Dalam perjalanan Jejak Langkah, Minke mulai mendirikan
organisasi dengan melakukan perlawanan tanpa senjata dan memilih jalur
jurnalistik yang dinamai Medan Prijaji yang tujuannya mengusung tiga
pokok : meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan
feodalistik. Dalam jurnalnya Minke selalu berseru “Didiklah rakyat dengan
organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan”. Namun ahirnya
disingkirkan oleh penguasa dengan tuduhan yang tidak jelas.
Minke
telah sampai di Betawi untuk melajutkan sekolahnya di bidang kedokteran,
sekolanya tak lain ialah sekolah kedokteran untuk pribumi, S. T.O. V. I. A
(School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Minke yang baru masuk pertama
kali mendapat teguran dari seorang petugas sekolah, bahwa ia terlambat seminggu
dari teman-temannya yang lain, bahkan ia melewatkan satu tahun berlalu karena
beberapa urusan bersama nyai, setibanya di asrama Minke terlibat perkelahian
dengan anak-anak yang lebih dulu tinggal di asrama tersebut, namun dengan
keberanian Minke dapat mengatasi perkelahian tersebut, meski dengan gertakan
belaka. Beruntung Minke medapat seorang teman bernama Partotenojo yang
teman-temanya memanggilnya dengan Partokleooo yang juga bersekolah di tempat
tersebut, belum sehari Minke ditempat tersebut datang seorang temannya dari De
Locomitef tak lain bernama Ter Haar yang telah bertemu dengan Minke tempo
dulu sebelum ke Semarang, maksud Ter Haar akan kedatangannya ialah mengajak
Minke untuk mengikuti acara langka yang di hadiri Tweede Kamer Tyan Ir. H.Van
Kollewjin yang di sebut oleh Ter Haar sebagai dewa kaum liberal, pertemuannya
bertempat di kamarbola De Harmonie. Namun dengan berat hati Tuan
Direktur mengizinkan Minke untuk mengikuti acara tersebut karena Minke telah
tertinggal pelajaran dari teman-temannya, ahirnya dengan bantuan Ter Haar Minke
mendapatkan izin meski hanya sekali ini untuk mengikuti acara tersebut.
Minke menyadariperkelahian kemarin ialah di sebabkan karena
kecemburuan sosial yang di timbulkan oleh teman-temannya karena Minke di
bebeaskan selama 2 tahun dari sekolah persiapan. Tweede Kamer adalah majelis
rendah, yang di hadiri banyak orang totok, Minke di perkenalkan oleh Ter Haar
kepada van Kollewjin, dan Tuan tersebut senang dengan karya-karya Minke, pada
acara tersebut hadir pula Jendral Van Heutsz dan seorang perempuan Marie Van
Zeggelen, acara tersebut di selenggarakan karena mengadakan sebuah kampanye
Vrijzinning Democtratische Partij yang berhaluan lain dengan kolonial meski
sama dari Nederland, acara tersebut mendiskusikan tentang penghapusan tanam
paksa atau cultur stelsel dan menekankan kerja bebas dan keras yang
sarat kontra dengan Gubernur Jendral dari Nederland sendiri. Minke mengagumi
Ter Haar yang terus mendesak Tuan-Tuan dari Tweede Kamer tersebut mengenai
Kerja Rodi dan tanam paksa, belum lagi dengan korupsi yang terjadi pada V.O.C
sedia kala, mengenai acara tersebut Minke mendapatkan pelajaran berharga dalam
bertanya agar lebih berhati-hati dalam sebuah konteks bertanya dalam sebuah
forum.
