Beberapa tahun
roda kehidupan di Pesantren terus bergulir, di awali dengan hanya belajar niat
berwudhu, niat sholat, niat yang lainnya, hingga ia memahami hakikat sebuah
agama, dari mulai perjalanan definisi dan berujung pada fungsinya, sehingga
seorang santri, begitu sebutan untuk pelajar yang menetap di Pesantren bukan
hanya mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama, lebih dari itu ia tekait
kontrak “batin” jika tidak spritual dengan masyarakat setelah ia pergi
meninggalkan desanya, dan mengenai perihal tanggung jawab keilmuan yang telah
didapatkannya dari Pesantren. Sehingga apa yang didapatkannya dari Pesantren,
baik dari sisi keilmuan, skill, dan budaya yang di dapatkannya bisa di aplikasikan
dalam lingkup yang luas (baca : masyarakat), dan apa yang pernah di singgung
dalam karya Prof. DR. A. Chozin Nasuha, M.A yang melaborasikan apa ilmu disebut
ilmu manfaat yang digagaskan oleh K.H A. Syathori pada masa silam dapat
dilaksanakan oleh penerus-penerusnya, sperti bisa menjadi imam shalat, khutbah,
membaca al-Qur’an, memimpin tahlil, dan imam marhabanan yang sangat dibutuhkan
oleh masyrakat dari kemarin, hari ini, dan nanti. Terlebih, ketika seorang
santri tersebut berasal dari ruang lingkup pedesaan yang mobilitas keilmuannya
tidak seperti di kota, maka hal diatas sudahlah tentu menjadi sasaran utama
dalam pengamalan ilmu yang pernah di dapatnya dari Pesantren. Juga sebagai
bentuk feed back terhadap bangunan keilmuan masyarakat dan harapan besarnya dapat memimpin sebuah masyarakat yang
sejahtera dengan didasar keilmuan yang kuat.
Dalam perjalanan waktu yang
secara langsung dan dan tidak langsung telah menggeser nilai-nilai dalam
masyarakat, umumnya, dan secara spesifik pada setiap individunya, maka peran
seorang santri dalam masyarakat juga lambat laun terkikis dan lebih gandrung
pada arus dominan seperti ekonomi secara prioritasnya, bukan sesuatu hal yang
baru bila seorang santri yang telah kembali ke kampung halamannya mulai
melupakan apa yang pernah di cita-citakannya untuk mengamalkan ilmunya telah
tersapu ombak kebutuhan pribadinya, atau apa yang dapat memenuhi “kebutuhan
pribadinya”, sehingga dis-orientasi tidak terhindarkan dari apa yang menjadi
idealismenya dulu, sehingga peran pentingnya terlupakan, dan secara tidak sadar
hanya melihat tanpa bertindak melihat kemrosotan-kemrosotan yang terjadi di
masyarakatnya, seperti maraknya budaya minuman keras dengan segala varian dan
bentuknya, ugal-ugalan dalam berkendara, dan hilangnya tata krama dalam
masyrakat. Dan itu hanya menjadi buah bibir tanpa realisasi nyata dalam
tindakkannya, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa stigma telah melekat
pada diri seorang santri yang memang tidak memperdulikan apa yang menjadi
problem dalam masyarakatnya.
