[ads-post]



Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer kelahiran 1925, sebuah karya luar biasa dari tangan anak negri yang lahir dari rahim pertiwi di Blora, Jawa Tengah. Satu bacaan ringan bak snack yang mengisi perut namun bertahan lama sehingga kinerja metabolisme tubuh menadi meningkat karenanya, sebuah roman semi-fiksi atau juga di sebut sebagai realisme- sosialis mengantaran manuisa ke alam jernih pikiran seorang manusia dalam memanusiakan manusia lainnya. Terdiri dari 535 halaman, dari satu percetakan ke percetakan lainya, dan di terjemahkan ke dalam 34 bahasa di belahan bumi, sungguh luar biasa satu dari sekian banyak karyanya yang di persembahkan kepada manusia.
Pertama ucapan terima kasih yang pertama, di layangkan kepada teman sejwat saudara Miftahul Hakim yang sudi meminjamkan bukunya, meski ia belum sampai tuntas membacanya. Kedua kepada kolega Muhammad Harits yang terus menyodorkan sebuah ajakan persuasifnya untuk saya dapat segera membaca karya Pram tersebut di sertai dengan dongeng, signifikansi serta dampak dari bacaan tersebut, yang sepengetahuan saya dia telah menyelesaikan bacaan atas karya Pram tersebut, baik dari tetraloginya atau dari tetralogi yang lainnya dan katanya ini adalah pijakan awal bacaan awal dalam membaca Pram dimulai dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca sebagai penutup tetralogi awalnya sebelum beranjak ke buku penunjang yang lainnya. Kemudian, Nauval Fansuri sebagai pendongeng yang ulung atas karya yang sama, juga “kisi-kisi” yang di berikan, belum lagi dengan membetulkan nama-nama tokoh ketika saya menyempatkan bercerita kepadanya atas karya tadi, belum lagi dengan kaos yang ia kenakan yang bertuliskan “Adil Sejak dalam Pikiran” membuat rasa penasaran ini menjadi-jadi. Tidak peduli seberapa banyak puntung rokok yang habis hingga berserakan dan peduli apa dengan berapa liter kopi yang mengisi lambung dengan kafeinnya yang setia dalam sebuah afair dengan bacaan itu, asalkan bisa membaca secara seksama dan daa kondisi yang tenang meski di bawakan dengan santai nan lugas tidak seberat karya-karya yang lainnya yang di tulis dalam bentuk ilmiah sehingga perlu waktu yang intens untuk membacanya, juga kecermatan beserta kejelian dalam menapung setiap kalimat yang tertulis di dalamnya. Pembacaan yang di lakukan secara serampangan ini mencoba mengurai kronologi menarik di dalamnya, mengenai alur cerita, sudut pandang dan setting yang tertuang dalam buku tersebut.
Ada satu statement yang mata sudah lazim melihatnya, entah tertuang dalam pakaian seperti kaos atau bertengger dalam sosial-media, kira-kira seperti ini “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” dan itu di tulis berulang kali dalam karya tersebut, dan sudah seyogyanya hal itu ada dalam hati dan pikiran pendidikan di Negri ini, dari elemen terkecil higga ingar-bingar riuhnya pemerintah. Pada buku itu di ceritakan bahwa seorang tokoh bernama Minke yang belajar di H.B.S (Hindia Belanda School) yang merupakan sekolah bergensi dan memiliki integritas tinggi kala itu, dengan selalu mengagungkan Eropa dengan segala kemajuan yang dicapainya, juga dengan nilai-nilai kemanusiaanya yang membuat Minke goyah akan akan siapa dirinya yang ternyata hanya seorang pribumi yang di lahirkan dari kalangan feodal namun ia selalu enggan menyebut dirnya dengan ke-pribumian-nya, sehingga setiap kesempatan ia tidak memperkenalkan diri dengan nama Tirto Adhi Soerjo dan lebih masyhur dengan nama pena dalam setiap karyanya dengan nama Max Tollenaar, namum dalam ending karya tersebut justru mertua dari Minke atau biasa ia di panggil “nyo” oleh nyai Ontosoroh dengan nama asli Sanikem menyadarkan Minke dengan pengalamannya sebagai bukti empiris bahwa kolonial memanglah licik dan tidak tebantahkan muslihatnya, melalui nyai tersebut sebagai gelar yang di sandang seorang gundik (istri tidak sah) dari tuan yang berkebangsaan Belanda bernama Herman Mellema, juga mertuanya yang di gambarkan sebagai sosok feminis yang berontak dengang ketimpangan-ketimpangan yang di alami pribumi dalam cerita itu, meski nyai Ontosoroh di didik oleh suaminya sendiri dengan ajaran-ajaran Eropa namun pada ahirnya ia tidak mengakui suaminya yang bertolak dari apa yang ia ajarkan selama ini, baik dari menulis, menghitung, dan menejemen pengelolaan perusahaan. Melalui nyai dan bundanya, Minke di ajarkan