[ads-post]






Dalam perjalanannya menuju pembebasan kebodohan yang terus mengungkungi alam Indonesia, buku penunjang atau bahkan kitab kuning kini kian terseok-seok oleh era digital yang kian canggih karena menggeser budaya-budaya yang pernah lestari dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam pejuangan mecerdaskan bangsa seperti yang ditulis dalam draf Undang-Undang, tak ayal kurikulum pendidikan sebagai tolok ukur sebuah pendidikan yang kian tidak menentu, dari pergantian kurikulum yang belum menemukan titik klimaks dalam perjalannya juga siswa-siswi tidak lebih dari “kelinci percobaan” pemerintah dalam bidang pendidikan.

Kitab kunig sebagai pondasi tak terelakkan dalam perjalanan sejarah yang dalam diskursus studi tertentu mestilah berlainan ruang dan waktunya kini mulai ditinggalkan dan hanya ditemukan dalam pendidikan model pesantren yang masih secara istiqomah dalam mengajarkannya, sehingga dalam keseharian sisw-siswi atau biasa disebut santri sudah terbiasa bahkan bisa beradaptasi dengan kitab tanpa syakal atau biasa disebut sebagai kitab gundul. Ada dalam sebuah kurikulum pesantren yang sampai sekarang belum tertanding dalam metode pengajaran moral atau akhlak bagi santrinya melalui pendekatan kitab kuning dan memang belum atau tidak diadaptasikan dalam sekolah-sekolah formal yang keberadaan siswanya semakin memprihatinkan, dengan masih eksisnya budaya tawuran sebagai mata rantai, dan kejahatan geng motor yang pelakunya tidak lain adalah para peserta didik dari berbagai macam sekolah, hingga pada kejahatan seksual yang dilakukan oleh para siswa-siswi yang membuat bulu roma semakin merinding dalam mendengar, melihat dan membaca dari media yang berseliweran selama ini. Dengan begitu memprihatinkannya kondisi pelajar yang selama ini menjadi harapan sebuah bangsa yang selama ini sedang mengalami kemunduran-kemunduran yang berarti, dan seharusnya sekolah sebagai sarana yang bisa menjadikan peserta didik menjadi pribadi yang bermanfaat bagi bansanya akan tetapi paradok dengan keadaan ini dan tak ayal menyalahkan adalah sebuah tindakan yang mengingkari nurani kemanusiaan. Adapun sebaliknya melakukan urun rembuk dan memberikan solusi sebagai terobosan demi kemajuan setiap individu peserta didik dari masing-masing sekolah.

Ditinjau dari aspek pendidikan karakter yang selama ini menaungi alam pikiran pendidikan Indonesia tapi nihil aplikasinya, Pesantren sudah menerapkannya dalam kesehariannya, baik itu bersikap dan bertutur kata dalam berdialog, dengan contoh kata kang digunakan untuk memanggil seseorang yang lebih tua umurnya atau juga kerja bakti sebagai wujud gotong royong dengan nama ro’an, juga dengan cara makan yang berbeda, yaitu dengan cara satu nampanbersama membangun eratnya hubungan emosinal yang selama ini, menghidupkan rasa saling menghormati dan saling menyayangi antara satu dan yang lainnya. Pada novel Tapak Sabda dikatakan bahwa sekolah menciptakan seragam, dan memang dalam lembaga tersebut belum mampu keberagaman, baik secara pemikiran dan tindakan. Dan tiga aspek prioritas pendidikan seperti Afektif, Kognitif, dan Psikomotorik hanya berlabuh pada mura ijazah yang kedepannya dijadikan sarat hidup sebagai manusia industri.

