[ads-post]


Dalam beberapa kesempatan bangunan keilmuan selalu didasari oleh sebuah ilmu yang menjadi titik tolak atas sebuah definisi hingga fungsinya, sehingga dalam diskurus keilmuan terdapat dua madzhab keilmuan yaitu ilmu pasti dan ilmu sosial, salah satu utilitas dari keilmuan yang pertama : ilmu pasti ialah menjadi dasar atas segala sesuatau, dan yang kedua menjadi sebuah landasan pergerakan sosial (social movement) yang lebih banyak mengemukakan teori-teori sosial yang harus didasri oleh uji lapangan, karena relevansi dari teori yang dihasilkan dari tempat lain kadang berbeda dengan tempat yang lainnya, hal itu disebabkan oleh faktor geografis, kultural, dan corak sosialnya. 

Terdapat sebuah diskursus ilmu eksak atau ilmu pasti yang sampai sekarang menjadi primadona dikalangan Pesantren sejak dulu hingga sekarang, entah apa yang menyebabkan Alfiyah begitu fenomenal untuk di cicipi ilmunya? Dalam ekspansinya, alfiyah menempati posisi teratas dalam diskursus gramatika bahasa pada van ilmu Nahwu, dan bagi kalangan yang sudah mengenyam ilmu nahwu sebelumnya, maka sudah barang tentu kitab dari Andalusia tersebut harus di aji dan dikaji oleh para pelajar khususnya di Pesantren, baik salaf ataupun kholaf . 

metode dalam mengajarkan ilmu alat atau juga kitab klasik yang sudah ada sejak abad 16 tersebut hingga kini terdapat varian seiring berjalan dan berkembangnya zaman, pada tradisi pesantren klasik atau salaf lebih konsisten mengunakan kitab gundul yang tanpa syakal sehingga dalam pengajarannya para murid memberi harokat pada kitab tersebut, belum lagi ditambah dengan syi’ir atau nadzam yang berjumlah 1002 bait sebagai benang merah dari deskripsi kitab tersebut.

Pada konteks pesantren tedapat budaya yang kadang mengejawantahkan mitologi pada diri seorang santri yang sedang mempelajari kitab Alfiyah tersebut, sudah selayaknya ilmu dalam tingkat ahir pada petualangnya menelusuri gramatika Arab yang nantinya disambung dengan sastra sebagai modal penulisan indah. Kitab yang ditulis oleh Muhammad bin Abdullah bin Malik al-Andalusy, beliau lahir pada tahun 600 H atau bertepatan dengan 21 Februari 1203 M di sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia (Spanyol) yang bernama Jayyan atau lebih mashur dengan panggilan Ibnu Malik ternyata memiliki tempat tersendiri pada budaya Pesantren, seperti asumsi yang mengklaim bahwa belum disebut seorang “santri” apabila belum mempelajari kitab tersebut, kemudian pada ritme kehidupan yang dijalani seorang santri atau pelajar dalam menekuni ilmu tersebut banyak memiliki hambatan atau cobaan, lebih spesifik seorang guru mengatakan “cobaan tersebut berkutat pada tiga permasalahan ; ekonomi, keluarga, dan asmara. 

Apalagi ketika sudah sampai bab Jama’ taksir”. Hingga begitu beratnya menerima ilmu tersebut bukan hanya hanya dalam deskripsi teorinya melainkan 1002 bait nadzam yang harus di ahafal diluar kepala, dengan sekuat tenaga dan daya konsentrasi yang tinggi para santri yang sedang menggeluti bidang tersebut kadang tidak bisa dihindarkan dari 3 cobaan tersebut, bukan hanya dalam menggeluti atau menekuni Alfiyah saja cobaan tersebut ada, melainkan kitab yang lain juga pasti memiliki kadar uji yang sama namun kapasitas ujianya yang sedikit berbeda, hingga terdapat kemungkinan bahwa bila disandigkan dengan pepatah yang mengatakan bahwa “semakin tinggi pohon, maka semakin kencang angin menerpanya”, dengan adanya geliat dan semangat dari yang kadang direpresentasikan Alfiyah dalam filosofi/falsafah kehidupan seperti :


“نكرة قابل آل مؤثرا أو واقع موقع ما قد ذكرا”


Artinya: semua makhluk hidup sejatinya bersifat umum (nakiroh), yang dapat menerima sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang sangat berpengaruh dari sang pencipta jagad, selain itu, makhluk juga merupakan sesuatu yang bertempat dalam jagadnya (bumi) Dzat yang maha pencipta sebagaimana telah disebutkan.