Setelah menjalani beberapa bulan dalam asrama, Minke merasa
jenuh krena tidak memiliki waktu seperti biasanya untuk menulis dikoran, hal
ini di karenakan peraturan sekolah kedokteran tersebut mewajibkan siswanya
hanya untuk belajar, seperti kala datang pertama kalinya Minke datang ke Betawi
dan melihat sepeda yang memudahkan manusia dalam mencapai jarak yang di tempuh,
namun dengan kesibukan yang luar biasa Minke samapi saat itu belum bisa
menikmati keinginannya. Hingga pada hari libur seperti hari minggu, teman-teman
Minke sering mengajaknya ke tempat biasa para penari berkumpul dan melakukan
pementasan, di balik itu mereka ialah perempuan yang statusnya bisa
“diperjual-belikan”, apalagi dengan orang Eropa yang dengan penuh harap dari
penyanyi tersebut bisa di jadikan gundik mereka. Pada libur mingguan Minke
sering berkunjung ke rumah ibu Badrun yang baik hati juga mulai belajar
bersepeda untuk bisa menjumpai apa yang ia inginkan, sepeda yang didapatkan
dengan cara mengangsur dari toko Van Hien. Di rumah ibu Badrun tersebut
biasa Minke menemui ibundanya yang
menjenguknya, dengan nasehat dan wejangan yang selalu membuat Minke
meneteskan air matanya karena sampai saat ini Minke menyadari bahwa ia belum
bisa berbahasa melayu dan menuliskannya, sebab sibuk dengan dialek Belandanya.
Minke berkenalan dengan guru bahasa Inggris keturunan
Tionghoa yang bernama Ang San Mei, dan belum lama mereka saling kenal, mereka
memulai pembicaraan seru dan dikusi mengenai kemanisiaan dan perubahan sosial,
namun tidak luput juga pujian Minke kepadanya sebab kecantikannya yang berbobot
berkat kepadaiannya, Mei juga menerima surat dari wanita Jepara yang Mei
sendiri tidak mengerti akan bahasa surat tersebut hingga Minke menerjemahkannya
dan membalas surat dari gadis Jepara yang membicarakan emansipasi wanita
tersebut. Telah lama Minke mengenal Mei hingga Minke mabuk kepayang karenanya,
namun Minke tak dapat menemui Mei kembali, sebab Mei diusir dari tempatnya
karena tetangganya tidak suka melihat pribumi memasuki rumah Tionghoa,
perempuan pula. Setelah kepindahannya, Mei mendapatkan tempat baru, namun pada
orang Tionghoa lagi dengan adat yang sama ketika ada pribumi masuk kewilayahnya
maka wajah antagonistidak lupt dari pemilk rumah tersebut, meski saat itu
kondisi Mei dalam keadaan sakit keras, akantetapi pemilik rumah ingin
mengusirnya jika tidak membayar uang sewanya. Hingga ahirnya Mei diajak untuk
tinggal dirumah ibu Badrun yang baik tersebut dengan Minke sebagai jaminan atas
baiknya Mei tersebut. Hingga Mei dipecat dari pekerjaannya dengan alasan yang
tidak masuk akal dan membuat Minke berusaha menjalani hidupnya sebagai penulis
yang bisa mendatangkan uang untuk biaya hidup bersama Mei, pada saat libur
panjang tiba Minke membawa Mei ke
rumahnya dan disambut baik oleh ibundanya, dengan memperlakukan Mei sebagai
mana anaknya yang lain. Dan kebetulan saat itu ayahnya tidak ada dirumah karena
ada pertemuan di Surabaya hingga beberapa minggu, dalam sekali waktu ibunda
melihat Mei yang tidak memakai anting di telinganya dan tidak memiliki lubang untuk
dipasangi anting tersebut, yang kemudian minyindir Minke dengan pengalihan
pembicaraan mengenai rencana pernikahannya dengan Mei. Minke dan Mei pergi
menuju Jepara untuk menemui gadis cerdas yang selama ini didengar Minke melalui
tulisannya, sesampainya disana mereka banyak membicarakan permasalahan sosial
yang dihadapi dilingkungannya, terutama emansipasi dan kebebasan seorang wanita
yang terkungkung dalam keluarganya, hingga tawaran untuk Mei agar tinggal
bersamanya untuk sementara waktu. Dalam perjalanannya ke Bandung menggunakan
kereta api, Minke menyakan kembali perasaannya kepada Mei dan Mei menerima
lamaran tersebut dan melangsungkan
pernikahan diluar kota Bandung.
