Weh,rame cah, ada seremoni hari bersejarah katanya sih, iya, hari mbrojolnya
seseorang, sampe sempet mikir tentang gegap-gempita sebuah pesta yang diadakan
oleh segerombolan muda-mudi yang dalam kurun waktu dekat kuping sering
menyebutnya dengan sebuah party atau tasyakur dalam bahasa santunnya,
tapi entah apa yang melatarbelakangi hal itu hingga melejit dalam kurun ekor
dekade saat ini. Yah, mungkin bagi sebagian orang atau manusia itu merupakan
sesuatu yang sakral atau dalam skema hukum (islam) bisa lah di kategorikan
dalam hal wajib, meski ngga’ gede-gede amat sih pestanya, ya ngga’ muluk-muluk
juga, meski hanya memubadzirkan telur dan tepung di tempat umum, atau di
ruang reparasi pasca kejadian perkara berlangsung, mungkin.
Ya semacam Ulang
Tahun atau telah Lulus dari sekolah atau jenjang pendidikan yang di tempuh
seseorang. Tapi pada umunya pesta Ulang Tahun yang merupakan sebuah dejavu yang
amat-teramat sakral sehingga di keramatkan dalam KTP seseorang sebagai pengingat,
selain jam berker saat membangunkannya di waktu pagi. Lain lagi dalam sebuah momentum
dalam pengucapan matra “Selamat Ulang Tahun” atau dengan seenak ibu jarinya
menyentuh gadget pada era kemene-menean (bacanya ; kekinian ya),
hanya dengan “HBD” dirasa sudah menjadi muakkil atau badal atas
lisan yang beku untuk mengutarakan mantra ajaib ini.
Tapi entah
sejarahnya bagaimana, siapa biangkeroknya, lalu semacam apa prosesi sakral pada
awalnya hingga disinyalir hal demikian seolah menjadi semacam trend fashion
yang mengalir bak darah yang tersayat besi tipis, dan darah segarnya menjalar
ke segala penjuru pori-pori bagian tubuh. Dan belum lagi para fundamentalis
yang tidak bisa di hitung dengan jemari jumlahnya sehingga harus membuat
semacam koloni atau ormas dalam bahasa santunnya, dengan sesumbar dan belum
juga mingkem mulut dan jemari indahnya dalam memvonis hal demikian, bid’ah
lah, khurafat lah, atau yang lebih memekik ulu hati sampe-sampe kepencut
ialah kata yang ter-ajib, ter-sakti, ter-mujarab, yaitu satu kata
; kafir. Ah, semakin lama warga kita makin pinter ya, meski dalam wall
sosial media dan kalau mereka masih duduk di bangku setingkat SD pasti saban
hari akan mendapat biji 8 dari gurunya.
Ini cuma
berandai-andai saja, ngga’ penting juga sih, apalagi kalau melihat sejarahnya
Ulang Tahun dengan khidmat juga seperangkat tetek sampai bengeknya
di tambah jika harus membolak-balik buku LKS yang berpopulasikan sejarah atau
novel yang memper sama spesies sejarah, buat apa juga coba? Cek hadrotu
syaikh Google aja males, toh buang-buang kuota buat hal yang tentu kalah
penting sama C.O.C atau streaming Yusup, tapi untungnya sejarah bisa
membawa si kutu ke alam lalu, bahkan sebelum ia mbrojol juga, dan kalo
jaman Romawi dulu orang yang sedang merayakan Ulang Tahun tentu akan di ganjar
dengan hadiah berlimpah, ya semacam emas atau perak lah, kan jaman jadul gitu’
belum ada arloji sekelas Seiko, rajanya pun masih kecanduan jam pasir atau log
pose dalam pelayaran demi sejengkal tanah atas ekspansinya. Yap, om Jean
Paul Sartre yang punya kaca mata gahol pernah bercuap gini’ ; “kemampuan
