“Dengan rendah hati aku mengakui : aku adalah bayi semua
bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu
kelahiran, orang tua memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu
yang keramat”- Pramoedya Ananta Toer

Ucapan terima kasih di layangkan kepada teman kamerad Noval
Fansuri yang telah sudi meminjamkan buku tetralogi keduanya, juga tidak lelah
bercerita tentang apa yang ada di dalamnya sebagai bumbu rasa penasaran saya
untuk seera membacanya hingga selesai pada bagaian ahir. Kemudian saudara
Muhammad Harits yang juga telah meminjamkan buku keduanya sebagai pelengkap
halaman yang kurang jelas, semoga keduanya mendapat hari yang gemilang dari
essensi sebuah bangsa yang kian hari kian menciutkan diri dihadapan penguasa bedompleng
korporasi.
Anak Semua Bangsa ialah titik balik perjalanan Minke dalam
menelusuri kehidupan kelas bawah dan observasinya menelusuri jejak kebenaran. Pada
bagian buku pertama dituliskan bahwa Minke mendapatkan kesulitan dalam
menghadapi Pengadilan Putih dengan berbagai muslihatnya yang mendorong Minke
dan Nyai mengobarkan semangatnya dalam melawan ketidaksewenang-wenangan
penguasa kolonial, dan pada buku yang kedua, dan di beri judul Anak Semua
Bangsa oleh Pramoedya Ananta Toer kembali sekaut/kepala kepolisian
distrik, namun setelah bebas dari masa tahanan tersebut Minke sering menerima
surat yang isi surat tersebut bukan hanya menyangkut masalah perusahaan dan pertemanannya
dengan sesama lulusan H. B. S. Namun dari anak laki-laki Nyai Otonsoroh sendiri
yaitu Robert dengan diketahui bahwa Robert memiliki perasaan terpendam kepada
adik kandungnya sendiri yaitu Annelis, yang kini dalam kondisi sakit-sakitan
karena banyaknya tekanan dari pihak-pihak yang ingin menghancurkan keluarganya.
Di ketahui bahwa Robert telah menghadiahkan cincin bermata berlian kepada
Annelis pada saat resepsi pernikahannya dengan Minke, dan sekarang Minke
mengetahui bahwa cincin tersebut ialah ahasil curian dari Ezekiel yang
merupakan toko emas di kota tersebut. Sehingga dari berbagai informasi yang di
dapat bahwa cincin tersebut merupakan cincin yang di dapat dari hasil curian,
maka Minke segera menyerahkan cincin tersebut kepada pihak yang berwajib dengan
menceritakan semua kronologinya dari awal cincin itu ada padanya setelah acara
resepsinya.
menggebrag saya untuk membacanya
sampai bagian ahir buku. Didalamnya kisah pelik, licik, dan mencekik keluarga
Nyai semakin menjadi-jadi, dengan permainan Tuan Mallema yang kian mendominasi
buku kedua Pram tersebut. Sesudah di permainkan oleh hukum Nyai dan Minke ahrinya
menjadi tahanan rumah selama dua minggu hingga apabila ada tamu maka tidaklah
di perbolehkan kecuali dengan izin dari
Teman Minke yang begitu loyal kepadanya bernama Robert Jan
Dapperste : nama yang menyandang wibawa dimata pribumi, sebenarnya adalah seorang
pribumi sama seperti Minke, namun karena nasibnya yang beruntung karena angkat
sebagai anak oleh seorang pendeta, kemudian setelah dewasa ia kabur
kesana-kemari hingga ahirnya bertemu Minke untuk menjelaskan keadaannya yang
kacau terlebih ia harus segera mengganti namanya yang ia sendiri merasa asing
dengan nama tersebut. Kemudian ia menganti namanya dengan Paji Darman sebagai
nama barunya juga sebagai identitas asli kepribumiannya, dan ia mendapat
pekerjaan dari nyai Otonsoroh sebagai pengurus Palawija, namun dengan apa yang
terjadi di rumah nyai ia di utus untuk mengawal Annelis menuju Nederland yang
menanggung rasa tersinggung kaena keadilan, dan karena nyai dan Minke tidak
memungkinkan untuk ikut menemani dikarenakan pekerjaan rumah dan urusan
administrasi kolonial yang memaksa mereka berdua bertahanan di Wonokromo. Hingga
di Amsterdam Annelis sakitnya bertambah parah, namun tidak sampai di stitu
saja, jururawat Annelis di Amsterdam ialah orang suruhan dari Amelia
Mellema-Hammers yang justru dengan dengan kehadiranya malah memperparah keadaan
Annelis hingga ahirnya Annelis menghembuskan nafas terahirnya dinegri kincir
angin tersebut, dengan keberadaanya di Amsterdam Panji dengan leluasa mengorek
informasi yang berkaitan dengan orang disekitarnya saat berada di Wonokromo,
seperti Mgda Peters yang terkenal dengan ke-liberal-annya hingga ia di mutasi
dari H. B. S dan kembali ke tempat asalnya, juga mengetahui Robert yang sedang
mendorong gerobak karena menjadi seorang kuli pelabuhan. Dan yang terpenting ialah
Amelia Mellema tersebut telah memiliki perusahaan bernama Zuivel yang
memproduksi barang-barang yang terbuat dari susu, dan bangunan perusahaannya
pun tidak seperti milik nyai di Wonokromo yang besar jika di bandingkan dengan
Zuivel milik Amelia.