Kesehatan Mei mulai membaik dan kini ia disibukkan dengan
memberi les privat kepada anak-anak orang kaya daerah Kwitang tersebut, Mei
memeberi privat bahasa Mandarin dan dan bahasa Inggris kepada mereka. Pada saat
itu juga Minke mendapat surat dari Alegeeme Secretarie/ Sekretariat
Gubernur Jendral di istana Rijswijk, dan bertepatan pada saat itu ayahnya
datang sebagai tamu undangan dan mereka beretmu, meski sempat muncul
kehawatiran dalam diri Minke karena ia telah membawa seorang perempuan
Tionghoa, memasuki istana pula, namun suasana berubah karena ayahnya senang
dengan kedatangan Minke yang sebagai tamu undangan juga, dan menerima Mei
sebagai menantunya, dan saling berbicara dengan Mei meski tak saling mengerti
karena perbedaan bahasa. Dalam sekolah tersebut suatu waktu mengadakan acara
sperti seminar yang diisi oleh dokterjawa yang memberi motivasi untuk
mendirikan sebuah organisasi, yang dengannya dapat meruntuhkan kekuasaan
kolonial, Mei dan Minke tidak ketinggalan untuk bertanya dan berdiskusi
dengannya, dan dokterjawa tersebut tidak ketinggalan menceritakan gadis Jepara
yang cerdas tersebut.
Pada suatu waktu kini Mei telah disibukkan dengan organisasi
Angkatan Muda yang berada daerah tersebut dan kini jarang bertemu dengan Minke
hingga Ibubadrun sering menanyakan tentang keberadaan dan keharmonisan rumah
tangganya, namun Minke selalu berusaha untuk berprasangka baik terhadap Mei,
dan Mei telah jatuh sakit terkena hepatitis hingga kritis kesehatannya, karena
Mei selalu menganggap Minke sebagai dokter (meski calon) hingga Minke
memberanikan diri menulis resep untuknya namun berahir tragis karena Minke
ditangkap polisi dengan tuduhan menyalahi aturan telah menulis resep yang ia
tau bahwa dirinya belum menjadi seorang dokter, tak sanggup merawat Mei
sendiri, Minke memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit dengan harapan penyakitnya
lekas sembuh namun sebaliknya, Mei meninggal dan Minke sekolahnya menjadi
tercecer hingga berujung pada pemecatan dan harus mengganti biaya pendidikan
selama empat tahun. Namun Minke telah mendapat pekerjaan sebagai pengisi koran
tetap dengan gaji 75 Gulden.
Setelah merasa semuanya telah hancur, Minke mulai
bersemangat untuk mendirikan sebuah oraganisasi, mulai dari teman-teman
dekatnya dan koleganya, dengan di dampingi Sadiman yang bersedia membantu
kesibukan di rumah dan dengan semangat baru dari tumpahnya Perang Puputan di
Bali, dengan mulai menyurati teman-teman dan bupati daerah sekitar Minke mulai
membangun jaringan, seperti mendatangi bupati Serang meski ia menolaknya namun
Minke tidak patah semangat dalam membangun sebuah jaringan tersebut. Kini Minke
mengajak Patih Meester Cornelis untuk bergabung, namun patih tersebut
menyerahkan keputusannya kepada wedana (pembantu pemimpin) yang di pegang oleh
Thamrin Mohammad Thabrie, dalam permohonannya ia menerima tawaran dari Minke
untuk mendirikan sebuah organisasi dan dalam keputusan kongres telah di
putuskan bahwa namanya Medan Prijaji dengan donasi dana dari masyarakat
yang ikut andil dlam oraganisasi tersebut, dengan menerbitkan majalah dwi mingguan
kini Minke menemukan kesibukan baru dan lambat bisa melupakan Mei.
