Pengajian kitab tafsir al-Ahkam
juz 2, dengan pembahasan awal mengenai hukum atas pelaku zina yang terdapat
pada surat an-nur ayat 1-3 dimana terdapat perbedaan antara cambuk (jilid) dan
di lempari batu (rajam),
Namun sebelumnya terdapat pertanyaan dalam sub bab al-ahkamu
as-syar’iyah mengenai hukuman bagi pelaku zina sebelum di syari’atkannya dilid
dan rajam tersebut, lantas seperti apa model hukuman yang di terapkan sebelum
islam datang atau sebelum di syari’atkannya hukuman tersebut?
Pada awalnya pelaku zina di hukum
dengan hukuman ringan dengan alasan sulitnya menghapuskan perbuatan tersebut
sehingga hukum yang di terapkan pun sama dengan hukuman khomer atau orang yang
meminum minuman keras yang sifatnya bertahap agar supaya hukum tersebut bisa di
terima dengan lapang dada. Seperti dalam surat an-nisa ayat 15-16, hukuman yang
di terpkan bagi pelaku zina ialah, bila perempuan di tahan di dalam rumah dan
tidak di izinkan keluar rumah sedangkan bagi lak-laki di tahan secara lisan dan
ucapannya (tidak di hiraukan), namun kemudaian ayat tersebut di salin oleh
surat an-nur ayat 2 dengan pemberlakun cambuk sebanyak 100 kali atau jilid bagi
pelaku zina baik perempuan maupun laki-laki. Dan hukuman pada awal islam ialah
barsifat ta’zir atau penjerahan terhadap pelaku, pada surat an-nissa terdapat
isyarat yang menunjukkan bahwa cambuk di peruntukkan bagi seorang yang masih
berstatus lajang (perjaka/perawan) sedangkan bagi yang sudah berkeluarga atau
pernah berkeluarga (duda/janda) dengan istilah lain zina mukhson ialah di rajam
atau di lempar dengan batu hingga mati. Seperti yang diriwayatkan oleh Ubadah
bin Shomith,
كان نبي الله ص.م إذا أنزل عليه الوحي كرب لذ لك وتر بّد
وجهه, فأنزل الله عليه ذات يوم فلقي كذ لك فلما سرّي عنه قل : خذوا عني, خذوا عني
قد جعل الله لهنّ سبيلا :" البكر با لبكر جلد مئة وتغريب عام, والثيب با لثيب
جلد مئة والرجم"
Pada matan hadist di
atas jelas bahwa bagi pelaku zina yang masih berstatus lajang ialah 100 kali
cambuk dan di buang atau diasingkan satu tahun dan bagi yang memiliki keluarga
atau berstatus duda atau janda maka di hukum dengan hukuman 100 kali cambukan
dan di lempari batu hingga mati.
Pada pertanyaan kedua: apakah
hukuman bagi pelaku zina yang berstatus lajang juga yang sudah menikah atau
berstatus duda/janda?
Dalam syari’at islam
sudah di jelaskan tentang hukuman bagi pelaku zina juga telah diklasifikasikan
hukuman bagi pelakunya dengan penyandang status lajang atau telah berkeluarga,
seperti hukuman 100 kali cambukan dan di lempari batu hingga mati bagi pelaku
zina mukhson (telah dan sudah berkeluarga).
Hukuman 100 kali
cambuk telah di tetapkan oleh nash atau teks al-qur’an secara mutlak seperti
yang tersurat dalam al-qur’an pada surat an-nur ayat 2 dan hukuman tersebut
berlaku secara umum baik yang mukhson (telah dan sudah berkeluarga) atau ghairu
mukhson (lajang).
Hukuman rajam atau di
lempari batu hingga mati ialah terdapat dalam hadist mutawatir juga
kesepakatan/konsensus sahabat dan tabi’in yang merupakan riwayat valid dan
tidak ada keraguan atasnya. Juga menjadi kesepakatan ahli fiqh tentang adanya
hukam rajam tersebut.
Golongan Khawarij
tidak setuju akan adanya hukuman rajam tersebut dengan mengemukakan 3 argumen
penolakannya:
a.
Hukuman rajam tersebut tidaklah terdapat dalam teks al-qur’an.
b.
Ketetapan hukuman bagi budak (amat) ialah setengah dari orang merdeka.
c.
Bukankah pemberlakuan hukum ialah sama bagi pelaku zina baik lajang juga
yang berstatus telah dan sudah berkeluarga.
Jawaban atas argumen
yang di ajukan oleh khawarij
a.
Rajam tersebut merupakan hukuman yang di tetapkan oleh nabi yang dalam
hal ini juga bisa di sebut sebagai wahyu dengan mengacu pada teks al-qur’an
surat al-hasr ayat 7 juga dalam sebuah etimologi bahwa wahyu memiliki dua
pembagain yaitu al-qur’an juga ghairu matlub (hadist), atau merupakan sebuah
hadist yang dalam hal ini baik ucapan, pekerjaan, dan ketetapannya ialah
perintah dan juga sebagai landasan hukum atau legalitas kedua setelah
al-qur’an.
b.
Dalam teks al-qur’an dalam surat an-nisa ayat 25 terdapat kata yang
menunjukkan setengah hukuman atas budak, namun yang di maksud alam ayat
tersebut merupakan jilid atau 50 kali cambuk bukanlah rajam. Dengan alasan,
bahwa pelanggaran yang di lakukan oleh orang yang merdeka ialah lebih terhina
dari yang di lakukan oleh budak.
c.
Tuduhan atas kaum khawarij atas pemberlakuan umum atas sebuah ayat,
sedangkan pengkhususan atas sebuah hukum itu bertentangan dengan al-qur’an.
Jumhur ulama mengatakan bahwasannya hukum al-qur’an itu umum dan pengkhususan
hukum dijelaskan dengan hadist nabi seperti contoh ayat yang menerangkan hukum
mencuri dan hukum nasab dari garis rodo’ (sepersusuan).
Pertanyaan ke-tiga mengenai hukuman (jilid & rajam) tersebut apakah
pelaksanaannya lakukan secara bersamaan? Ulama ahli dzahir mengatakan bahwa
jilid & rajam ialah benar adanya dan pelaksaannya di gabungkan dan ini
merupakan sebuah riwayat dari imam Ahmad, dan jumhur ulama mengatakan sebaliknya
jika rajam maka hanya rajam saj, dan jika jilid maka jilid saja dan ini menurut
riwayat dari jumhur sahabat, tabi’in, dan ulama ahli fiqh yang kuat juga
riwayat dalam riwayat imam Ahmad yang lain.
