Bumi
menangis, iya menangis hingga berteriak mengeluarkan lahar, lava, dan
partikel mengerikan dari dalam bumi, meronta dalam nestapa yang tiada
kunjung berhenti. Berabad lamanya bumi di huni, sebagai anugrah tak
terbantahkan bagi tiga mahluk yang di ciptakan semesta, memanfaatkan
sebaik-baiknya, mengembalikan sirkulasi seperti sediakala, seperti upaya
reboisasi atau go green (jika saat ini).
Dalam rujukan teologis mengacu pada teks skriptural dalam surat al-Hijr, ayat 19-20 dengan benang merah given
dari semesta untuk makhluk yang bernafas. Atau dalam Undang-Undang
pasal 33, ayat 2 mengenai keberlimpahan atas apa yang ada di atas bumi
diperuntukkan bagi manusia. Namun dalam realitasnya, upaya seperti
eksploitasi semacam menebang hingga menggantikan pohon dengan bangunan
mewah ialah penistaan terhadap lingkungan atau dengan abrasi yang kian
menghawatirkan memberikan dampak kecemasan bagi manusia, sekali lagi
bumi bukan objek yang seenaknya dikuasai dan diperlakukan tak adil
seperti apa yang terjadi saat ini, reklamasi di negri yang sejatinya
kaya akan pulaunya.
Menanam
dan menyiram dalam skema perlindungan akan bumi yang telah memberi
segala kebutuhan manusia dan hewan, namun bukan serta merta
menjungkirbalikan ekologi tanah yang telah tersusun rapi dengan segala
keteraturannya, sehingga dalam pemberian nutrisi pada bumi tidak
seyogyanya dilakukan dengan serampangan, seperti membubuhkan produk
pupuk kimia yang kian mentereng cerobong pabriknya serta kroni-kroninya
dari finishing uji coba laboratorium raksasa yang terus memperoksa bumi
untuk memenuhi libido kerakusan manusia yang haus akan segalanya.
Secara
akumulatif bumi kehilangan apa yang ia punya seperti hara, sirkulasi
iklim yang tak menentu, dan rantai makanan yang di putus oleh kampak
industri pupuk kimiawi. Bumi menangis, menjerit, dan kelaparan, tapi
bumi tidak diam dengan hal demikian, tsunami, banjir, gempa dan
kroni-kroninya melahap secara keseluruhan bagi mereka yang terus memaksa
bumi untuk berproduksi.
Lupakan
produk muslihat dengan jargon industri mainstream bernama "go green"
yang dengan statistik tertentu hanya mengeruk keuntungan dari konsumen
yang mau dibodohi, atau dengan penetapan harga plastik yang merujuk pada
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah namun
reaslisasinya belum sampai pada kanal-kanal titik pembuangan sampah di
pelosok-pelosok negri atau kota besar yang berlangganan banjir, tapi
bagi konsumen yang membeli barang dalam swalayan mewah juga tidak
terlepas dari pengerukan atas keuntungan bagi koloni pemerintah yang
memiskinkan dirinya sendiri tapi nir-cinta terhadap bumi.
Iklim
yang tiada menentu, setidaknya memberikan implikasi terhadap mereka
yang membutuhkan bantuan matahari, penjemuran padi contoh kecilnya.
Dengan adanya pemanasan global atau global warming sudah barang tentu
ekosistem alam tidak seimbang, dan euforia akan keteduhan hanya menjadi
celotehan para aktifis hijau. Bentuk pelatihan sampah menjadi urgen jika
melihat hal demikian, namun keberlanjutan akan pemanfaatan sampah yang
kadang kurang intens atau dengan istilah bubar jalan setelah adanya
pelatihan tersebut, lalu berlupa-lupa ria dengan sampah yang menumpuk.
Terus
tanam, dan tidak menambah beban bagi bumi yang telah renta, jadilah
konsumen cerdas bagi produk-produk yang hendak dibeli. Tangan, dan
fikiran kita menentukan bukan cerobong besar yang bermain aman dengan
valas yang memebentang dalam layar-layar pasar ekonomi dunia tapi entah
mau di jadikan apalagi bumi ini. Selamat berjuang untuk bumi, lupakan
perbedaan.
Posting Komentar