuhan sekunder (Hajiat) dan tersier (Thasiniat)
mereka. Dan Maqashid Syari’ah yang digagas oleh imam asy-Syathibi ialah
1. Menjaga Agama (Hifz ad-din)
2. Menjaga Jiwa (Hifz an-nafs)
3. Menjaga Akal (Hifz al-aql)
4. Menjaga Keturunan (Hifz an-nasab)
5. Menjaga Harta (Hifzal-maal)
Begitu lentur serta secara teguh islam memperlakukan manusia hingga entitas
terkecilnya yang semuanya telah terkodifikasikan oleh penulis-penulis pada masa
klasik yang relevansi dan substansinya masih dirasakan sampai pada saat ini. Namun
hemat penulis, bahwa pembaharuan hars tetap diupayakan sehingga nilai-nilai
yang terkandung dalam teks-teks terdahulu tetap relevan hingga ahir zaman.
Dan pada kesekian
kalinya, manusia Indonesia harus menerima kenyataan pahit akan hadirnya
keterpurukan berlipat ganda, bukan hanya sisi kemanusiaan yang terus diguncang,
tapi juga alam terus ‘diperkosa’ secara
kolosal oleh keserakahan manusia. Pada ahirnya perbedaan yang lahir serta
terawat oleh nenek moyang bangsa ini sebagai puspa-warna akan layu dan kering
oleh menguatnya fanatisme ‘ke-benar-an’ yang diusung oleh okum-oknum yang hendak
memecah-belah bangsa ini dengan cara-cara yang masif, ekonomi misalnya, yang
dibenturkan dengan agama yang menjadi akar goyah serta bergesernya nilai-nilai
yang telah terjaga dan terawat tersebut. Apa ini bukan penghianatan?
Indramayu, 21 Maret 2017
Ahonkbae
Posting Komentar