Dalil dari kalangan
ulama dzahiri terdiri dari tiga argumen yang mengabungkan pelaksanaan jilid dan
rajam.
a.
Hadist dari ‘Ubadah bin Shomith dengan redaksi hadist seperti yang
telahdi sebut di atas
" الثيب با لثيب
جلد ورجم با لحجارة "
b.
Pada teks al-qur’an terdapat kata “az-zaniah wa zani” yang jika secara
gramatika bahasa arab terdapat huruf “al” yang mengandung arti umum dan
melahirkan out put hukum yang sama, dengan di tambah hadist tentang rajam yang
merupakan tambahan atas pelaksanaan jilid tersebut.
c.
Riwayat dari sahabat Ali karomallahu wajhah pada pelaksaan hukuman jilid
terhadap pelaku zina bernama Syarahah kemudian merajamnya,
" جلد تها بكتا ب
الله تعالى ورجمتها بسنة رسول الله "
“Jilidlah
dengan perintah al-qur’an dan rajamlah karena perintah nabi”
Dalil atau argumen
dari kalangan jumhur/mayoritas ulama, dengan mengabil dari hadist yang di
riwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dengan matan/isi redaksi hadistnya :
" والذي نفسي بيده
لأقضينّ بينكما بكتا ب الله, الوليدة والغنم ردَّ عليك وعلى ابنك جلد مائة وتغريب
عام, واغديا أنيس إلى امر أة هذا, فإن اعتر فت فارجمها"
Pelaksaan hukum
tersebut di lakukan tidak secara bersamaan, kemudian dengan istidlal dari
fi’lun nabi yang menyatakan bahwa hukum rajam telah sering di lakukan pada
zaman nabi dan tidak ada yang menceritakan akan adanya pengabungan atas dua
hukuman tersebut.
Jawaban atas argumen kaum dzahir
tersebut dengan landasan hadist dari ‘Ubadah bin Shomith ialah bahwa hadist
tersebut telah di salin dengan datangnya hadist yang menetapkan rajam bukanlah
jilid, dan sudah sepatutnya berita/khabar tersebut di ganti, sehingga pendapat
yang lebih unggul ialah pendapat dari mayoritas ulama tersebut.
Pertanyaan selajutnya : apakah
di asingkan selama satu tahun dari tempatnya itu merupakan sebuah syari’at? Pelaku
zina yang berstatus lajang menurut imam Abu Hanifah dan pengikutnya mengenai
hal itu ialah hanya di cambuk sebanyak 100 kali dan hukuman pengasingan
tersebut ialah merupakan sebuah kebijakan dari pemimpin daerahnya yang segala
otoritasnya di serahkan kepadanya.
Sedangkan menurut
jumhur/mayoritas ulama(imam Syafi’i, Malik, Ahmad) mengatakan di jilid juga d
asingkan.
Dalil dari ulama
Hanafiyah:
-
Imam Abu Hanifah melihat teks ayat dengan apa adanya sedangkan mengenai
perihal oengasingan ialah sifatnya fleksibel atau tergantung dari otoritas
pemimpin daerahnya (ta’zir), dan apabila ,menerapkan hukuman pengasingan maka
kemungkinan terjadi lolos akan hukum awalnya yang berupa cambuk yang hakikatnya
merupakan hukuman pokok bagi pelaku zina yang berstatus lajang tersebut.
-
Sebuah riwyat hadist :
إذا زنت الأمة فتبيّن زنا ها فليجلد ها ولا
يوثرّب عليها, ثم إن زنت فليبعها ولو بحبل من شعر"
Dari
matan hadist tersebut tersirat bahwa hukuman cambuk merupakan hukuman pokok
atau utama kepada pelaku zina, juga karena rendahnya pelaku zina tersebut maka
bila seorang budak yang berzina tidak memiliki niai apa-apa meski seharga
sehelai rambut.
-
Riwayat hadist dari sahabat Ali mengatakan bahwa ketika pelaku zina di
hukum dengan cara di asingkan maka akan menimbulkan sebuah fitnah.
-
Sahabat Umar ketika menjadi khalifah kemudian melaksanakan hukuman
pengasingan di tanah Khaibar namun seseorang yang datang menjemputnya tidak
menemukan orang tersebut sehingga khalifah tersebut menimbang kembali akan
adanya hukuman tersebut.
Dalil dari mayoritas
ulama atas perkara itu :
-
Dari redaksi hadist yang di riwayatkan dari ‘Ubadah bin Shomith dengan
matan hadist:
:" البكر با لبكر
جلد مئة وتغريب عام, والثيب با لثيب جلد مئة والرجم"
Dari matan hadist tersebut pelaksanaan hukum
pengasingan harus dilakukan.
-
Kisah seorang budak yang melakukan perbuatan zina :
إن على ابنك جلد مائة وتغريب عام
-
Penambahan hukuman atas pelaku zina dengan jilid yang berasal dari nash
al-qur’an dan pengasingan merupakan hadist yang dapat di jadikan legalitas
hukum setelah al-qur’an.
Jika hukuman
pengasingan tersebut di laksanakan maka muncul kembali pertanyaan apakah hukum
pengasingan tersebut mencakup perempuan juga?
Terdapat perselisihan mengenai hal ini, imam Malik dan Auza’i mengatakan
bahwa pengasingan tersebut hanya di berlakukan untuk laki-lakinya saja.
Sedangkan menurut imam Syafi’i dan Ahmad hukum pengasingan tersebut berlaku
umum baik laki-laki dan perempuan. Namun, apabila perempuan yang sedng
menjalani proses hukum pengasingan tersebut haruslah bersama mahramnya, dan
juga mendapat upah dari pelaku zina tersebut.
Bagaimana hukuman bagi
kafir dzimmi yang melakukan zina mukhson?
Terdapat perselisihan
di kalangan ulama mengenai hukuman pelaku zina yang di lakukan oleh kafir
dzimmi (non-islam yang hidup di negara yang berpenduduk mayoritas islam), ulama
penganut madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukumannya berupa cambuk 100 kali.
Sedangkan ulama penganut madzhab Syafi’i dan Hambali ialah di lempari batu
hingga mati (rajam).
