[ads-post]


Membicarakan Indonesia tentu tak pernah habis, tentu memiliki spesialisasinya masing-masing, entah dicerca atau dihina pada setiap kemrosotannya, tentunya semua bulan-bualan itu tak akan berimplikasi apa-apa terhadap omong kosong besar perubahan yang hanya ditandaskan pada keluhan dan rintih kesakitan para “da’i” kondang pembenci negara, tak yal semua luapannya kini berseliweran di media sosial yang sedemikian dekat dan lekat dengan tangan, dengan syarat dan rukun yang harus dipenuhi (baca : gadget & kuota), dan sekiranya itu adalah potret rakyat yang tidak jauh dengan dewan perwakilannya.
Hal-hal menarik sudah dipastikan bermunculan saat menjelang, yang katanya “pesta demokrasi”, baik anekdot atau juga bualan-bualan para pembual yang dengan kesombongan (baca: GR) mencalonkan diri menjadi seorang wakil dari rakyat tanpa dorongan dari siapapun, atau jika ada ia adalah alat dari pemodal yang hendak memuluskan jalannya roda perekonomian. Dengan visi-misi tajam, setajam lidahnya berkelik dalam busa retorika, yang nantinya ia akan lupa dalam romantisme tahtannya, mensejahterakan rakyat, membangun segala yang hendak dibangun, memperbaiki apa yang perlu diperbaiki merupakan sebuah janji tanpa meterai yang secara administratif bisa di kelabui jika mengingkari.


Hendak bertanya atau menagih janji adalah sama saja berbicara ilusi, karena mereka para calon tadi telah menegasikan diri dari sesuatu yang bernama janji dengan semudah memecah telur, lisannya mengatakan “itu bukan bidang saya, atau wilayah otoritas saya tidak sejauh itu”. Meski dengan kedongkolan yang terus bercokol pada alam fikiran rakyat, maka sudah seyogyanya rakyat berevolusi dengan dirinya sendiri, dengan segenap jati diri yang selama ini terbentuk secara alamiah atau juga sejalan dengan ide Francois Quesnay (1694-1774) tentang benevolent despotism atau despot yang penuh kebajiakn, atau dengan kata lain sebuah roda pemerintahan yang dijalankan secara patrilineal tetapi wewenangnya tidak melegitimasi sebuah hukum baru akan tetapi melestarikan kerangka kerjanya dengan hukum-hukum alam secara bebas. Hingga dalam tahap ini masyarakat kita tidak dipusingkan dengan sepak terjang terjang pemerintah jika selama ini meresahkan masyarakat.


Dengan perjuangan pendahulu yang tak kenal pamrih dan hanya metekadkan cita-citanya tentu saja kontras dengan sarat perjuangan dimasa sekarang, sehingga kadang apa yang tertuang dalam sebuah lagu dapat merepresentasikan apa yang dirasakan oleh seseorang ataupun kelompok, seperti dalam lirik lagu band bernama Cupumanik yang berjudul Luka Bernegara, sekilas lirik lagu tersebut merepresentasikan sebuah kemerdekaan yang terskat oleh negara yang tidak memberikan ruang berekspresi kepada kaum muda, juga kembali pada permasalahan di atas : retorika politik, yangmenurut mereka (Cupumanik) menganggap mereka (pejabat) ialah sama sekali bukan seorang atau sesosok negarawan, melainkan hanya seorang watak politis yang hidup dalam sebuah lembaga dengan ambisi pribadi besarnya dalam mengeksploitasi segala yang ada dipermukaan bumi secara abriter atau membabi buta dalam mengambil sebuah sikap atau kebijakan yang nantinya langsung dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.menarik dalam sebuah kajian atas teks dari lirik lagu tersebut “kami punya cara bernegara”, dari penggalan ini seolah mengajak pendengar untuk masuk ke alam kreatif tanpa menggantungkan diri pada pemerintah yang kadang membuat segolongan kaum muda kecewa. Dengan fenomena yang terjadi belakangan seperti tradisi tawuran yang menjadi mata rantai, tiada habis bak tradisi membeli baju lebaran, juga budaya bisu dan mengeluhkan keadaan yang kian ambigu dan sulitnya menemukan titik tengah peramaian antar sektarian dalam agama. Seperti lirik selanjutnya “sikap deklarasi kebebasan” yang mungkin dalam asumsi atas kebenaran umum itu merupakan sebuah kesalahan. “tinggal dinegara yang sakit, kami harus menjaga diri kami tetap waras”, jika diibaratkan sebuah anggota tubuh maka sudah sepatutnya ia sakit sebagai kemestian dalam kehidupan, akan tetapi rasa sakit yang akut dengan sebab organ bagian dalamnya ada yang rusak juga ada indikasi salahnya pola konsumsi para pejabat kita.


Tiada habisnya menemukan kelonggaran-kelonggaran negri ini dari koruptor hingga skandal yang terus menyelimuti negri yang sedemikian “aneh” dengan mencanangkan banyak program namun terjebak dalam program, menjadikan pelajar sebagai modal terbesar para pemodal. Bukan hanya “Idealisme sebagai kemewahan terahir yang dimiliki seorang pemuda” begitu kira-kira kata Tan Malaka, hingga pemuda harus terjebak pada sebuah sistem industri yang harus memaksanya “menjual” idealisme tersebut, apa sebab? Enggan berfikir kreatif, memanfaatkan peluang, membaca sekitar. Maka cara yang harus dimiliki adalah kemauan yang tinggi dengan komitmen yang mantap dan mau belajar dan berusaha untuk selalu meningkatkan kualitas diri.



والله أعلم

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.