Dengan berdatangannya surat kepada Minke dari teman-temannya
atau bahkan dari musuhnya sendiri membuat minke memiliki ketertarikan
tersendiri dalam belajar menulis menggunakan bahasa Inggris dengan seringnya ia
bergaul dengan Nijman dan bertemu orang Tiongkok di kantor redaksi milik Nijman,
dan Minke memulinya secara langung di kantor tersebut dengan mendengarkan
interview antara Khouw Ah Soe dan Nijman kemudian Minke mencatatnya meski pada
saat itu penguasaan bahasa Inggris Minke sangatlah minim, belum lagi ia
mendapat kritik pedas dari sahabatnya Jean Marais yang meminta kepada Minke
untuk bisa menulis dengan bahasa Melayu dan juga Jawa.
Karena Minke di besarkan dan dipola pemikirannya oleh
Belanda atau Eropa maka dengan ia hidup bersama mertuanya yaitu nyai sendiri,
maka Minke di bebaskan dari dogma Eropa yang masih bercokol dalam pikirannya,
antara superior dan inverior, antara Eropa dan Pribumi, yang kesemuanya
merupakan sebuah kontruksi kelas yang di bangun oleh Kolonial. Dan Minke juga
belum begitu memahami apa makna Kolonial yang sebenarnya. Nyai dengan segudang
pengalamnya menjelaskan kepada Minke setapak demi setapak hingga membuat Minke
terkejut dengan apa yang dialaminya sebagai penindasan yang sama sekali berbeda
cara penindasannya dengan pribumi yang biasanya. Setelah bertemu dengan Khouw
Ah Soe, Minke semakin banyak mempelajari pergerakan melalui buku dan informasi
yang diterima dari seorang penyelundup tersebut, Khouw Ah Soe merupaka seorang
mahasiswa Tiongkok yang sedang melakukan studi lapangan yang hingga ahirnya
bertemu Minke di Wonokromo.
Robert yang merupakan anak pertama nyai telah kabur dari
rumah (sebagai mana diceritakan pada Bumi Manusia) dan sampai saat ini nyai
tidak menyesal dengan apa yang di perbuat oleh anak laki-lakinya, karena nyai
tidak heran dengan kelakuan anaknya jika berkaca pada ayahnya : Tuan Mallema,
hingga suatu hari datang surat kepada nyai dari Robert yang menceritakan bahwa
ia hidup dengan cita-citanya namun dengan berpindah dari satu kapal ke kapal
yang lainya, namun ia enggan menyebutkan dimana ia tinggal dan menetap, bukan
itu saja Minke juga menerima surat dari Miriam yang merupakan kenalannya
sewaktu ia pulang kerumahnya menghadiri acara pengangkatan ayahnya menjadi
seorang bupati, Miriam selalu bercerita tentang zaman yang baru dan serba baru
yang didalamnya didominasi oleh teknologi dan menggantikan tenaga manusia. Dan yang
membuat Minke terkejut ialah berita tentang pecurian benda-benda sejarah yang
seharusnya dirawat oleh ahli warisnya yaitu bangsa Indonesia, seperti
benda-benda peninggalan kerajaan yang diboyong ke Belanda.