Dalil dari ulama Hanafi :
-
Hadist dari Ibnu Umar dengan redaksi hadist :
"من أشرك با الله
فليس بمحصن"
Matan
hadist tersebut bermaksud mengatakan bahwa kata mukhson ialah berarti rajam
sama seperti yang terdapat dalam kitab agama Yahudi.
-
Pelaku zina tersebut menanggung hukuman yang amat berat apalagi jika di
lakukan oleh orang yang memiliki kedudukan seperti di contohkan dalam al-qur’an
bahwa istri-istri nabi menanggung hukuman yang lebih berat (surat al-Ahzab,
ayat 30).
-
Hukuman yang sama yaitu rajam di peruntukkan bagi kafir dzimmi dengan kesepakatan
pemrinta setempat.
Dalil dari ulama Syafi’iyah :
-
Dari sebuah hadist dengan redaksi :
" إذا قبلوا
الجزية فلهم ما للمسلمين, وعليهم ما على المسلمين"
Dari
matan hadist tersebut di sebutkan bahwa ketika sorang petugas menerima jizyah
(pajak jiwa) dari non-islam tersebut maka petugas tersebut telah memberlakukan
sebuah sistem yang sama kepada semua masyarakat negara/daerah tersebut maka
aturan dan sanksinyapun sama.
-
Rwayat dari Ibnu Umar yang mengtakan bawa dua orang yahudi di bawa
kepada nabi karena telah berbuat zina kemudian nabi bertanya apakah hukuman
yang terdapat dalam kitab suci kalian (zabur)? Mereka menjawab namun dengan
nada berbohong “di permalukan dengan cara hanya di coret mukanya dengan arang”
lalu nabimenyangkal bahwa itu adalah kebohongan, lalu nabi menyuruh mereka
membacakan isi kitab mereka hingga sampai kepada permasalahan zina mereka
menutup bacaannya, lalu nabi mengatakan “buka dan bacalah lagi”, hingga mereka
mengatakan yang sebenarnya. Kemudian nabi melaksanakan hukum rajam tersebut dan
Ibnu Umar ikut menyaksikan proses rajam tersebut, meski dalam keadaan d rajam
tersebut seorang Yahudi laki-laki masih melindungi si perempuan tersebut dari
lemparan batu.
-
Sebuah hadist:
إنّ زنى الكافر مثل زنى المسلم في الحاجة إلى
الزّجرفلذا ير جم"
Benang
merah dari zina tersebut ialah hasrat biologis maka pemberlakuan hukumannya pun
sama.
Pendapat yang unggul
dari argumen di atas, mushonif menyatakan bahwa pendapat imam Syafi’i lebih
unggul dengan argumentasi dan dalil yang kuat.
Bagaimana
penegakkan hukum atas pelaku zina?
Teks al-qur’an
menerangkan bahwa hukum cambuk adalah hukuman yang pantas atas pelaku perbuatan
zina yang diserahkan kepada keamanan dalam pemerintahan (pihak yang
berwajib), karena untuk menciptakan sebuah
kemaslahatan umum dan menolak kerusakan. Sedangkan bagi seorang budak yang
melakukan perbuatan zina terdapat perbedaan ulama dalam penentuan siap yang
melakukan hukuman tersebut, apakah pemilik budak tersebut atau di serahkan
kepada keamanan pemerintah?
-
Madzhab imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad bhawa yang berhak menghukum
seorang budak dalam kasus zina, khamer (meminum minuman keras), dan qodaf,
kecuali seorang budak tersebut telah melakukan pencurian maka yang berhak
menghukumnya adalah pihak yang berwajib.
-
Madzhab Abu Hanifah menyatakan bahwa yang berwenang menghukum segala
tindak pidana adalah pemerintah (pihakyang berwajib).
Hujjah atau argumen
dari jumhur ulama (Malik, Syafi’i, Ahmad) ialah melalui istidlal dari teks
al-qur’a, hadist Nabi, dan Atsar sahabat :
-
Dari hadist Abi Hurairah, dengan matan sebagai berikut:
"إذ زنت أمة أحدكم
فليجلدها الحّد ولا يثرب ثمّ إن زنت فليبعها ولو بحبل من شعر"
Dari
matan hadist tersebut tersirat bahwa hukuman cambuk merupakan hukuman pokok
atau utama kepada pelaku zina, juga karena rendahnya pelaku zina tersebut maka
bila seorang budak yang berzina tidak memiliki niai apa-apa meski seharga
sehelai rambut.
Dan
di ucapkan bahwa : Penegakkan hukuman atas zina ialah sebuah cambuk, yang dalam
maksud teks tersebut ialah “janganlah diasingkan”.
-
Hadist dari sahabat Ali :
"أقيموا
الحدودّعلى ما ملكت أيما نكم من أحصن أو لم يحصنّ"
Dari
matan hadist tersebut tersurat bahwa yang bewenang melakukan hukuman atas
pelaku zina baik yang beestatus lajang atau yang telah menikah.
-
Sebuah riwayat dari Ibnu Umar, bahwa beliau telah melakukan hukuman atas
seorang budak miliknya dengan cara memukul/mencambuk kedua kakinya namun
kemudian anak adi Ibnu Umar yaitu Salim bertanya kepada ayahnya, dari mana
sebuah hukuman tersebut? Dengan
menyampaikan potongan ayat dalam surat an-nur ayat ke-2. Kemudian Ibnu
Umar mengatakan “hai anakku, apakah kamu tidak mengetahui betapa saya
menyanginya dengan melaksanakan hukum Allah maka saya tidak sampai
membunuhnya”.
Sehingga
di katakan bahwa Ibnu Umar bukanlah seorang penguasa atau gantinya namun ia
adalah pemilik budak tersebut, sehingga ini di jadikan landasan hukum oleh
mmayoritas ulama.
Argumen Abu Hanifah :
-
potongan ayat dalam surat an-nur
ayat ke-2 menurut Abu Hanifah merupakan sebuah kata umum untuk pelaku zina baik
laki-laki atau perempuan serta khotob atau ucapanya di tunjukkan kepada
pemerintah sebuah negara tersebut dan pelaksanaannya bukanlah di lakukan oleh
orang sebarangan meskipun ia adalah pemilik budak tersebut, sehingga semisal
terjadinya perbuatan zina yang di
lakukan oleh budak, maka seyogyanya tuan atau pemiliknya wajib melaporkannya
kepada pihak yang berwajib sehingga di tangani oleh pihak keamanan setempat.