Dalam kesempatan mengambil waktu
dari segala aktifitasnya, KH. Mahsun Muhammad M.A memberikan gambaran apa
terhadap apa yang sedang terjadi dalam dimensi kehidupan santri pasca
pesantrennya, seperti : pengaplikasian keilmuan, pembangunan karakter budaya
pesantren, solusi terhadap krisis mental, juga dalam fenomena radikalisme yang
kian marak terjadi. Pertama, pengaplikasian keilmuan para santri (methodology),
peran kesadaran bahwa ia adalah seorang santri, yang dipundaknya terdapat beban
tanggung jawab keilmuan, atau sebagai duta agama, sebagai agen pemberi
informasi mengenai hal-hal yang menyangkut keagamaan, seperti mengajar, tahlil,
ketua dalam sebuah organisasi, ataupun penggerak masyarakat, karena dengan hal
itu sesungguhnya Allah membukakan jalan kemanfaatan (utility) bagi
dirinya, namun terkadang ia sendiri menutup jalan teresebut dengan cara
mengkerdilkan diriny (baca : minder), sehingga minder adalah sebuah krisis akan
mental yang harus mulai dibangun sejak masih di Pesantren, ucapan seperti “tidak
mau” atau “masih ada yang lebih tua” juga termasuk dalam katagori tersebut,meski
tidak serta merta merta masyarakat mempercai seorang santri tersebut, karena
dengan mempertimbangkan dua hal, yaitu akhlak dan ilmunya, karena jelas terjadi
kepincangan jika salah satunya tidak terlaksana dalam pengamalan seorang
santri, sehingga abah Mahsun berpesan “kesempurnaan itu datang di jalan
(proses)”, dan fenomena yang terjadi selama ini dan hinggap dalam diri
seorang santri pasca ia di Pesantren adalah “aji mumpung” dengan ia telah
keluar dari Pesantren ia merasa bebas untuk melakukan apa-apa yang tidak
dilakukannya dalam pesantren, abah berpesan “tinggalkan rasa menunggu
kesempurnaan ketika masyarakat meminta jasa (ilmu) seorang santri”. Juga
tidak kalah pentingnya ketika, bagaimana mengelola ilmu yang sedikit dari
seorang santri tetapi tersampaikan dalam masyarakat, sehingga jangan sampai
seorang santri yang menguasai ilmu agama secara ideal tergantikan oleh
orang-orang yang bermodal mental namun minim ilmunya, sehingga apa gariskan
dalam kitab waraqath tentang jahlun murrokab telah samapi pada
permukaan masyarakat. Kedua, pembangunan karakter
ke-santri-an (goverment character), halmini erat kaitannya dengan budaya
peasntren yang mengajarkan seorang santrinya, berbudi luhur, berpenampilan
sopan, juga selalu menjaga lisannya, seperti budaya memakai sarung, baju
panjang, dan kopiyah atau kerudung merupakan icon seorang santri yang
harus lekat dalam kesehariannya dan dalam kebenaran yang aghlabiyah atau
umum bahwa icon tersebut memberi nilai baik di masyarakat, juga dalam
rangka membentengi seorang santri dari arus mainstream yang sudah
mendiskreditkan nilai-nilai luhur yang di cermikan dalam pakaian, juga karena
pakain juga merupakan sebuah identitas, baik ia seorang santri, bisnisman, atau
petani. Juga secara moril pakaian merupakan representasi dari sebuah
kepribadian seseorang. Meski tidak semudah membalikkan telapak tangan dalam
memegang arus yang dominan dalam budaya masyarakat, meski juga terdapat sesuatu
yang sifatnya fleksibel atau kondisional dalam memakainya dengan sarat
sopan dan tidak mengganggu pandangan orang lain yang dapat membuat seorang
santri tersebut terkilir dalam stigma-stigma yang kurang menyenangkan. Ketiga,
solusi dari krisis mental (solution menthal crishis), secara spritual
seorang santri tidak terelakkan dalam kesehariannya yang tidak terlepas dari
do’a, yang dimaksudkan agar ilmu yang di perolehnya di Pesantren bisa
bermanfaat di masyarakat, namun hal ini terkadang lupa atau memang terlupakan
karena terbentur dengan egosentrisnya masing-masing, dan secara langsung ia
telah membohongi dirinya dengan do’an yang pernah tercurah ketika di Pesantren.