Teman-teman Minke menekannkan pentingnya bahasa Melayu agar
segera di kausai Minke dan bermuara pada tulisannya kelak, karena bagaimanapun
bahasa ibu adalah bahasa yang umum bagi pribumi dan mudah dipahami oleh
kalangan bawah sehingga Minke dengan leluasa bisa menyuarakan apa yang menjadi
kegelisahannya selama ini juga sebagai bagaian tolok ukur Kolonialisme yang
kian membabibuta dikalangan pribumi, namun Nyai mengajak Minke untuk keluar
kota menggunakan kereta api dengan maksud membuang kepengapan atmosfir
Wonokromo yang kian tidak bersahabat dengan mereka berdua, dengan Maurits
Mallema yang menjadi momok bagi mereka berdua yang hendak merebut segala apa
yang mereka miliki selama ini dari jeripayanya, dalam perjalannya Minke
menemukan keunikan dari lokomitf tersebut dengan adanya kelas yang di ciptakan
oleh Kolonial pada setiap gerbongya, seperti kelas satu untuk golongan
kaya dengan ciri bersepatu, dan kelas dua diperuntukkan bagi kalangan
menengah yang dicirikan menggunakan selop, dan golongan ketiga untuk
kelas bawah dengan dicirikan tanpa alas kaki atau ceker ayam.
Dengan keadaan yang terus mendesak dari Kolonial membuat
nyai dan Minke memutuskan untuk berlibur kedesa asal nyai yaitu di Tulangan,
yang kebetualan pada saat itu Djumilah yang merupakan adik Sanikem atau nyai
Ontosoroh mendapati kejadian yang sama seperti nyai yang hendak di serahkan pada
tempo dulu oleh ayahnya, Djumilah didalam latar belakang pendidikannya hanya
lulusan Volks School atau sekolah rakyat dengan jenjang 3 tahun, kemudian
Surati anak dari Djumilah akan di serahkan oleh ayahnya bernama Sastro kepada
Tuan Besar Kuasa bernama Plikemboh, dan ia tidak bisa mengelak karena ia hanya
sebagau jurubayar dari perusahaan gulanya, Sastro merupakan potret pegwai yang
takut akan atasannya yang dengan kuasanya hendak merampas kehidupan pribadinya,
juga sebagai pegawai yang korup, dengan memiliki anggapan bahwa pegawai lain di
bawahnya hanya pagawai baisa yang buta huruf, namun kemudian Sastro mendapat
cobaan atau lebih tepanya ganjaran karena ketledorannya dan keterbelakangannya,
Tuan Besar Kuasa Plikemboh mencuri uang perusahaan dan memutarbalikkan fakta
bahwa Sastrolah yang mencuri uangnya dengan berbagai tuduhan hingga ahirnya
Sastro terjerat hutang kepadanya untuk membayar upah kuli pabrik, belum lagi
anaknya Surati yang harus di serahkan kepadanya yang kelak akan dijadikan
gundik olehnya, hingga Sastro membubuhkan cap jempol diatas surat perjanjian
yang dibuat oleh Plikemboh tanpa Sastro mengetahui isinya. Dengan Surati yang
tidak bisa membantah kemauan ayahnya untuk di serahkan kepada Plikemboh maka
Djumilah yang merupakan istri Sastro marah besar dan tidak bisa berbuat apa-apa
selain mengeluarkan sumpah serapah kepada suaminya yang lemah, hingga tidak
lama kemudian terdengar kabar bahwa Tuan Besar Kuasa Plikemboh meninggal karena
wabah cacar yang menghinggapi wilayahnya dan memaksa Surati pulang dengan
keadaan yang memilukan.
Minke yang ikut bersama nyai menyempatkan diri
berjalan-jalan menelusuri desa hingga menemukan sosok Truno dengan nama asli
Trunodongso, nama Truno sendiri merupakan nama dari golongan pendekar dengan tafa’ul
kepada keberaniaannya. Truno yang dalam keadaan terdesak karena lahannya
akan di eksekusi oleh pihak pabrik dengan tipu muslihat berupa sewa yang
merugikan pemilik lahan/tanah yaitu Truno, pihak pengeksekusi yang tak lain
adalah Tuan Besar Kuasa Plikemboh yang telah mati, sewa yang dibayar dari satu
bahu (7096,5 M2) pertahun sebelas picis, sedangkan ialah satu picis : 10 sen,
dan dari satu bahu tanah di bayar 11 picis itu pun kurang, dan Truno memiliki
lahan 5 bahu namun hanya menyisakan 2 bahu yang hendak di rampas oleh pabrik,
dengan memulai observasi, Minke menginap di rumah Truno semalam dengan maksud
mencari informasi lebih banyak apa yang di alami keluarganya dengan mencatat
apa yang di lihatnya, dirasanya, dan di dengarnya.