-
Abu Hanifah mengatakan bahwa hadist yang menggunakan matan
-
"أقيموا
الحدودّعلى ما ملكت أيما نكم "
Menunjukkan
suatu kewajiban melapor kepada pemerintah setempat.
-
Tentang hadist Ibnu Umar, Abu Hanifah mengatakan bahwa haruslah ada
pemeriksaan terhadap hadist tersebut, apakah benar Ibnu Umar melakukannya
sendiri terhadap budaknya.
Dan pendapat yang di
unggulkan dari kedua argumen tersebut ialah pendapat dari jumhur ulama dengan
keunggulan yang menghadirkan hadist dan perbuatan sebagian perbuatan sahabat
dalam penanganan hukuman atas seorang budak.
Bagaimana praktik cambuk dan
sifatnya?
Ulama mengambil dalil
ata beristidlal dengan menggunakan potongan ayat ke-2 dari surat an-nur yaitu
dengan tidak meringankan hukuman, tidak menghapus atau menghilangkan hukuman
tersebut, mengurangi jumlah, meringankan pukulan/sabetan.
Imam Qurtubi
mengatakan “proses hukuman tersebut hendaknya dilakukan dengan di rasakannya
sakit atas pelakunya, tidak merobek kulitnya, cara menyambuknya dengan tidak
mengangkat tangan dengan tidak terlalu tinggi atau jangan sampai terlihat
ketiaknya. Sehingga melakukannya dengan sedang tidak lembek dan tidak terlalu
keras pukulannya karena akan menyakiti dan akan mengilangkan nyawa seseorang.
Menyambung petanyaan
di atas, namun kini kepada praktik tentang mencambuk pelaku zina. Singga timbul
sub pertanyaan, apakah kadar pemukulan/cambuk itu sama?
Imam Hanafi menyatakan
: pemukulan terhadap pelaku perbuatan zina lebih berat dari pelaku yang meminum
arak, dan pemukulan kepada peminum arak lebih berat dari pukulan/sanksi pendakwah
(menuduh) zina. Dan semua itu dalam
konteks ta’zir atau menjerahkan.
Imam Malikiyah dan
Syafi’iyah mengatakan : semua pukulan/cambuk itu sama kadar dan jumlahnya, dan
pukulannya yang tidak mengakibatkan cacat (natoni) pada setiap
pukulannya.
Imam Tsauri :
pemukulan karena zina lebih berat dari pukulan menuduh zina, dan pemukulan atas
meduduh zina lebih berat meminum arak.
Dasar argumentasi imam :
Abu Hanifah : dari
contoh perbuatan yang di lakukan sahabat umar dalam menjerahkan, pemukulan
lebih berat terhadap pelaku zina.
Imam Malik dan Syafi’i
: karena hukuman di kembalikan terhadap syari’at (al-Qur’an dan hadist), dan
tidak ada seorangpun yang berijtihad atasnya. Seperti yang ditetapkan Nabi yang
menyamaratakan hukuman, baik meringankan atau memberatkan dalam sebuah hukuman
itu sama (penyamarataan hukum).
Imam Tsauri : karena
jumlah bilangan atau hitungan pada sanksi zina lebih banyak pelanggarannya, dan
tidak bisa di pungkiri itu merupakan perbuatan yang keji, dan harus menerima
hukuman yang setimpal, berbeda dengan tuduhan zina dan peminum arak. Dan imam
Tsauri mengikuti apa yang di katakan Abu Hanifah.
Imam Jashos telah
meringkas sub-sub dari madzhab awal (Abu Hanifah). Dengan menggunakan dalil
al-Qur’an, surat an-nur ayat 2, yang artinya : dan jangan meringankan atau mengasihi
seseorang yang melanggar hukum-hukum syara’”. Atas hukuman atau pemukulan
terhadap pelaku zina, yang lebih berat dari pelaku peminum arak dan penuduh
zina, dengan melihat teks ayat atas beratnya pukulan terhadap pelaku zina dan
karena pemukulan terhadap peminum arak, seperti yang di katakan Nabi : untuk
peminum arak di pukul dengan pelapah kurma atau sandal, sedangkan pelaku zina
di pukul dengan alat berupa cambuk, dan ini merupakan ketentuan terhadap pelaku
zina yang lebih berat dari peminum arak. Dan pemukulan yang ringan di tentukan
atas sanksi hukum penuduh zina karena tidak mampu menghadirkan saksi dan
keterangan atau data yang valid.
Dan dari argumen lain
imam Jashos : maka sesungguhnya penuduh zina itu hukumannya lebih berat karena
menggurkan hukuman saksi, dan tidak kuasa memberatkan hukuman atas saksi dari
sanksi hukuman. Dan seharusnya hukuman itu di lakukan karena kepastian
ketentuan (syara’).
Imam Qurthubi
mengatakan : teks al-Qur’an menetapkan bilangan atas cambuk bagi pelaku zina
dan penuduh zina, dan sudah dalam ketetapan bahwa peminum arak itu mendapat 80
cambukan, sepeti yang telah di lakukan sahabat umar. Ibnu ‘Arabi mengatakan :
sanksi yang berlipat apabila melakukannya lagi, dan tidak menganggap remeh
perbuatan maksiat sehingga tidak membiasakannya terhadap maksiat, sehingga
menimbulkan rasa iba kepada algojo yang hendak mengeksekusinya, dan apa bila
seseorang tersebut melkukan perbuatannya lagi maka hukuman yang berlipat ganda
tersebut berlaku karena si pelaku
tersebut telah menambah dosa. Di riwayatkan bahwa seseorang mendatangi sahabat
Umar dalam keadaan mabok (sempoyongan) di bulan Ramadhan, sehingga ia
(pemabuk) tersebut mendapat cambukan sebanya 100 kali, dengan rincian : 80
cambukan karena meminum arak, dan 20 cambukan karena menodai kesucian bulan
Ramadhan sehingga hukuman itu berlipat.
Bagain tubuh mana saja
yang akan di cambuk atau di pukul dalam melaksanakan hukaman?
Kesepakatan/ konsensus
ulama menyatakan bahwa pemukulan atas hukuman tersebut hendaknya tidak mengenai
: wajah, alat kelamin, dan bagian yang menyebabkan kematian (titik sensitif),
sehingga Ibnu ‘Atiah menyepakati keputusan tersebut, tetapi terdapat
pereselisihan/differnsiasi atas jumlah cambukan dari yang di tetapkan.