untuk memikirkan apa yang belum ada”, iya sih, ini kan tentang bagaimana
merayakan Ulang Tahun itu, mulai dari cicis buat beli bolu sampe tongkat
buat narsis juga, sebagai syarat rukun dari BAB berpesta itu, ga’ afdol
jika belum di buang ke sosial media. Ya udah mending balik ke sejarah aja deh,
dalam deretan sejarah, di Yahudi pernah juga terjadi ikhtilaf atas hal
demikian terutama oleh rabbi dan seperangkat kroni-kroninya, tapi kalo dalam
beberapa literatur, katanya hanya menuliskan tentang merontanya Fir’aun dari
rahim biungnya, itu pun menurut Kejadian : 40 : 20. Nah, kalo umat
Kristiani tebagi dalam tiga fase dalam perspektif yang hari ini begitu di eluh-eluhkan
oleh darah muda itu, dalam Abad Awal, seorang Origen mengutarakan pendapatnya
di “On Levites” yang katanya harus
menahan diri dari hal demikian, bahkan memandangnya pun harus jijik, ngeri juga
ya, yah tapi harus adil dong, om Pramoedya Ananta Toer kan pernah berujar dalam
master pice tetralogi buruhnya, lebih tepatnya dalam Bumi Manusia,
sekitar halaman 70-an lah, gini kata om “Adil Sejak Dalam Pikiran Apalagi
Dalam Perbuatan” jadi, sah-sah saja jika kata jijik di hidangkan dalam
perspektif mereka, toh ini sejarah mas bro, mba sis. Atau dalam era-Pertengahan
di lakukan oleh gongan elit, semacem raja mekoten lah, kaya raja
Cambuskan yang ngidam pengen hari ulang Tahunya di rayakan. Nah kalo
dalam era-Modern (embuh parameter modernnya apa) dalam beberapa kelompok
menjauhi hal semacam itu, miturut argumennya sih terdapat keidentikkan
terhadap sesuatu yang berkonotasi negatif pada Alkitabnya, itu juga belum
lengkap bila tanpa bumbu sejarah berupa sihir, takhayul, dan paganisme. Sempat
terpikir juga sabda Zarathustra buah tangan kang Nietzsche ; “manusia
yang berpengetahuan harus mampu bukan saja mencintai musuhnya melainkan juga
membenci sahabatnya sendiri”. Eits,
dalam eksistensi hukum Islam sendiri terdapat hal yang senadi, dengan hal demikian
masih disesaki pro-kontra, ya biasalah “perselisihan dalam pendapat ialah
rahmat”, ya kadang harus berlaut-larut dalam bahtsu masa’il tapi ya ga’ jarang loh mauquf, dikarenakan
oleh mantra sakti yang diselolorkan oleh salah satu musyawirin, kira-kira
begini ;
تغيرالأحكام بتغير الأزمنة والأحوال والفوائد
والنيات
“perubahan hukum mengikuti
sebab berubahnya zaman, situasi, adat, dan niat”
Ya begitu kira-kira, tapi jika dalam realitasnya harus berbentur dengan mafsadat
dan kuota mafsadatnya banyak, ya kata la budda dan berujung takhrim
pasti keluar sebagai jawaban atas gelesihan intelektualnya, berbuntut pada ayat
bahwa “sesungguhnya mubadzir merupakan teman dari syaitan”. Entah enyah-enyoh
ormas yang menjamur di Bumi Pertiwi ini yang, tadi, menggembor-gemborkan kata bid’ah,
padahal kan kalo berfikir “nakal” maka ia (bid’ah) bermetamorfosa
pemaknaannya menjadi “inovatif”, ya seperti bisnis kuliner akhir-akhir ini,
dengan kemasan yang dipermak sejadi-jadinya, asal syarat konsumen melimpah,
maka layak disebut berkah, padahal isinya oncom, oreg-oreg yang mainstrem-lah
kalangan di lidah orang kebanyakan.