Pada hari-hari berikutnya Minke mendapatkan surat dari Nyai
yang isinya tiada lain untuk terus bersemangat dalam menulis dan membela rakyat
Pribumi, tak lupa nyai mengingatkan bahwa hidup bukan hanya berkutat pada Hukum
dan Peraturan, dan tak lama setelah surat itu datang Minke kedatangan tamu dari
Surabaia yang tak lain Nyai, Jean Marais, Rono, dan May yang hendak berangkat
ke Prancis keesokkan harinya dan maksud kedatangan mereka begitu tepat bagi
Minke yang telah diketahui melalui pajangan lukisan yang mengisi rumahnya bahwa
Minke telah ditinggal oleh istrinya untuk yang keduakalinya dan nyai mengajukan
May sebagi penggantinya namun May menolak untuk lebih mementingkan belajar
sebelum menikah dengan Minke, mengingat bahwa May juga dekat dengan Minke pada
mulanya, dan tanpa dai sangka firasaat Minke benara bahwa Jean telah menikah
dengan Nyai dan itu membuat Minke senang akan kabar tersebut. Hingga gelombang
datang atas tuduhan dari berbagai pihak mengenai majalah dwi mingguan tersebut
yang tak lain tuduhannya didasarkan atas kepentingan pribadi dan jajaran
redaksinya mendapat keuntungan besar atasnya, hal itu dalam sudut pandang
pembaca bahwa melalui itu Minke dengan seluruh jajaran redaksinya telah
menghianati pribumi dengan topeng perjuangan rakyat, namun Minke lebih memilih
untuk tidak memperdulikan hal itu dan lebih berkonsentrasi terhadap koran yang
akan terbit harian dan telah mendapat dorongan moril dan materi dari nyai
sebelum keberangkatannya, dan Minke selalu mengingat pesan nyai untuk
berhati-hati terhadap pemerintah yang kelak memanfaatkan apa yang selama ini
Minke kerjakan untuk Pribumi, hingga saat itu tiba Minke mendapat undangan dari
Gubernur Jendral Van Heutsz di Buitenzorg (kini Bogor) untuk berbincang
dengannya dan tanpa di sadari Minke telah di manfaatkan selama ini oleh
pemerintah Hindia dengan majalah tersebut dan dalam kesempatan itu Minke telah
berhasil mewawancarai Jendral tersebut, namun dalam usaha untuk mencetaknya
tidak satu percetakan pun yang menerimanya, hingga ahirnya ada percetakan yang
mau menerimanya tapi dengan upah yang tinggi.
Dengan bantuan Mr. Frischboten yang sengaja nyai membujuknya
dan nyai sendiri yang memberi upah padanya kini pengerjaan koran harian bisa
terlaksana dengan lancar juga Miriam sebagai sahabat lama Minke kini telah
menjadi istri dari Mr. Frischboten tesebut dan kini mereka menetap di Betawi ,
Sadiman datang membawa teman lama Minke bernama Raden Tomo ke Betawi untuk
membicarakan masalah yang dihadapi koran harian tersebut dan ia siap membatu
Minke, namun yang lebih mengherankan bagi Minke bahwa terdengar isu bahwa
gedung yang kini Minke tempati merupakan hadiah dari Gubernur Jendral, akan
tetapi Minke membantahnya, meski ia bersahabat dengan Gubernur tersebut dan
selalu ingat akan pesan nyai untuk tidak terpengaruh dengannya dan niatan yang
tulus untuk membantu pribumi. Seiring waktu nyai di Prancis, nyai tidak pernah
lupa untuk berkirim surat untuk Minke,
juga Mei yang sedang menikmati belajarnya di Prancis, mama sering mengatakan bahwa
Mr. Frischboten merupakan orang yang memiliki loyalitas tinggi dalam urusan
administrasi hingga prestasi Medan Prijaji kini telah melampau pers
kolonial seperti Preanger Bode dan Nieuws van den Dag yang ada di
Betawi dan nyai sering melayangkan pujian untyk Minke karena prestasinya dalam
membangun sebuah pers yang kini telam merambah Prancis tersebut, dengan surat
aduan yang di terima Minke atas ketidakadilan Minke langsung meninjau dan turun
ke lapangan guna membantu pribumi tersebut dengan keberanian dan ketulusannya
yang membuat nyali lawannya ciut, meski Mei memtuskan untuk tidak menerima
Minke dengan alasan yang tidak mematahkan semangat Minke, Minke menerimanya
dengan lapang dada dan nyai tidak bisa menghalangi kehendak anak tirinya
tersebut. Mr. Frischboten selalu membantu Minke dalam penangan kasus Pribumi
yang dihadapi dalam hari-hari bahagia bersama Medan Prijaji dan
mengingat “semua berasal dari kehidupan kolonial, dia melestarikan politik gaya
limaratus tahun yang lalu, kekuatan semamta penggeraknya : tindas, bunuh,
rampas, dan tumpas. Atas nama “rust en orde” yang berkuasa. Negri-negri
Eropa yang telah modern tidak lagi menganut horden-politiek atau politik
gerombolan liar. Yang sedimikan liar lagi“. Dari surat yang di kirim oleh Mei
yang mengabarkan kabar bahagianya karena nyai telah melahirkan seorang anak
yang di beri nama Jeanette, hingga Minke begitu girang mendengarnya karena
seorang yang dulu Minke rasa kesepian kini telah bahagia bersama sahabat
dekatnya.