Imam Jaushi dalam
kitabnya “Zada Maisir” :
seseungguhnya argument atas pemukulan tersebut menukil pendapat imam Ahmad
dalam hukum zina. Sehingga dikatakan oleh imam Ahmad : di lucuti pakaiannya
pada bagian dada, menyerahkan tubuhnya kepada algojo, namun algojo hendaknya
jangan memukul bagian wajah dan kepala. Dan diriwayatkan lagi dari imam Ahmad,
bahwa : jangan memukul kepala, wajah dan bagian kelamin. Dan imam Abu Hanifah
dan imam Malik mengatakan jangan memukul atau menyambuk bagian punggung. Dan
imam Syafi’i mengatakan : jangan memukul bagian kelamin dan wajah.
Imam al-Qurtubi
mengatakan bahwa terdapat perselisihan tentang memukul bagian kepala. Konsensus
ulama mengatakan : menjaga kepala, dan Abu Yusuf mengatakan yang mengambil
dalam suatu riwayat Umar dalam memukul kepala Shobaighan, namun ini dalam
konteks ta’zir bukan sebuah hukum (ketentuan yang berlaku seperti dalam
al-Qur’an dan hadist). Adanya pelarangan pemukulan pada bagian wajah dan bagian
aurat (bagian yang harus di tutupi), di karenakan bagian tersebut merupakan
bagian dari anggota tubuh yang mulia. Seperti dalam matan hadist :
"إذ ضرب أحد كم
فليتق الوجه "
“ketika memukul salah
seorang diantara kamu maka hindarilah bagian yang mengenai wajah”.
Diriwayatkan dari
sahabat Ali RA, dua orang datang kepadanya dalam keadaan mabuk, maka Ali RA,
mengatakan “pukulah semua bagian pada tubuhnya kecuali wajah dan bagian
kelamin, karena memukul bagian kelamin (farj) menyebabkan kematian, dan
dalam riwayat lain namun masih dari sahabat Ali RA, : “hindarilah memukul
bagian wajah dan kelamin, dan dibolehkan memukul selainya” Kesepakatan dari
konsensus ulama menyatakan akan riwayat tesebut seperti di ceritakan dalam
hadist diatas, teks tersebut menyatakan pelarangan pemukulan atas kepala,
karena pemukulan terhadap kepala dapat mengakibatkan urat saraf dalam mata, dan
telinga terganggu atau rusak, juga jika dalam kepala kemungkinan besar dapat
mengakibatkan cacat akal/gegar otak dll. Imam Syaf’i dan Abu Yusuf melegalkan
pemukulan pada bagian kepala dengan berlandaskan kepada riwayat Abu Bakar RA,
datang seorang laki-laki dengan anaknya. Abu Bakar mengatakan “pukullah
kepalanya, karena kepala adalah tempat syetan”. Dan diriwayatkan lagi dari
sahabat Umar RA, yang memukul Shubaighan bin ‘Asil pada bagian kepalanya. Dan
Shubaighan menanyakan tentang ayat “dari angin yang menerbangkan debu dengan
sekuat-kuatnya” sehingga mempersulit pemukulan tersebut.
Imam Malik dalam
madzhabnya : menegaskan bahwa semua hukuman dalam memukul punggung merupakan khujjah/ketetapannya
dan itu merupakan perbuatan ulama terdahulu/klasik yang juga di ambil dari
nabi, dengan matan :
" لهلا بن أمية
حين قدف امرأته {البينة أو حد في ظهرك}"
“hilal bin umaiyah
bertanya mengenai tuduhan zina perempuan (datangkanlah saksi atau cambuklah
punggungnya)”
Hendaknya pelaksanaan
eksekusi dalam kasus zina harus melepaskan pakaian bagain atas, kemudian
menyerahkan tubuhnya, pemukulan dilakukan dengan cara berdiri, kecuali eksekusi
dalam hal tuduhan zina yang dilakukan dengan cara melepaskan pakaiannya
kemudian di pukul dan melepaskan segala atribut yang menutupi bagian yang
hendak di pukul.
Sedangkan dalam
mengeksekusi perempuan pelaku zina, tetap mengenakan pakaiannya dan dengan cara
duduk karena untuk menutupi bagian auratnya. Dalil ini diambil dari hadist nabi
tentang mekanisme rajam dua orang yahudi laki-laki dan perempuan : “saya
melihat laki-laki yang sedang melindungi perempuannya karena menjaga dari
lemparan batu”. Dengan hal ini menunjukkan bahwa ketentuan tata cara rajam
ialah berdiri bagi laki-laki, dan perempuan dalam posisi duduk.
Adakah semacam grasi, amnesti atau sejenis pengampunan dalam
hukuman yang menyanggkut kasus zina?
Tidak ada pengampunan terhadap hukuman yang telah ditetapkan
dalam syari’at, seperti yang telah di sabdakan Nabi :
" من حالت شفاعة دون
حد من حدودالله تعالى فقد ضادّ الله عزوجل"
“siapa yang
menghalang-hlangi seseorang atau memberikan pengampunan (menolong) terhadap
seseorang dalam sebuah hukuman dan itu adalah hukum Allah, maka ia telah
melawan Allah”
Karena sebuah hukuman
merupakan sebuah peringatan atas sebuah atauran yang tuliskan dan sifatnya preventiv
atau mencegah manusia dalam melakukan hal-hal yang dilarang, namun terjadi
perselisihan ulama dalam merepresentasikan kata “menolong” atau juga
mengampuni, seperti :
-
Imam Said bin Musayyab dan Hasan al-Basri mena’wilnya dengan meringankan
hukuman.
-
Imam mujahid dan Syu’bi mena’wilkannya dengan meninggalkan hukuman.
