[ads-post]



Belakangan ini, media begitu gencar memamerkan isu-isu yang di benturkan dengan sesuatu yang berbau SARA, dari mulai aksen budaya, ekonomi hingga politik. Dan dengan berbagai muslihatnya yang pandai dan retorikanya yang piawai, para aktornya tidak lupa selalu menyelipkan dalil-dalil agama sebagai kata mutiara, atau bahkan sebagai pemanis dalam setiap orasinya yang menggebu-gebu yang dengan ini lain bukan penulis teringat ujaran A. Hitler dalam Main Kamfnya ; jade grose bewegungauf dieser Erder verdankt ihr Wachsen den grosseren Rednern und nicht den grossen Schreibern (setiap gerakan besar di dunia selalu digerakan oleh jago-jago pidato, bukan oleh mereka yang pintar menulis) [i], demi memperoleh kursi di singgah sana nanti. Dengan bermodalkan agama sebagai atribut, enteh dalam partai atau fashionnya mereka percaya bahwa bisa menulang masa dengan sebanyak-banyaknya, serta dengan bermodal ketergantungan berupa sifat ‘over-optimistiknya’ yang kelewat batas dalam setiap baliho yang dipasang dengan maksud ta’aruf atau memperkenalkan dirinya kepada khalayak ramai, berupa masyarakat atau bisa juga disebut pasar. Dengan mengenakan simbol-simbol agama seperti kopiyah atau ‘busana muslim’ sebagai indikator bahwa ia adalah sesosok calon wakil rakyat yang relijius. 

Juga dengan bermodalkan dalil-dalil agama dalam menarik simpati rakyat ia atau mereka, dengan leluasa dapat melancarkan action by action pada ruas jalan politik praktisnya yang terjal. Akan tetapi tak pernah ada sesuatu yang tidak paradok di mata rakyat, meski dalam rumpun agama yang homogen namun pertikaian tak bisa di hindarkan, sebab secara naluri rakyat adalah kumpulan manuisa yang memiliki kepala yang beragam dan dengan pola pikira yang beragam pula, dan di sini peran media, cetak mapun elektronik yang tidak segan-segan untuk saling mengkebiri bahkan membunuh para calon tersebut dengan pemberitaan yang miring dan tidak lagi faktual dalam sifatnya, sehingga para pendukung dari calon tersebut atau para simpatisan yang tidak sedikit naik pitam dari santernya pemberitaan miring dari setiap calon ‘wakil rakyat’ tersebut, dan dari banyaknya pemberitaan, isu agama menempati grade teratas, karena berkacamata konteks Indonesia yang rakyatnya sebagian besar mengidap fanatisme terhadap sesuatu yang ‘dianggap benar’ oleh dirinya ataupun kelompoknya, sehingga apabila terdapat sesuatu yang menyinggung persaannya atau banhkan menyakiti kelompoknya secara verbal, maka chaos tak bisa di hindarkan. Karena menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya ; warga masyarakat suatu kerajaan yang ingin meraka kuasai, meskipun jumlah mereka dua kali pat lebih banyak, namun ketika tujuan mereka berneda-beda dan tidak saling memabantu untuk menghindarkan diri dari kematian [ii], dan lagi, hal ini seolah dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memecah persatuan serta kebhinekaan yang telah telah sedari dulu terawat sebagai bangsa yang puspa warna dengan segala pluralitasnya.