Raden Tomo sebagai teman seperjuangan Minke sewaktu
bersekolah dikedokteran kini telah mendirikan sebuah organisai yang dinamai Boedi Oetomo, juga di Den Hag telah
berdiri pula organisasi yang digawangi oleh mahasiswa Hindia dan di beri nama Indische
Studenten Vereeniging : I.S.V, hal
ini tentu membuat Minke semakin terpacu dalam dunia jurnalis yang ia gandrungi
selama ini, dan tidak lupa pila Minke mengikuti kongres yang di adakan oleh
Boedi Oetomo di Yogya, dan Minke terheran akan adany kongres organisasi yang
diadakan dua kali dalam setahun, belum selesai kongres tersebut Minke kembali
mendengar organisasi Tradisional yang baru saja diresmikan dan anggotanya murni
dari para pemuda yang peduli akan nasib
Pribumi, akan tetapi hal itu menimbulkan tanya bagai diri Minke, mengapa hanya
Jawa? Bagaimana bila ada golongan dari Tiongkok atau yang lainnya yang hendak
bergabung? Meski dalam hal ini Minke menyadari Jawa bukan hanya sebuah nama
pulau akan tetapi budaya dan semua aspek sosial yang terkandung di dalamnya.
Dalam pertemuan dikongres, Sadikun datang bersama Hadji
Moeloek yang memang sudah dipandang Minke bukan sebagai orang sembarangan,
namun ia lebih menetap di Arab ketimbang Hindia, melalui pertemuan tersebut
mereka saling bercengkrama dan bertukar pikiran mengenai budaya, nasionalisme,
dan semua yang terkait dengan kemanusiaan, hingga perjumpaannya yang terahir
Hadji tersebut memeberikan naskahnya yang berharga kepada Minke agar di
pelajari dan jika di terima boleh dijadikannya Feuilleton atau cerita bersambung
di koran harian Minke, namun Hadji tersebut menyarankan agar tidak mencantumkan
nama aslinya, hingga timbul dalam benak Minke mengapa naskah sedemikian bagus
tidak ingin di ketahui siapapun siapa penulisnya. Suatu waktu Minke
menyempatkan pulang ke rumahnya dan tidak lagi memperdulikan adat feodal yang
di anut ayahnya yang kebetulan sebagai seorang bupati, hingga Minke mendapat
dorongan dari ayahnya untuk mendapatkan gelar tersebut juga mendapat bintang
dan payung emas sebagai lambang tahta yang tinggi dari seorang bupati, namun
secra halus Minke menolaknya meski telah mendapat perintah langsung dari
Gubermen dan lebih nyaman dengan hidupnya yang sekarang, hingga Minke hanya
memperdulikan ibundanya yang selalu ramah dan baik hati dengan wejangan dan
nasehat yang selalu di ingat Minke dengan baik,.