Ibnu
‘Arabi mengatakan bahwa tidak boleh menunda atau menangguhkan sebuah hukuman
yang terkait dengan perkara zina, baik menggugurkan hukuman atau memberi
dispensasi atas hukuman tersebut. Hingga hukum haram bagi seseorang yang
menghalang-halangi atau memberikan dispensasi atas proses hukum tersebut. Siapa
pun dalam melaksanakan hukuman henadaknya tidak pandang bulu dalam arti sama
dihadapan hukum seperti yang disuratkan Nabi dalam kisah pencuri kaya dan
miskin harus mendapat perlakuan yang sama, meski Fatimah sebagai putri Nabi
juga Nabi akan perlakukan sama yaitu dipotong tangannya. (kontras dengan iklim
hukum Indonesia), seperti matan hadistnya:
"إنما أهلك الذين
قبلكم أنهم كانوا إذا سرق فيهم الشريف تركوه, وإذا سرق فيهم الضعيف أقاموا عليه
الحد وايم الله لوأنّ فاطمه بنت محمد سرقت لقطعت يدها"
Dalam konteks pemerintahan juga tidak boleh atau haram
memberikan pertolongan bagi seseorang yang terkena hukuman baik pertolongan
seorang pemimpin (amnesti, grasi atau semacamnya). Dalam sebuah riwayat telah
di ceritakan bahwa seseorang telah mencuri dan di tangkap kemudian hendak
dibawa kepada Nabi, namun dalam perjalanannya mereka berunding (kong kalikong) untuk
menyelesaikan perkara tersebut sebelum sampai kepada Nabi.
Berapa datang untuk melaksanakan dan menyaksikan sebuah
hukuman?
Dalam teks skriptural atau kitab suci dinyatakan bahwa yang
datang menyaksikan dan melaksanakan sebuah hukuman ialah segolongan dari kaum
muslimin, seperti yang termaktub dalam surat an-Nur, ayat 2. Yang menjadi
kewajiban atas kaum muslimin untuk datang dan melaksanakan hukuman tersebut
(yang terkait zina), dengan maksud menjerahkan, mengambil pelajaran. Meski
terjadi perdebatan dalam kata thaifah atau golongan tersebut (dalam arti
jumlah).
-imam mujahid menyatakan bahwa satu orang telah cukup.
-Ikrimah, ‘Atha’i dan sebagian penganut madzhab Malik
mengatakan dua orang.
- az-Zuhari mengatakan tiga orang, karena bagaian terkecil
dari golongan.
- ibnu Abbas dan sebagian penganut madzhab Syafi’i
mengatakan empat orang.
Imam az-Zamakhsyari mengatakan bahwa perbuatan zina
merupakan perbuatan yang keji dan kata zina dalam al-qur’an telah disejajarkan
dengan perbuatan syrik dan pembunuhan, sehingga diganjar dengan 100 kali cambuk
dan rajam, sehingga sudah semestinya mendatangkan saksi orang mukmin yang
dimaksudkan untuk dirinya supaya bisa terhindar dari perbuatan tersebut.
Apa hukuman bagi seorang homosex/gay (hubungan sejenis
antara laki dengan laki), lesbi (hubungan sejenis antara perempuan dengan
perempuan), dan zoophilia/bestialitas (seseorang yang berhubungan dengan
binatang)?
Tak ayal apa yang terjadi belakangan dalam nuansa hukum
Indonesia yang hendak melegalkan perbuatan tersebut, jika mesti berkaca, maka perbutan
tersebut merupakan perbuatan paling keji yang dilakukan seorang manusia normal
dengan segala fitrahnya, dan perbuatan tersbut merupakan perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang rusak akalnya dan menyimpang dari fitrah, dan seperti
yang dikisahkan dalam al-Qur’an yaitu seperti yang dilakukan oleh kaum Luth, hingga
kaum tersebut di adzab oleh Allah dengan adzab yang pedih, dihujani batu yang
panas, dijebloskan kedalam bumi.
Sperti yang dilansir oleh imam syaukani megatakan bahwa
perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang hina yang
hilang kewarasannya dan patut disiksa. Analisa para Fuqoha/ahli fiqh mengatakan
bahwa perbuatan homosex tersebut merupakan perbuatan yang keji, dan tidak
ubahnya lebih keji dari hewan, karena hewan pun masih bisa membedakan dalam
menyalurkan hasrat seksualnya kepada lawan jenis. Dan beliau menyebut
perbuatannya dengan sebutan “akhlak yang kotor”. Dan para pakar memberikan
hukum bagi pelaku perbuatan tersebut, seperti : di bunuh secara mutlak,
disamakan dengan hukuman zina (rajam cambuk), ta’zir kebijakan pemerintah.
Yang menghedaki dibunuh bagi pelakunya ialah dari madzhab
Malik dan Ahmad, dan sebagian dari penganut Syafi’i, dan landasan ini diambil
dari Abu Bakar, Umar, dan Ibnu Abbas, dan sebagian dari ulama menghedaki
hukuman mati tersebut, dan sebagian Hanabilah menukil pendapat tersebut yang
setuju dengan hukuman mati,......
Menyinggung
pemasalahan kemarin, tentang argumen atau landasn yang di gunakan oleh imam
yang menghendaki pelakunya di bunuh.
Pertama, berangkat
dari hadist :
"من وجد تموه يعمل
عمل قوم لوط فاقتلواالفعل والمفعول به"
“barang siapa yang menemukan perbuatan seperti yang dilakukan
oleh kaum nabi Luth maka bunuhlah keduanya”. Dan dari atsar atau riwayat
sahabat, yang dalam hal ini dinyatakan oleh sahabat Ali bahwa keduanya mesti di
rajam bagi yang melakukan perbuatan sodom/gay tersebut. Juga imam Syafi’i
menambahkan “tiada terkecuali bagi mereka yang berststus telah berkeluarga atau
yang belum berkeluarga”. Ulama tersebut
juga pendapatnya berangkat dari Abu Bakar dan konsensus sahabat, bahwa keduanya
di jatuhi vonis di bakar, sperti yang di tuliskan :
"هذا ذنب لم تعص
به أمه من الأمم, إلا أمه وحدصنع الله بها ما قد علمتم, نرى تحرقه بالنار"
Dan model eksekusinya
yaitu : 1. Di bunuh, diambil dari riwayat Abu Bakar 2. Di lempari batu hingga
tewas, diambil dari Ibnu Abbas, imam Malik dan Ahmad 3. Di jatuhkan dari atas
gedung atau gunung, diambil dari pendapat Malik yang mashur 4. Di robohi tembok,
diambil dari riwayat Abu Bakar, bagi mereka yang telah melakukan perbuatan keji
tersebut.
Pendapat kedua dari golongan Syafi’iah yang
menghendaki pelaku tersebut di vonis sebagaimana pelaku zina yaitu , di cambuk,
dan di lempari batu. menandaskan argumennya pada : teks hadist, pendapat yang
logis, dan analogi/qiyas.
