[ads-post]

Tertegun dengan hijau dan kuningnya sawah yang menghampar diantara sesaknya pembangunan yang terus menggerus lahan-lahan pertanian dengan maksud-maksud "pembangunan SDM" yang sedang gencar di canangkan oleh raksasa bernama pemerintah yang menggandeng tangan investor dan birokrat untuk aksi realnya. Ada segmen krusial yang terlupakan dalam organ tubuh manusia, khususnya indra penglihatan, yaitu "kornea sosial" yang rusak karena kooptasi oleh trilogi penguasa (baca: harta, tahta, wanita), dengan pincangnya kornea tersebut, maka keserakahan tercipta, dari birokrasi yang urakan hingga segala bentuk penindasan yang sama sekali rakyat jelata melupakannya, pesakitan dan pesktian. 
 
Dengan memonopoli harga pupuk dan hasil panen tiap musim. Lupakan kurva permintaan dan penawaran dalam sajian teori ekonomi mainstream, karena semuanya telah terdiskreditkan oleh kong-kalikong feodal beserta centeng-centengnya yang terus merusak ekosistem kehidupan para petani, alam, dan memutus rantai makanan yang sudah semestinya meramaikan khazanah hamparan sawah nan indah. Tapi, rakyat begitu kuat dalam segala varian penindasan yang dilancarkan oleh oknum bermental pabrikkan tersebut, masyarakat revolusioner, begitu Cak Nun mengatakan dalam analisisnya mengenai masyarakat Indonesia. Rakyatnya kuat tapi pemerintahnya yang kendor dan ahirnya kedodoran dalam mengambil kebijakan, dan memutus birokrasi-birokrasi syubhat (ambigu). Segalanya beranjak dengan sendirinya, tidak mesti di tuntun semestinya oleh pemegang tampuk kekuasaan, rakyat mandiri, rakyat berdikari, dan rakyat berevolusi dalam segala bentuknya menurut kemauannya, beradaptasi dengan zaman yang kian memaksa untuk berevolusi, dan rela melepas adat-istiadat ke-Desa-annya, demi program-program yang dikonstruksi oleh negara. 
 
Dalam skema tertentu rakyat memiliki watak hingga karakter yang berbeda pada setiap teritorinya, dan alam sekitar tidak luput dari pembangunan watak tersebut, tentu berbeda watak masyarakat pegunungan dan watak masyarakat pesisir, yang kesemuanya di bingkai dalam frame Bhineka Tunggal Ika, kesemuanya tentu tidak ingin melepas apa yang di wariskan oleh leluhurnya, maka menjaga tradisi lama adalah semacam kemestian, dan mengambil sesuatu yang baru yang bersifat baik, sesuai dengan nilai-nilai karakter kebudayaan, kebangsaan, dan keagamaan merupakan sebuah sinergi yang tidak terbantahkan dalam pijakan Bumi Pertiwi ini. Dengan demikian, sudahi pertikaian retorika yang berujung anarkis oleh vandalis-vandalis yang rusak kornea kebangsaannya, ciptakan karakter Indonesia dengan semestinya, saling sapa, saling tolong, dan saling mencintai terhadap apa yang Semesta ciptakan.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.