Kedatangan Marko ke kantor sebagai pembantu dalam hal
keamanan dan kebersihan di kantor cukup membantu Minke meski sebagian,
kedatangannya dibawa oleh Sadiman yang membuat Minke lebih percaya pada
rekan-rekannya (team work). Prinses Van Kasitura mengadukan masalahnya
ke kantor Minke di Bandung, dengan aduan bahwa ia tidak boleh keluar negeri
sebelum lulus dari MULO yang tiada lain sekolah kurus yang didirikan tahun 1914
dan sesudah menyelesaikan jenjang sekolah dasar, dan tujuan Prinses tiada lain
menanyakan tulisannya “boycott” yang selama ini membelengu dirinya sama
halnya dengan gadis Jepara, yang dilarang dan serba diatur oleh pemerintah,
teruama oleh Asisten Residen, dan dalam kantor Minke menwarkan Prinses untuk
bekerja pada sebuah majalah wanita, dan tawaran itu tidak langsung diterima
Prinses namun harus dirundingkan dulu dengan ayahnya sebagai seorang bupati
jua. Wardi membawa seorang bernama Douwager yang hendak menyampaikan
aspirasinya tentang kekurangsetujuannya kepada Minke atas apa yang terjadi pada
Boedi Oetomo dan banyak menegeluarkan pendapat yang berani terhadap Samin yang
berada di Bali, yang menurutnya masyarakat Samin telah menganggap agama adalah
politik dan politik adalah agama, hingga keberatan tersebut telah Minke catat
dan hendak diterbitkan dalam koran hariannya. Dan setelah Minke mengunjungi
rumah Prinses Hadji dan Minke berbicara di atas otomobil mengenai golongan Indo
yang kalah dalam sektor perdagangan, tidak seperti golongan Tionghoa yang mampu
mendobrak perdagangan meski bukan di negrinya sendiri, juga Minke menannyakan
pendapatnya mengenai pedagang kolonial yang yang selalu menang, Hadji
menjelaskan cara dagang mereka menggunakan taktik dan siasat atau politik yang
tidak kurang mereka juga telah mengemplang pajak, dan sasaran dagangnya adalah
pribumi yang masih mengenal ilmu berdagang Eropa dan Amerika, dan pribumi terus
dibodohi dengan politik ethieknya yang nyatanya menindas pribumi juga.
Telah lama kecurigaan Minke akan sahabatnya Miriam yang belum dikaruniai
seorang anak meski telah lama berumah tangga dengan temannya Mr. Frischboten,
dan tak disangka oleh Minke ia telah meminta benih pada Minke karena suaminya
menderita peluh, hingga Minke mengusahakannya ke pengobatan China yang terkenal
berabad-abad lalu, hingga memantu suami Miriam dalam menyembuhkan penyakitnya.
Dalam pengadilan yang di gelar di Bogor Minke medapat perlakuan yang sama
seperti yang sudah-sudah, yaitu disudutkan dengan retorika yang berbelit dan
terlalu melulu urusan pribadi yang tiadak ada sangkutannya dengan perkara yang
di ajukan oleh Prinses kepadanya. Dengan keberhasilannya di pengadilan Minke
mendapat kehormatan untuk menikahi Prinses dengan restu yang langsung di
berikan oleh ayahnya yang kebetulan saat itu sedang berkunjung di rumah Minke
di Betawi, tidak sedikit yang mencecar Minke atas pernikahannya dengan Prinses
namun tiada Minke hiraukan barang sedikitpun, dalam pesta pernikahannya dengan
Prinses Miriam datang dengan suaminya dan mengucapkan terima kasih atas
pertolongan pengobatannya yang di dapat melalui sinse China tersebut,
kini Miriam telah menerima kebahagiaan tersebut dari suaminya dan optimis akan
memiliki keturunan.
