[ads-post]

Sederet waktu berlalu, namun desa tidak henti-hentinya menyodorkan sisi eksotisnya, rasanya terlalu naif bagi yang menganggap desa adalah kolot. Dengan lika-liku segala dinamika tidak jemu menjamu pendatang dengan keragaman, kebudayaan, hingga ke-lugu-annya yang terus memberi inspirasi pada siapa saja yang mampu berfikir kritis, dan tentu anti-apatis. Sektor krusial sekaligus urgen dalam sebuah desa ialah potensi pertanian, meski sudah sebagian merangkak pada arus urban yang mainstream, tapi penduduk desa dengan keistiqomahannya terus berupaya hidup dan mengidupi dirinya dengan kemampuan yang terbatas. 
Berbagai hal dilakukan dalam rangka suksesi pertanian, seperti : kunjungan pemerintah sektor pertanian, observasi mahasiswa dst. Dengan upaya simultan tersebut petani semakin memasuki era modern dalam pertaniannya, memudahkan segala hal yang menyulitkan/masyyaqat, dan pada gilirannya memberi kontribusi positif terhadap pertanian desa tersebut. Petani acuh, lugu, dan taken granted dalam hal politik pertaniannya, entah menyangkut irigasi, harga pupuk, fungsi beserta disfungsi pupuk, atau bahkan dalam permainan harga oleh "hantu" tengkulak yang terus bergentayangan dan mata keranjang saat melihat jemuran padi. "Asal dapat uang dan kehidupan terus berjalan" itu yang sering terdengar ketika melakukan obrolan kecil saat melepas penat dibawah pohon bersama petani. "Betapa sederhanaya hidup ini, dan yang hebat adalah tafsirnya" dalam oretan Pramoedya, sekali lagi, betapa sederhananya, meski setiap hari harus berkeringat yang membanjiri tubuh dan panas yang hampir membuat kepala retak, tapi mereka qona'ah akan hal itu, akan penyelwengan prosedur, perselingkuhan pemerintah desa dan centengnya, penghianatan BULOG beserta kroni-kroninya. 
Belum lagi "maling" yang berseragam terus mengeksploitasi segala sesuatu yang bersumber dari jerih payah rakyat, namun belum dialokasikan dengan maksimal, minimal pun belum. "maling tidak akan berunding dengan pemilik rumah yang akan menjarah isi rumahnya" Tan Malaka manambahi, tapi dalam skala desa, bahkan negara, kini perundingan dalam upaya penjarahan terus dilakukan, kong-kalikong, pertemuan rutinan ala pejabat yang tiada lain dalam memperundingkan strategi dalam upaya penjarahan tersebut, menurunkan "robot" tuli berseragam dan bergerombol, mengamankan proses penjarah, dan tidak segan mengambil tindakan subversif pada siapa saja yang "dianggap" menentang, ya, itulah perundingan "maling & tuan rumah" kekinian. Saling sapa meski tak mengenal dalam desa, merupakan romantisme sejarah dan euforia bagi nenek-nenek yang tidak terkooptasi oleh modernitas, desa pada sisi esensialnya selalu menyajikan kearifan, kebudayaan, dan kemandirian, terutama petani yang berdaulat pada keyakinan teologis maupun realistis.

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.