Kebencian yang tertamam dari benih fanatisme yang berlebihan hyper-fanaitc,  dapat memicu perepcahan yang di dasarkan pada persoalan perebdaan, seperti ras, suku, agama atau yang lainnya. Dan yang ‘paling laku’ sekarang ialah agama, agama yang seolah menjadi sesuatu yang sangat seksi layaknya primadona yang diperebutkan oleh banyak laki-laki. Dan perbincangan agama-politik telah banyak di jumpai pada setiap sudut warung hingga galeng sawah, dengan mempersepsikan bahwa politik yang dijalankan mesti jika tidak harus, sesuai dengan koridor syari’at agama dan dengan sebagai mana seharusnya, dan sudah barang tentu sekularitas harus dihindarkan karena akan merongrong akidah dalam ritus-ritus kegamaan secara fatal. Karen Armstrong berujar bahwa ; pada era kegelapan, perbincangan agama begitu ramai diperbincangkan oleh masyarakat, seperti perbincangan sepak bila saat ini [iii], sehingga jika lawan bicaranya tidak sesuai dengan mukhotob secara nalar keagamaannya maka perkataan sininis dan sarkas tidak dapat di hindarkan pula, begitulah perbincangan dan perdebatan pada skup kecil masyarakat dalam perspektif politiknya,
Dalam skala prioritas, agama adalah sebagai alat pemersatu serta kasih sayang di segala aspeknya yang biasa dibahasakan sebagai rahmatal lil’alamin. Namun dalam makna denotatifnya telah bergeser pada setiap hastanya sehingga agama sekarang terlihat keruh dalam setiap aktivitanya, sebab agama belakangan ini telah dimanfaatkan oleh kapitalisme sebagai alat untuk mendulang laba yang berlipat dengan menggunakan brand agama atas hasil produksinya, seperti fenomena Hijab Syar’i, Salon Syar’i hinggga semua ‘diembel-embeli’ kata syar’i sebagai reprsentasi atas kaum beragama yang taat, karena tentu saja, Tuhan adalah proyeksi kebutuhan manusia – itu sudah jelas – tetapi kebutuhan ini diciptakan oleh faktor-faktor materi dan sosial yang mengkondisikan cara orang berpikir dan hidup [iv], dan demikian adanya dalam alam yang vis a vis antara kapitalisme dan agama kemudian di susul dengan politik dagangnya dengan menceburkan dalil-dalil sebagai manuver atas rekrutmen pasarnya. Akantetapi persolaan yang memang mirip akan tepapi diacuhkan begitu saja tidak kalah sesaknya, mulai dari persoalan agraria yang terus menyulut pertumpahan darah bagi merka yang mempertahankan tanahnya dari kerakusan kapitalis yang berpelukan dengan politisi pasca rutuhnya pesta pemilu, pilu memang, saat kedua kekasih tersebut berama-sama merayu tokoh agama (fundis) untuk memuluskan ambisi sepasang kekasih tersebut, dan lebih pilu lagi apabila dalil-dalil agama mulai di tabur untuk meredam para aktivis pejuang agraria tersebut, karena seperti apapun logika mistik tak bisa di hindarkan dari alam fikiran manusia Indonesia [v] yang telah dipenuhi oleh rasa fanatisme tehadap agamanya, tafsir agama yang mengkonstruksi fanatisme dirasa sukses untuk meredam serta mereduksi laju kesejahteraan sosial. Dan bagi mereka yang telah keluar dari cara berfikir mainstrem  yang penuh dengan fanatisme tersebut, akan di cap sebagai hipokrit dan atau bahkan di klaim penganut atheistik, dan sebagai bumbu darinya legitimasi agama juga digunakan ; halal darahnya jika dibunuh (baca ; tidak berdosa), begitulah, tekanan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan nyata dan sekaligus protes terhadap penderitaan nyata. Agama adalah keluhan mahlukyang tertindas, hati dunia yang tak berperasaan, sekaligus roh dari sebuah situasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat [vi] begitu yang K. Marx ujarkan dalam Contribution to the critique of Hegel’s Philosophy of Right, dan masyarakat yang memiliki fragmentasi kelas-sosial serta strata-sosial kini kini semakin menyeruak ke permukaan, yang dalam kurun waktu yang sebantar akan menimbulkan sentimen terhadapnya dan letupan agresi atas kegelisahan serta ketertindasan akan semakin nyata, karena agama selain dijadikan dalih atas kekuasaan, agama juga telah menjadi semcam momok dalam berkehidupan, terutama dalam ruang majemuk seperti perkotaan, yang di dalamnya terdapat pemahaman yang heterogen dan membentuk komuntias demi keamanan setiap individunya.