melawan persepsi Eropa yang dengan segudang muslihatnya memuluhkan nilai-nilai pribumi, baik hak yang di perkosa dengan sewenang-wenang juga nilai kemanusiaan yang dengan mudahnya di abaikan, yang membuat Minke lupa siapa dan dari mana ia berasal, belum lagi Minke yang lupa bahwa ada bahasa ibu atau bahasa pribumi yang selama ini ia abaikan dalam kesehariannya, adat feodal yang jalankan oleh keluarganya, juga kelemahannya dalam menulis bahasa Melayu dan Jawa sampai-sampai ia harus mendatangkan seorang penerjemah dalam menulis surat balasan yang datang kepadanya. Dalam resepsi pernikahannya, beruntung Minke dirias oleh ibundanya sendiri dengan pakaian ala Jawa, seperti : batik, belangkon, dan keris yang menyimbolkan adat Jawanya pada umumnya, di tambah dengan petuah dari ibunya bak halilintar dalam rangka merestorasi ke-alpa-annya dalam adat istiadat Jawa yang selama ini ia jalani, seperti lima pesan bundanya dengan banyak muatan filosofi yang terkandung di dalamnya, seperti : wisma yang berarti rumah, wanita yang berarti istri, turangga yang berarti tunggangan atau kuda, kulila yang berari burung, curiga yang berarti keris. Belum lagi pesan atas persepsi bundanya dalam idealnya perempuan Jawa yang tentang batik, bahwa “buruk benar perempuan tidak bisa membatik”.
Dalam resepsi pernikahan Minke dengan Annelis yang cantik jelita sehingga Minke mengimajinasikannya secara membabibuta karena kecantikannya, Annelis merupakan dari anak seorang nyai Ontosoroh juga adik dari Robert, Minke menemukan banyak cobaan juga aral melintang untuk mendapatkannya sehingga pesan dari bunda dan sahabatnya Jean Marais selalu di sunggihnya dalam kepala bahwa “bukan hanya manusia yang menginginkannya, dewa pun iya”. Dalam perjalanan sebelum dan setelah pernikahannya terbukalah semuanya kesunyian, kehampaan, bahkan betapa mencekamnya kehidupan nyai tersebut yang membuat Minke berusaha keras membela hak-haknya sebagai seorang selir atau gundik dari tuannya di meja Pengadilan Amsterdam atau lazim di sebut Pengadilan Putih yang seingat Minke telah menghapuskan “Nederlandsch-Indiste Geschiedenis” atau sistem perbudakan, namun sejatinya kebohongan belaka dengan di buktikannya melalui penerimaan surat-surat yang di terimanya dari pengadilan mengenai kehidupan nyai Ontosoroh, hingga pesan dari nyai “Tulisan harus dilawan dengan tulisan” yang membuat Minke terus berusaha menulis untuk meluruskan tuduhan, stigma, bahkan stereo type yang menimpa kehidupannya bersama nyai yang di gugat oleh pemerintah Hindia saat itu. Beruntung Minke memiliki dokter Martient yang senantiasa mengidentifikasi sakit yang menghinggapi pasiennya melalui studi analisis psikisnya, hingga berbagai kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bisa di identifikasi melalui gejala yang di alami pasiennya, tentunya sebelum pasien itu jatuh sakit, tak ayal seperti apa yang di alami oleh Annelis yang begitu berat menaggung pederitaan keluarganya, juga karena seorang Annelis kurang berpendidikan seperti Minke juga Robet, ia mengenyam pendidikan hanya dengan melalui nyai juga kanal dari perusahaannya, namun berujung pada meja Persidangan Amstredam yang membuat depresi kian menguat akan dirinya, seoalah ia kehilangan paras anggunnya setealah berbagai kejadian menimpa dirinya, belum ditambah lagi dengan ia, nyai, dan Minke menjadi tahanan rumah.
Sehingga mengingatkan saya dalam salah satu statemantnya Tan Malaka “belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid Timur yang cerdas”. Sebegitu dalam membaca sebuah karya realisme-sosialis yang berasal dan bemula dari folklor kemudian di tuliskan bukanlah perkara mudah, juga bukan perkara berat dalam perjalanan seorang manusia menapaki dan mengalami sepak terjang masalah dalam setiap sisa kontrak akan nyawanya, membuat ia lebih lues, dewasa, berkarakter baja, namun tidak lupa dengan siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Sebelummelanjutkan pada roman selanjutnya yaitu Anak Semua Bangsa, dari bacaan awal tersebut tersirat sebuah pesan bahwa semua manusia sama dalam haikatnya, tidak ada strata sosial, kelas sosial yang menyudutkan bahkan memperkosa hak-hak manusia lainnya, karena semua sama berpijak pada bumi yang satu, yaitu, BUMI MANUSIA.     
Ahonkbae, bacaan 03-02-2016 – 08-02-2016 di Arjawinangun.                  

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.