Dari teks hadist yang di riwayatkan oleh Abi Musa al-Asy’ari yang
menyatakan bahwa perbuatan homosex/gay sama seperti zina :
" إذ أتى الرجل
الرجل فهما زانيان"
Kemudian, zina adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara’ dengan segala ketentuan dan alasan
yang logis, dan perbuatan homosex juga demikian. Analogi dari perbuatan
tersebut ialah ialah perbuatan yang dilakukan bukan pada tempat (fitrah) yang
telah Allah tentukan, karena telah menciptakan semuanya serba berpasangan.
Pendapat ketiga dari
golongan Abu Hanifah yang tidak setuju dengan vonis di atas dan lebih pantas di
ganjar dengan ta’zir yang segala ketentuannya di serahkan pada penguasa
atau pemerintah setempat. Dan mengeluarkan beberapa keberatan atas vonis yang
di samakan dengan pelaku zina. Seperti : 1). Karena di dasarkan atas redaksi
yang berbeda pada teks Al-Qur’an, antara zina dan liwath (homo sex/gay).
Dan teks ayat menyebutnya sebagai kaum yang bodoh dan melampaui batas. 2).
Secara budaya/urf’ di katakan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan
selayaknya suami-istri namun hakikatnya bukan suami atau istrinya maka
perbuatan tersebut di namakan zina, dan perbuatan yang di lakukan oleh sesama
laki-laki di namakan sodom/homo sex/gay, dan perbuatan tersebut telah dilakukan
oleh kaum terdahulu (kaum Luth). 3). Perbuatan tersebut tidak bisa disamakan
dengan zina karena para sahabat pun berselisih akan hal itu, dan secara
spesifik teks tidak menentukan vonis atas perbuatan tersebut. 4). Keliru, jika
pebutan tersebut di samakan dengan perbuatan zina, juga karena perbuatan
tersebut lebih keji dari binatang yang masih melakukan hubungan dengan lawan
jenisnya dengan watak kehewanannya. 5) dan pembunuhan atas kasus homo
sex/gay/sodom juga telalu berlebih karena dalam teks hadis menyatakan bahwa 3
orang yang darahnya halal ialah: berzina meski telah memiliki keluarga,
murtad/apostasi, dan membunuh seseorang yang tidak bersalah, seperti dalam
matan hadist :
"لا يحل دم امرىء
مسلم إلا بإحدى ثلاث: زنى بعد إحصان, وكفر بعد إيما ن, وقتل نفس بغير نفس"
Dan seyogyanya perkara
tersebut di serahkan kepada penguasa untuk di proses dan mendapat ganjaran yang
setimpal atas perbuatan keji tersebut.
Dan bagi pelaku lesbi
dan zoophilia/bestialitas (berhubungan dengan binatang). Dalam kitab
tersebut disebutkan bahwa sudah menjadi suatu kesepakatan/konsensus ulama bahwa
pelaku lesbi di vonis ta’zir. Dan bagi pelaku zoophilia/bestialitas
di vonis ta’zir, namun sebagian dari imam Ahmad mengatakan bahwa
pelakunya di vonis seperti perbuatan homosex, atau dibunuh pelaku dan
binatang yang di jadikan objek birahi
tersebut.
Bagaimana persaksian
atas kasus zina?
Pebuatan zina
merupakan perlanggaran seseorang terhadap hukum agama dan pelakunya di jatuhi
Vonis camuk dan dilempari batu, dan bagi saksi atas perbuatan tersbut haruslah
memenuhi kriteria, dan menempuh 2 metode. Pertama : 1. 4 orang laki-laki
2. Saksi laki-laki dan tidak sah jika perempuan 3. Orang yang tidak berbuat
dosa besar dan tidak menyepelekan dosa kecil 4. Muslim, aqil, dan baligh 5.
Melihat dengan mata kepala sendiri perbuatan tersebut 6. Dari 4 laki-laki
tersebut harus melihat secara bersamaan perbuatan tersebut. Kedua :
dengan cara ikrar atau pelaku zina tersebut mengakui dengan
sendirinya akan apa yang telah diperbuatnya.
Metode yang kedua
seperti yang di riwayatkan syaikhani (Bukhari dan Muslim) dan terjadi
pada Ma’iz yang telah berzina dan mengakui perbuatannya, kepada nabi. Meski
awalnya nabi tidak menghiraukan perkataannya dan pada ucapan kedua kalinya
ditanggapi oleh nabi dengan mengintrogasi secara mendetail akan kejadiannya,
maka nabi mengiyakan atas apa yang ia katakan, kemudian nabi memutuskan untuk
merajamnya, dan sewaktu di rajam Ma’iz berseru dengan lantang bahwa ia
bertaubat akan perbuatannya namun semua orang tak menghiraukannya, akan tetapi
nabi mendengar ucapannya dan melerai pelemparan batu tersebut yang tidak
digubris sedikitpun oleh masyarakat dan pada ahirnya Ma’iz meninggal, dengan
penuh rasa cinta nabi mengatakan bahwa Ma’iz telah berada di surga dengan
kesungguhan taubatnya.
Dan riwayat yang kedua
dari imam Muslim bahwa seorang perempuan bernama Ghamidiyah telah berzina
dengan laki-laki yang bukan suaminya, kemudian nabi mengintrogasi dengan detail
akan kejadian itu, mengingat sanksi yang berat akan diterimanya maka dengan
hati-hati pula nabi menanyakannya, dan setelah mendapatkan keterangan yang
cukup nabi memerintahkan agar “pulang dan menunggu sampai masa kelahiran”, dan
setelah melahirkan ia mendatangi nabi kemabali seraya membawa bayinya, dan nabi
mengatakan “bawalah pulang bayi itu sampai selesai masa menyusuinya”, hingga
masa menyusui itu selesai Ghadimah mendatangi Nabi kembali dengan membawa
bayinya yang membawa roti sebagai bukti ia telah tidak menyusu pada ibunya, dan
Nabi mengatakan “masyarakat rajamlah” dan rajam itu dilakukan hingga darahnya
mengenai wajah Khalid bin Walid. Dan nabi mengatakan kepada Khalid untuk pelan
melemparnya karena siapa tau ia bertaubat dan diterima taubatnya, setelah ia
meninggal kemudian ia dishalatkan dan dikuburkan sebagaimana mestinya.
Apakah sah seseorang
menikahi orang yang telah berzina?