Melirik lagi teori hukum di atas, ada empat “penampakan” yang
rupa-rupanya melatarbelakangi budaya Ul-Tah tersebut. Zaman, lah iya, kan
pada zaman baheula teh belum ada jabur yang kaya bolu, terus lilin angka
apalagi, aksesoris ruangan yang kerlap-kerlip seperti sekarang ini, paling jika
ada cuma pake “cempor”, “godong alias daun”, terus bolunya “disaleni” pake nasi
kuning dibikin tumpeng, itu juga udah untung banget, soalnya paling banter yang
melakukan Cuma golongan kedua dari kelas feodal yaitu priyayi, lah hari ini,
semua mata memandang (meski selanyang saja) remaja-remaji merayakannya lengkap
dengan syarat plus rukun akesesorisnya. Situasi, kalo masalah situasi ya,
jelaslah, dulu orang-orang pada sibuk perang, pada sibuk cari duit bin cicis
dan remajanya ya normal, ikut membantu ortunya, entah sawah atau pasar, dan
buat yang sekolah ya sekolah, belum ada alesan buat ke Warnet buat sekedar main
Point Blank, dan yang cewenya, di karenakan hijaber, atau alat kosmetika
sekelas Wardah atau obat mujarab sekelas Pond’s belum menyesaki papan reklame
peremapatan jalan, jadi ya bisa di tebak lah, atau setidaknya menerka-nerka
bagaimana kondisi remaja pada waktu kebaya masih melilit indah pada tubuh
sintal kaum Hawa pada waktu itu. Adat, ngga’ muluk-muluk lah, kata Wikipedia
sih, adat tuh gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan,
norma, kabiasaan yang di lakukan di suatu daerah, nah, di Indonesia sendiri
adat baru digunakan sekitar akhir abad 19
yang katanya dulunya hanya digunakan oleh masyarakat Melayu, dan
endingnya setelah ada akulturasi dengan Islam, ya sekitar abad 16-an. Kemudian adat sendiri bersinergi dengan kondisi
sosial, sesuai dengan denah geografisnya, lah masa adat orang laut sama dengan
adat orang pegunungan?. Ga usah berlari jauh lah dalam sampelnya, seumpama
moment lebaran kemarin, kan banyak tuh yang melangsungkan hajatan, semacem
nikah, atau sunatanlah, terus juga kaya “halal bi halal” yang udah pasti pake spanduk yang sekalian
tulisannya gede banget, nah itu juga bisa dikategorikan sebagai adat, memang
sih ngga ada legitimasi agama yang terang-terangan menuliskan adat-adat yang
selama ini telah digandrungi masyarakat berskala akbar. Atau dalam kertas
setebal bantal karya Karen Armstrong yakni Masa Depan Tuhan, dalam mistismenya
mennyatakan “dia harus berpuasa sejumlah hari tertentu, dia harus meletakkan
kepalanya diantara kedua lutut sambil membisikan lembut kepada Tuhan dengan
wajah menununduk ke tanah. Sebagai hasilnya, dia akan melihat dasar kedalaman
hatinya dan akan terasa seolah-olah melihat tujuh ruangan itu dengan matanya
sendiri, berpindah dari satu ruang keruangan lain untuk menyaksikan apa saja
yang bisa ditemukan didalamnya”. Emang sih berat banget kalo harus laku hidup
seperti itu, meski untuk memahami apa itu fana dan merasakan yang nyata, tapi
ya gitu, orang-orang baheula emang gitu, sering melakukan apa yang disebut tirakat demi tercapainya sebuah hajat
makannya sudah mashur mereka itu sakti mandra guna. Niat, ini yang paling
bontot paling fleksibel juga elastis, ya kaya jelly gitu lah, kan udah umum
banget kalo baginda Rasul pernah bersabda “segala sesuatu tergantung pada
niatnya”, nah karena ketergantungan itu, banyak yang se-enak jidatnya melakukan
hal yang kurang etis tapi dibikin logis, semacem menaburkan tepung terigu di
jalan sampe ritual melempari si hajat dengan telur, apalagi yang “bungker”
alias busuk, kan jelas ga’ etis tapi bagi sebagian kalangan, itu logis, dengan
dalih niat untuk bersukur karena temannya telah di beri umur panjang, ya walau
konsekuensinya ga jauh-jauh, bajunya ancur, mukanya semrawut, dan aromanya
sudah mengalahkan parfun di toko-toko yang bercucuran di kana-kiri jalan. Kalo
dibuat rumus mungkin ketemu gini ya;
إذااجتمع
بين الحلال والحرام غلب الحرام
Nah, kalo gitu
kan enak, tinggal ada filter aja, mana yang halal dan mana yang haram, ya
seumpama yang halal itu tasyakur-nya dan pola hedonis itu “memper” banget
dengan kata mubadzir, maka ya se-engganya bisa masuk dalam kriteria haram, ya
emang sih rumus ini sudah lazim, jika ngga’ mainstream digunakan oleh MUI
sebagai cakar atas ekspansi stempelnya, tapi ya ngga’ ada salahnya juga kan?, jadi ya udah dari
pada nulis ngalor-ngidul mending ya biarin aja, toh mereka juga udah kebelet
gede (walau prematur), tapi yase-engganya mereka bisa mensterilisasi mana yang
baik atau yang mungkar. Kan secara ekonomi juga sudah bisa ditebak (meski
kadang maksa) ngga’bakal ngelakuin hal-hal yang yang jauh dari kata manfaat itu,
apalagi kepada khalayak ramai.
Kepada pemilik hari bersejarah, tulisan sebatangkara ini cuma bisa
berwasiat agar jangan sampai melakukan hal-hal yang melanggar norma apalagi
sampe menubruk nilai-nilai etika dan esetetika keagamaan yang akan membuat
geram pemilik ormas dikemudian hari.
Posting Komentar