[ads-post]

Bagaimana rasanya berdiri di pematang sawah saat terik surya menghujam? Tentu panas. Juga mengapa mereka (petani) sudah tidak terlalu memusingkan hal tersebut? Bukankah sudah banyak pekerjaan yang lebih "enak" dan berada di bawah atap yang sudah barang tentu tidak merasakan panas matahari. Terbiasa, dan nyaman adalah dalam kondisi demikian (panas & gerah), telah menjadi kemestian bagi para petani, walau gatal pada malam hari adalah "hadiah" dari sawah ketika siang harinya, namun dalam sugesti para petani hal itu akan hilang dengan sendirinya ketika keesokkan harinya kembali berkecimpung dengan lumpur, berang-berang, dan panas. Sebelum keringat jatuh ke tanah rasanya "kurang afdal" bagi para petani yang ruang lingkup gerilyanya pada hamparan sawah. Menjadi shopism bagi para peneliti yang melakukan research kemudian mengatakan bla-bla tentang pertanian namun tidak sekalipun merasakan bermandi keringat, menyaksikan kringatnya menetes ke tanah, dan gatal-gatal sebagai souvenirnya. 
 
Karena pada hakikatnya banyak yang tak terkatakan dalam dunia pertanian, dari konflik pembagian lahan panen antar individu (Jawa:ceblokan) hingga pola kamuflase terhadap pencerahan-pencerahan yang digalakan oleh pemerintah dalam sektor pertanian. Petani harus terus mandiri, dan tidak menggantungkan euforia hasil melimpah pada produk pupuk ala konstruksi kapitalisme. Tabungan dalam lumbung harus debit, dan surplus gabah harus melimpah dengan kerja keras dan untaian do'a sebagai wujud ikhtiarnya, inilah tarekat petani. Upaya pelestarian sawah dengan menejemen ala pak tani memang belum di koodifikasikan dalm bentuk tulisan, baik dari segi metode pemeliharaan sawah atau teori-teori agrari yang petani belum semua mengetahuinya, karena pada umumnya mereka menggunakan metode empiris juga prakitik nyata dalam pembelajarannya. Kemudian, bukan sebuah kenistaan akan adanya ritual sebagai bentuk sakral petani menjelang panen seperti meletakkan sesaji, mengelilingi sawah dengan meletakan tangan kanan lalu membaca do'a-do'a yang mujarab (Jawa : mandi). Hal ini telah dijadikan sebuah sinergi anatara manusia-alam-Tuhan yang denga adanya ritual tersebut dapat menambah surplus panen pada dwi musim dalam satu tahunnya, hujan (Jawa : rendeng) atau kemarau (Jawa : ketiga). Semoga ikhtiar-ikhtiar tersebut dapat menambah hasil panen dan dapat mendulang kejayaan ekonomi desa.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.