Bersama Thabrie dan Sjeh Ahmad Bandjend, Minke mulai
mendirikan sebuah oragnisasi yang dinaminya Serikat Dagang Islam (SDI) dan
memiliki banyak kantor cabang, dan memiliki kantor pusat di Bogor atau
Buitenzorg dan orientasi serikat dagang ini di fokuskan kepada sektor ekonomi
pribumi yang semala ini menjadi objek dagang kolonial. Dalam kesempatannya
Marko yang bertugas di kantor sebagai petugas keamanan dan kebersihan telah
mulai menulis dan sering menyetorkannya kepada Minke dengan harapan tulisannya
diterbitkan dalam koran, namun sebaliknya Minke menilai tulisannya bisa menjadi
berbahaya bila di baca oleh khalayak ramai : bisa menimbulkan kekacauan. Hingga
banyak sekali Minke menyimpan tulisannya. Namun dengan adanya SDI tersebut
bukan hanya saja cobaan datang terus menerus dan yang paling urgen ialah
bergabungnya golongan Arab dan Tionghoa yang berada di Hindia yang justru
semakin memperkecil ruag gerak perdagangan pribumi aslinya yang protes ini
dilayangkan oleh Hasan dari Banten. Setelah suksesnya majalah wanita
diterbitkan kini datang kembali isu yang tidak menyenangkan akan adanya kabar
bahwa Medan Prijaji bukanlah koran pertama yang ditangani oleh pribumi
melainkan dulu pernah ada Tirta Jasa yang lebih dulu. Dalam setiap
kesulitan Minke selalu diiringi oleh kabar baik, seperti sahabatnya Miriam kini
telah melahirkan seorang bayi yang membuat suaminya senang. Belum lama setelah
kabar baik itu hilang kini telah datang kembali kabar yang mengancam dirinya
yang datang dari golongan pemerintah, dengan segerombolan De Knijpers
(para penjepit) yang datang untuk melengserkan organisasi SDI tersebut, hingga
perkara tersebut diajukan kepada Asisten Residen untuk pembubaran tersebut
malah tidak mendapat respon sama sekali.
Dalam perjalanan rumah tangganya dengan Prinses Minke sering
mendapatkan ujua yang berliku dengan berbagai ujian yang menerpa Medan atau
juga Syarikat, namun yang lebih menyakitkan adalah Minke sampai usia
pernikahannya belum juga dikaruniai seorang anak dengan indikasi bahwa Minke
mengidap penyakit peluh sama seperti yang yang dialami sahabatnya. Dengan
peristiwa yang menggemparkan kantor sekaligus hidup Minke tiada lain ialah ulah
orang yang dulu dengki terhadap Minke yang diketahui ia adalah Robert Shuurof
yang sedari dulu sudah membenci Minke karena ia adalah seorang totok dan Minke
hanyalah seorang pribumi.
Dalam kerier Medan ternyata dari kalangan Tionghoa
telah juga menerbitkan harian yang lebih “hebat” dari Medan dengan telah
memuat berita-berita bukan hanya dari dalam negri tapi juga dari luar negri,
dan ini menggeser reputasi Medan dari sebagian pelanggannya yang
Tionghoa, namun keoptimisan Minke tidak pudar dengan hanya karena harian Sin
Po telah terbit dan menggeser reputasinya.
Dalam suatu hari Bunda menemui Minke di kantor redaksi di
Bandung, dengan seorang diri seperti biasanya dan tidak lupa memberi
wejangan-wejangan kepada Minke agar selalu waspada dan meningkatkan
produktifitasnya dalam membela Pribumi dan menyampaikan kemarahan ayahnya atas
perlakuan Minke kepadanya sebagai seorang Bupati, hingga Minke membuat surat
permohonan maafnya. Selang beberapa minggu setelah kepergian Bunda, Minke
mendapatkan ujuan dengan di segelnya percetakan dan penyegelan rumah anak
buahnya hingga peristiwa ini membuat Minke kalang-kabut mencari cara untuk
mengetahui penyebab penyegelan itu, dengan mendatangi kediaman Asisten Residen
dengan harapan mendapat titik terang tentang penyegelan itu, namun apa yang
diharapkan malah sebaliknya Minke mendapat gertakan yang yang mengecewakan atas
jawaban Asisten Residen dan pada ahirnya Minke mengajukan gugatannya kepada
Gubernur Jendral, tapi yang didapatkannya tidak jauh berbeda dari apa yang di
dapatkannya dari Asisten residen : jawaban tidak jelas, hanya dengan
membawa-bawa nama Teukoe Djamiloen yang telah diekspos kedalam Medan dan
membuat seluruh Pribumi mengetaui kecacatan yang di sebunyikan oleh Kolonial.