Dalam model pendidikan dan pengajaran yang diterapkan di pesantren, kitab seperti Ta’lim Muta’alim begitu lekat dalam pengajaran juga sebagai bekal keseharian para santri juga sebagai metode pengajaran yang dianggap ampuh dalam meredam gejolak para santri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan dirinya, agama nusa dan bangsa sehingga kitab itu terus disampaikan dalam pengajaran madrasah juga diluar madrasah. Dampak dari kitab tersebut memang belum maksimal namun dalam hitungan skala tertentu dapat meredam kenakalan-kenakalan remaja yang telah di lakukan , sehingga urgensi pembelajaran kitab tersebut seyogyanya tidak hanya disampaikan dalam model pendidikan pesantren akan tetapi juga disampaikan di sekolah-sekolah dengan harapan siswa-siswi bukan hanya sekedar mengerti dan memahami dalam teori yang ada dalam kitab tersebut tetapi juga dapat diaplikasikan dalam kesehariannya, dan mengingat juga sadar akan kemrosotan moral (degradasi) yang terus menjadi teman akrab bagi sebuah perubahan zaman. Kurikulum yang gemilang bila di tawarkan dalam model pendidikan formal dari sisi ahklak terhadap sesama teman atau yang lebih tua, orang tua, juga terhadap guru disekolahnya jelas akan memberi dampak yang menguntungkan bagi generasi penerus bangsa. Dari bab-bab yang terkandung dalam kitab yang ditulis oleh syaikh Zarnuji yang dalam dunia pendidikan begitu berpengaruh. Dalam kitab tersebut di tuliskan dari mulai Hakikat mencar ilmu, Hukum mencari ilmu beserta keutamaannya dan juga terdapat bab yang mengajari seorang murid untuk saling mengasihi terhadap sesama dan juga saling menasehati, sehingga dalam kondisi sosial yang semakin gawat ini bisa sedikit diredam dengan adanya model pendidikan ala pesantren seperti yang ada dalam ta’lim ta’lim ta’lim tersebut. Dikemudian hari mereka atau peserta didik akan bergumul dengan masyarakat, agar supaya mereka tidak terjebak dalam kriminalitas yangkian merebak maka semenjak dini seyogyanya diajarkan bagaiman berlaku budi terhadap manusia dan alam sekitarnya. Pelajaran akhlak dalam sekolah memang ada, seperti PPKN yang sedikit sekali menyinggung masalah etika juga aqidah akhlak yang dibawah pengawasan DEPAG namun tidak murni mengajarkan akhlak karena terdapat intervensi aqidah atau keyakinan. Jika dalam pandangan yang jauh akan betapa pentingnya diskursus akhlak yang selama ini menjadi suatu margin dalam pendidikan formal, maka tak heran menmunculkan fenomena yang frontal dan terus menyeruak di permukaan. Sehingga pesantren adalah wadah pendidikan tertua di Indonesia mencoba membimbing , membina, dan mengarahkan setiap peserta didik atau santrinya supaya terus berlaku adil, seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Bumi Manusianya : “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Sehingga ta’lim mutha’alim menjadi amunisi terpenting dalam pembentukkan moral seorang anak yang dalam masa proses belajarnya, lain halnya apabila akhlak disandingkan dengan era globalisasi dengan tiga daya bius manuvernya : food (makanan), fashion (pakaian), dan fun (kesenangan), hingga ketika moral atau akhlak tidak di tancapkan sejak dini maka dalam menghadapi situasi yang semakin gawat akan sunyilah akhlak tersebut.

Apa yangg selama ini menjadi problem masyarakat luas adalah kebodohan yang merajalela juga di barengi dengan kesunyian akhlak, tidak musykil ketika terjadi kekerasan, diskriminasi, keserakahan dan lain sebagainya semuanya di kembalikan pada hati dan jiwa pemegang jasad tersebut tanpa di dasari akhlak yang begitu menjadi patokan manusia dalam menilai manusia lainnya. Maka untuk yang sedang mempelajari ta’lim mutha’alim tak ada ruginya jika dibarengi dengan tindakan yang luhur dalam menjalani kehidupan setapak ini, hingga rasa dari buah yang bernama ilmu dapat kita rasakan, juga seperti pepatah Arab yang mengatakan bahwa “ilmu tanpa diamalkan barat bagai pohon yang tak berbuah”.

والله أعلم

Pojok Badar Atas

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.