Terdapat dua pandangan
dalam hal ini. Pertama, berpandangan haram, dan ini di nukil dari
sahabat Ali, Bara’i bin ‘Azib, Aisyah, dan Abdullah bin Ibnu Mas’ud. Kedua,
bepandangan boleh, dan ini di nukil dari Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas, dan
jumhur ulama. Dan masing – masing dari pandangan tersebut tentu memiliki
landasan atau pandangan yang kosong. Seperti pandangan pertama, dengan melihat
teks ayat pada surat an-nur ayat 3, meski dalam intepretasinya (tafsir) ayat
tersebut merupakan kalimat berita yang mengandung indikasi larangan namun tidak
ada legitimasi hukum, juga mengandung la nafi yang bertemu dengan istisna
maka berfungsi khashr dalam arti ruang lingkupnya terbatas, atau
lebih sempit diartikan bahwa seorang pezina hanya di peruntukkan bagi pezina
lagi. Dan hadist Nabi, yang dalam konteks seorang bernama Martsad yang ingin
menikahi ‘Anaq (perempuan), yang statusnya adalah Wanita Tuna Susila (WTS),
hingga turunnya ayat Nabi tidak menjawab, dan setelah turun Nabi mengatakan :
"يا مرثد لا
تنكحها"
“ hai Martsad jangan nikahi dia”
Pendapat yang Kedua,
ulama yang membolehkan menikahi seorang wanita yang telah berzina menggunakan 4
untuk argumennya : 1) hadist dari ‘Aisyah yang terdapat seorang laki-laki yang
hendak menikahi seorang wanita yang telah berzina, kemudian Nabi mengatakan :
"أوله سفاح وأخره
نكاح, والحرام لايحرم الحلال"
“awalnya zina dan ahirnya nikah, dan perkara yang haram itu
tidak mengharamkan sesuatu yang halal”. 2) seseorang bertanya kepada Abu Bakar
dengan kalimat yang tidak jelas, kemudian Abu Bakar memerintah Umar untuk
mengikuti orang tersebut, setelah sampai di rumahnya seseorang tersebut sedang
berzina dengan anak permepuannya atau istilahnya incest, kemudian Umar
memukul dadanya, kemudian ia di hukum dan dinikahkan dengan anaknya. 3) riwayat
dari Ibnu Abbas yang singkatnya “perbuatan jelek dapat dimurnikan dengan adanya
akad”. 4) ta’wil (mencari makna yang tersirat) dari ayat tersebut, bahwa
dari surat an-nur ayat 3 tersebut merupakan sebuah realitas atau kenyataan yang
terjadi bukanlah sebuah ketentuan hukum. Dan sebagian ulama menyatakan bahwa
ayat tersebut sudah dihapus dan disalin dengan surat an-nur ayat 32.
ما تر شد إليه الاية الكريمة
1.
Al-qur’an menunjukan bahwa seorang muslim haruslah berpegang pada ajaran
al-qur’an itu sendiri.
2.
Syari’at yang Allah berikan kepada manusia ialah bertujuan untuk sebuah
kemaslahatan manusia.
3.
Syari’at islam merupakan sebuah jalan yang sempurna.
4.
Hukuman dalam syari’at semata-mata karena menjaga dari kejahatan,
keturunan, dan menjaga kehormatan manusia.
5.
Wajib melaksanakan hukuman yang telah ditetapkan oleh syari’at dan
orang-orang hendaknya menyaksikan dengan tujuan kejerahan bagi pelaku.
6.
Laki-laki dan perempuan yang berzina memiliki ketentuan sama dalam
hukumannya.
حكمة التشريع
Pebuatan zina
merupakan pelanggaran yang sejelek-jeleknya pelanggaran, dan kotor akan
keberadaannya, yang menghina kemanusiaan. Dan dalam ajaran Islam yang memiliki
azaz yang lima, diantaranya : menjaga akal, keturunan, jiwa, harta, agama.
Karena semua agama memiliki ajaran yang
menetapkan akan saling menjaga, dan dalam hal ini pentingnya menjaga
keturunan.
Sadar akan adanya westernisasi
atau kebudayaan Barat yang mengubah masyarakat semakin terbelakang moralnya
(degradasi), yang tidak menghargai nilai kemanusiaan, dan menganggap sebuah
hukuman yang ditetapkan oleh islam adalah tidak berprikemanusiaan, dan
mengekang adanya kebebasan individu, juga tidak menghargai kebebasan dan
kesetaraan terhadap manusia dengan emansipasinya yang bersembunyi dibawah
slogan demokrasi yang sama sekali tidak menghargai undang-undang atau aturan yang
bersifat agama. Kedua hukum yang di tetapkan oleh syariat Islam merupakan
metode untuk menjerahkan pelaku, juga untuk menjerahkan orang yang tidak peduli
sama sekali (apatis) terhadap adanya sebuah hukum. Pola hidup hedonis (yang
memuja kesenangan belaka) telah mampu menjerumuskan manusia kedalam tingkah dan
sifat yang tidak berbeda dengan binatang, dengan adanya insting dalam diri
manusia seharusnya di gunakan sebagai alat bantu dalam memilah dan memilih
sesuatu yang baik dan buruk dalam kehidupan. Allah telah menjadikan sesuatu
berpasang-pasangan dan mengatur pola relasi (hubungan) diantaranya untuk
melanjutkan keturunan dengan ketentuan-ketentuan yang telah Allah berikan dalam
syari’at-Nya. Kejahatan seperti zina merupakan kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan sosial yang merugikan keduanya, tidak lebih dari itu kemrosotan moral
telah tercipta dalam kehidupan manusia, dalam proses hukumnya haruslah
dilakukan klarifikasi secara ketat dan mendetail karena mengingat hukuman yang
ditetapkan begitu berat (cambuk dan di lempari batu). Barat memandang zina
bukanlah sesuatu yang rapuh jika di dasari atas “suka sama suka” dan
hanya akan menggubris jika kasus tersebut berkaitan dengan kebebasan seorang
individu, dan jika ada yang berzina maka akan mendapatkan hukuman yang ringan
dan jika yang melakukannya telah memiliki keluarga maka akan mendapatkan
hukuman yang bersifat materi sebagai kompensasi atas perbuatnnya. Lalu dimana
kebuah kebijaksanaan di dapatkan, kehormatan yang mestinya di jaga?
Posting Komentar