Belumlah selesai perkara penyegelan atas percetakan, Minke telah menyaksikan
penembakan atas gerombolan De Zweep yang dilakukan oleh Sadiman dan
istrinya Prinses, hingga membuat Minke mengasumsikan bahwa ini merupakan sebuah
teka-teki yang dihadapinya dalam perjuangan Medan.
Dalam perjalannya ke Sala, Minke telah mendapatkan berita
desas desus bahwa di cabang Sala terdapat kemrosotan keuangan dalam tubuh
Syarikat, dan dalam observasinya terhadap ketua cabang, bahwa Hadji Sanadi
telah memakai uang kas untuk keperluan membeli batik yang nanti akan dikelola
oleh Syarikat, namun yang membuat Minke ialah ia tidak merembukkan terlebih
dahulu dengan agota lainnya, dan dalam perkumpulannya Minke bertemu dengan
Hadji Misbach, yang memiliki indikasi kuat bahwa ia kelak bisa membawa nama
Syarikat dengan maju dan lebih progresif. Dalam lika-liku kehidupan Minke yang
penuh dengan aral-rintang Mama tak henti-hentinya mengirim surat kepadanya
sebagai suport atas segala apa yang dicapai Minke. Dalam beberapa hari terahir
Minke memutuskan untuk pergi ke sekitaran Hindia, namun dalam usaha
kepergiannya alat transportasi yang biasa disewakan telah kehabisan stok karena
telah diborong oleh Gubernur Jendral untuk pergi tamasya menurut pemilik sewaan
otomobil tersebut, hingga didapati berita bahwa kepergan Gubernur Jendral
adalah untuk melayat ke Rembang karena Bupati Rembang juga sekaligus suami dari
Gadis Jepara yang cerdas yaitu Djojoadiningrat telah meninggal dunia. Dalam
sepulangnya dari perjalanan melelahkan, selang dalam beberapa minggu rumah
Minke telah didatangi gerombolan polisi dengan alasan hutang, belum jelas Minke
mendapat keterangan penggrebegan tersebut polisis tersebut meneruskan bahwa
dalam organisasinya telah disusupi kepentingan yang mendasarkan kepada “hutang
kepada bangsa dengan alasan pribadi”. Prinses dan Minke hendak bercerai dengan
alasan ketidakcocokan Minke atas tingkah pembunuhan yang dilakukannya kepada
kelompok De Zweep tempo lalu, Minke meminta kepada Piah selaku pembantu
dirumahnya untuk tetap tingal bersama Prinses dan untuk mempropaganda kaum
perempuanuntuk bergabung kedalam Syarikat karena Minke tidak mengetahui hendak
dibawa kemana oleh polisi tersebut.
Dalam episode Jejak Langkah, Minke berupaya mendirikan
sebuah organisasi meski dengan berbagai kekecewaan atas penolakan yang
dilancarkan oleh orang yang hendak diajaknya dalam membela pribumi, hingga
pernikahannya kembali dengan Prinses yang harus berahir pada perceraian karena
ketidak sepahaman pendapat dalam keluarga, terror, ancaman, intimidasi dan
sejenisnya telah membuat Medan bertengger di Hindia dan Luar Hindia,
meski mendapat tantangan polemik yang kian bertubi. Dan Minke yakin bahwa
“mendidik rakyat harus dengan organisasi dan mendidik penguasa dengan
perlawanan” akan membuat kolonial gentar dan semakin membuat tidak nyaman hidup
di Hindia.
Arjawinangun, since : Sabtu, 13-02-2016 hingga
19-02-2016.
19-02-2016.
Posting Komentar