Jika diamati secara seksama dalam syair di atas, sang pujangga Andalus menjelaskan bahwasanya kita (manusia) merupakan makhluk yang tiada beda antara satu dengan yang lainnya, kita tak ada bedanya dengan hewan, kita tak ada bedanya dengan Jin, bahkan kita tak ada bedanya dengan Malaikat. Namun sebagai manusia kita harus bersyukur, karena kita memiliki sebuah keistimewaan (al ta’rif) yang bisa kita banggakan dibanding Malaikat, Jin, maupun hewan. Kita (manusia) dianugerahi akal-pikiran, sehingga -selain dapat membedakan dirinya dengan makhluk lainya- kita dapat mencari cahaya kebenaran yang sejati. 

Karena –perlu diingat- jika manusia mampu menemukan cahaya kebenaran tersebut, maka sejatinya ia lebih mulia dari Malaikat, sebab dengan menemukan cahaya kebenaran, hal itu merupakan sebuah pertanda bahwa manusia mampu melawan hawa nafsunya, sedangkan Malaikat tercipta dengan tanpa hawa nafsu, maka tak heran jika mereka selalu taat beribadah. 

Namun jika ia (manusia) terjerumus dalam jurang nafsu, maka ia tak jauh bedanya dengan hewan, bahkan ia lebih hina dari hewan, sebab ia sudah diberikan akal-pikiran, tapi tidak ia pergunakan, sedangkan hewan tidak diberikan akal-pikiran, maka tak heran jika hewan tak bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Juga dalam langgam berikut:


“وغيره معرفة كهم وذى وهند وابنى والغلم والذى”


Artinya: dan selain nakiroh (orang-orang pada umumnya) adalah orang makrifat billahi Ta’ala, mereka adalah orang-orang yang mempunyai sifat-sifat seperti lafadz hum (isim dhomir), lafadz dzi (isim isyaroh), lafadz hinda (alam asma/alam jenis), lafadz ibny (isim yang dimudhofkan), lafadz al-ghulaami (al-ta’rif), dan lafadz alladzi (isim mausul). 

Syair sang pujangga Andalus tersebut, mengajarkan pada kita untuk mencapai derajat makrifat, karena derajat makrifat –menurut sebagian besar ulama’ sufi- merupakan derajat yang paling tinggi di sisi Tuhan, makrifat merupakan tujuan akhir dari suatu pendekatan diri kepada sang Pencipta, karena makrifat hanya bisa dicapai setelah manusia melewati tangga-tangga “istana Tuhan” yang meliputi Syari’at, Thoriqot, Hakekat, baru kemudian Makrifat billahi Ta’ala.


Sehingga dalam perjalanannya Alfiyah bukan hanya hanya sebagai ilmu akan tetapi sebagi suatu falsafah dalam menapaki kehidupan yang penuh ujian, selain itu pada substansi pendidikan ialah terus mengajarkan kebaikan dan keselarasan. Baik dengan sesama manusia, alam juga hewan, seperti yang ucapkan oleh Tan Malaka (1897-1949)tentang benang merah atau inti pendidikan : “bahwa maksud pendidikan anak kuli (atau yang lainnya)terutama adalah mempertajam kecerdasan dan memperkokoh kemauan, memperhalus perasaan (budi luhur), seperti dimaksudkan dengan anaknya bangsa apapuun (kaya atau miskin), dan golongan apapun”.

والله أعلم

Badar Atas, Sabtu, 05-03-2016

Arjawinangun

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.