Juga harus ditancapkan dalam pikirannya juga mesti menjadi pedoman bagi setiap
santri bahwa “seorang guru bisa pandai karena adanya murid”, dan hal ini
jelas menunjukkan bahwa apabila ia menjadi seorang guru maka ia tidak lupa
untuk mengulas kembali (muthalaah) pelajaran yang diterimanya di
pesantren. Dan yang perlu di ingat bahwa dalam kaidah fiqh atau teori
yurispridensi bahwa “mendahulukan orang lain dalam hal ibadah maka hukumnya
makruh”, sehingga apabila seorang santri diminta oleh masyrakat untuk
mengamalkan keilmuannya maka ia mengatakan “sanggup” atau “iya”, sehingga dalam
rutinitas kesehariannya dalam mengamalkan ilmu yang didapatkannya secara
langsung merepresentasikan ke-santrian-nya kembali, juga dalam beberapa sebab
yang menjadikan kemrosotan (degradasi) dalam setiap lembaga ialah tiadanya
peranan akhlak yang benar-benar menjadi ruh dalam setiap jiwa manusia, dan
dalam pengertiannya, akhlak tidak hanya terbatas pada skala yang sempit,
seperti mencium tangan kepada yang lebih tua atau juga menundukkan setengah
badan dalam berjalan ditengah orang yang lebih tua darinya, akat tetapi dalam
skala global, akhlak bertandang dalam kejujuran dalam pekerjaan dan segala
perbuatan, juga tidak “pilih kasih” dalam menentukan sebuah kebijakkan, juga apabila
mengingat apa misi pertama nabi Muhammad di utus, juga untuk menata kembali
kemrosotan-kemrosotan akhlak tersebut. Keempat, dalam upaya
mencegah arus radikalisme yang kian marak merekrut calon-calonnya, yang umumnya
usia remaja, Pesantern telah sejak awal memproteksi hal-hal demikian dengan
upaya penanaman basic keilmuan yang tidak setengah-setengah atau tidak
hanya kulitnya, dengan memberikan lingkup mengenai agama yang luas dan memahami
agama (khususnya Islam) tidak hanya berkutat pada kajian fiqh semata, namun
tahapan awal ialah Tauhid atau keyakinan, dan kedua ialah Syari’at, dan yang
selanjutnya ialah Tasawuf atau kebijaksanaan, yang ketiganya berpadu dalam
dimensi kehidupan manusia yang beragama, sehingga "من عرف نفسه فقد
عرف ربه" atau “barang siapa yang memahami dirinya, maka dia memahami
Tuhannya” bisa diaplikasikan dalam segala rutinitasnya. Karena begitu
banyaknya cara menuju kepada sang khaliq maka setiap orang juga
berbeda-beda dalam caranya, dan dengan hal ini merupakan sebuah keberagaman
dalam keagamaan yang bermuara pada keharmonisan dan menjunjung tinggi nilai
toleransi tersebut, tidak saling memvonis, salah dan benar. Juga pesan abah Mahsun
dalam kesempatannya mengatakan, “seorang santri harus menguasai dan memahami
kaidah fiqh”, dengan realitas hari ini, kebanyakan masyarakat masih
berkutat pada diskursus fiqh, seperti kaidah pokok ini seorang santri bisa
mengausainya dan meletakkanny sesuai dengan proporsinya :
الأمور بمقا صدها
Segala sesuatu sesuai dengan maksudnya
الضرريزال
Kemudharatan harus dihilangkan
اليقين لا يزال با لشّاك
Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
المشقّةتجلب التيسر
Kesulitan mendatangkan kemudahan
العدة محكمة
Adat dapat dijadikan (pertimbangan dalam menetapkan) hukum.
Dengan kaidah tersebut maka sudah seyogyanya seorang santri memiliki
nilai lebih dari kebanyakan masyarakat tersebut. Karena mengingat sesuatu itu
berubah ketika di tempat yang berbeda, sesuai dengan kaidah :
" تغيّرالأحكام
بتغيّر الأزمنة والأحوال والفوائد والنّيات "
“perubahan hukum mengikuti
sebab berubahnya zaman, situasi, adat, dan niat”
Dengan pertimbangan tersebut maka
peran sorang santri bisa seperti apa yang diharapakn, sesuai dengan fungsi dan
kapasiats keilmuannya juga meramu penyampaian ilmu tersebut di masyarakat,
lebih khusus mengenai tanggung jawab keilmuannya yang sudah sepatutnya
diamalkan dalam segala bentuk aktifitasnya.
والله أعلم
Badar Atas, 11 Maret 2016
Arjawinangun, Cirebon
Posting Komentar