Agresi turun ke jalan dari puluhan ribu masa pada waktu 2 Desember 2016 menjadi titik resistensi serta titik balik kaum beragama yang militan dalam ‘membela agama’, yang tentu menjadi sebuah kehwatiran tersendiri bagi kaum beragama yang minotitas dalam jumlahnya, serta kehawatiran akan stabilitas ekonomi seperti yang pernah terjadi pada 1998 pada saat pelengseran presiden Soharto, dan juga kehawatiran-kehawatiran lainnya yang menyangkut keamanan manyarakat sekitar dari anarkis yang meledak pada saat aksi berlangsung. Namun sebenarnya aksi yng menamai dirinya sebagai Aksi Bela Islam tersebut tidak seyogyanya ‘selebay’ itu, karena dengan interval pemilu yang berlangsung maka perspektif masyarakat berubah, hal ini bukan saja di lihat dari kaca mata akademisi, namun kaum awam pun menyuarakannya dalam dialog-dialog kecil bersanding dengan rebusan ubi, sehingga politik dan agama menjadi klise yang sudah sekelas lawakan ludruk dan bisa dinikmati setiap lapisan masyarakat. Ide-ide utopis negara-islam atau kredo-kredo agama yang diseret dalam kancah politik-praktis telah mereduksi kepercayaan masyarakat terhadap kaum berpendidikan tinggi sekalipun, jika dalam praktiknya hanya membuat tenggorokan tersendat untuk segera tertawa, statemen-stateman partai politik yang dilontarkan telah berhasil di buat pemeo oleh masyarakat, baik secara verbal atau juga virtual. Peran agama yang telah berubah siklus, dari sejuk menjadi keruh telah melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan aktor politik yang menggunakan agama sebagai atribut dan mereduksi kalimat-kalimat indah dalah dalam agama sebagai jargon dari obsesi atas kekuasaannya, yang pada ahirnya akan saling berhitung modal dan laba setelah kursi di dudukinya, lebih fatal apabila atribut-atribut keagamaan tadi di hempaskan dalam penghisapan masyarakat melalui jalan-jalan indah yang bermuara pada korupsi, sebagai titik kesengsaraan awal masyarakat di semua lini, lalu di mana agama? Ia hanya sebagai alat dalam penghisap rakyat, sebagai pelarian kaum proletar tertindas, rumah kaum papa. Penghapusan agama (atribut) sebagai ilusi kebahagiaan masyarakat diperlukan bagi kebahagiaan sejati mereka [vii], jika hanya membuat kesengsaraan diahir episode pemilu serta di pusaran kekuasaan yang tidak ada lagi kata itu di dalamnya.
Agama yang berlabuh dalam kubangan-kubangan retorika serta yang keluar dari mulut orator kadang memang agama palsu, karena di dalamnya tedapat qarinah yang akan membunuh agama itu sendiri pada esensinya, ritual-ritual keagamaan yang di sesaki oleh provokasi-provokasi politik terselubung dan terang-terangan menghujat lawan politiknya telah mengkaburkan pesan cinta kasih yang seharusnya ditanamkan, telah berubah dan merubah tempat suci menjadi gelanggang kebencian. Perlahan namun pasti, mereka yang dalam retorika keagamaannya disusupi oleh ambisi kekuasaan akan membunuh agama bahkan Tuhannya sekalipun karena ia telah menggantikan Tuhan itu sendiri dengan kesombongan dan keserakahannya. Namun “ecce homo” sahut Nietzsche, inilah manusia, dengan segala bentuknya yang unik yang dengannya bisa menciptakan kedamaian atau sebaliknya. Dan  lagi, Nietzsche [viii] menasehati kita dengan “il faut tuer les pasions”, nafsu-nfsu harus dimatikan, nasfu yang ada dalam diri manusia, nafsu yang merugikan orang lain dan mendatangkan kerusakan bagi alam sekitarnya.  Wallahu’alam                                          


[i] Fauz Noor, Marginalia, Semesta Institute , Bandung 2016. H 33
[ii] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, penerjemah Masturi Ilham dkk, Pustaka al-Kautsar cetakan ke-III, Jak-tim 2011. H 264.
[iii] Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, penerjemah Zaimul Am, Mizan Media Utama cetakan ke-V, Bandung 2012.
[iv] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, penerjemah Yuliani Liputo, Mizan Media Utama edisi kedua cetakan ke-I, Bandung 2013
[v] Tan Malaka, Madilog, Narasi 2014
[vi] Ibid Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, H.395
[vii] Ibid
[viii] Nietzsche, Senjakala Berhala & Anti-Krist , penerjemah Hartono Hadikusumo, Narasi cetakan ke-1, Yogyakarta 2016.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.