Setelah mereka sampai kembali di Wonokromo, Minke bermaksud
menyerahkan tulisannya mengenai Surati dan Truno kepada Kommer selaku sejawat Minke
yang bekerja pada sebuah koran yang dengan harapan Minke suara Truno bisa didengar
oleh seluruh dunia bahwa kelicikan-kelicikan telah menjadikan pribumi semakin
terbelakang, Kommer memuji tulisan Minke, namun setelah di amati secara seksama
juga dengan pengkrtisan lebih lanjut akan tulisan Minke tersebut, dan Kommer
membacakan surat Kartini yang telah sampai pada Nederland sebagai acungan
pertama emansipasi wanita. Dengan berabagi cerita yang di dapat oleh Minke
melalui teman-temannya membuat ia terbius oleh romanitisme revolusi Prancis,
namun cara Minke dalam meluapkan asprasinya melalui tulisan belum bisa di
terima oleh kalangan bawah karena kesulitan bahasa yang mereka alami dan Minke
belum mau untuk belajar bahasa mereka dan selama ini ia hanya di pesani untuk
belajar bahasa melayu tersebut karena merupakan “pesanan” dari teman-temannya,
belum menjadi kemauannya sendiri. Tapi bagi Minke, Jean Marais merupakan teman
yang sejalan dengannya, hingga Minke selalu mengindahkan apa yang Jean ucapkan.
Nijman, teman Minke
selaku redaktur dalam sebuah koran membaca tulisan Minke sebelum diahirnya dicetak
dan dibaca semua kalangan, tapi justru dengan pengritisan dari Nijman tersebut
Minke berkecil hati karena apa yang ia tulis mengenai Surati dan Truno
merupakan tulisan Smaad Schrift/atau tulisan fitnah, karena Minke belum
memasukkan bukti-bukti konkrit akan adanya penindasan terhadap petani tersebut,
sehingga Minke merobek semua tulisannya sepulangnya dari kantor, belum lagi
bayangannya akan Nijman yang mengkorelasikan perusahaan Nyai dengan apa yang di
tulis Minke, bahwa peruahaannya juga di bangun dari harta rampasan
petani-petani, baik ladangnya atau juga tenaganya sehingga membuat nyai naik
pitam saat mendengarnya dari Minke dan membuat nyai semakin sedih. Hal ini
membuat Minke berasumsi bahwa media tidak memihak pada rakyat pribumi, namun
secara terang-terangan memihak pada Tuan-Tuan pemilik modal. Beruntung Kommer
sebagai sahabat Minke memberikan informasi terkait kecurangan media dalam membela
rakyat, dan membuka kebusukan koran De Evenear yang sudah di boncengi
kepentingan Kolonial, juga Kommer menceritakan kepada Minke bahwa ia bekerja
pada koran komersil Kolonial, dari Bintang Surabaia ke D.D
kemudia digugat namanya, dan berubah kembali menjadi S.N. v/dD hingga
saat ini, sehingga membuat Minke terbelalak karena tanpa disadari ia telah
masuk kedalam perangkap-perangkap media. Dan nyai Otonsoroh merasa bersedih
karena selama ini perusahaan yang di bangunnya atas jerih payah petani yang
dirampas oleh Mallema sebagai suaminya dulu.
Kini dalam perusahaan sendiri dalam sebuah konflik, konflik
yang terjadi antar pegawai yang ingin naik pangkat menjadi mandor meski Nyai
menilai etos kerjanya belum maksimal, ditambah ia telah membawa seorang bayi
dalam pekerjaannya, dan ini dialami oleh Minem. Juga tertangkapnya Darsam
sebagai keamanan rumah sekaligus keamanan perusahaan Nyai membuat Nyai semakin
sedih yang membuat nyai terus bercerita kepada Minke tentang arti gelombang
kehidupan.
Dalam keadaan yang di selimuti kesedihan Truno datang kerumah
nyai bermaksud meminta perlindungan dari ancaman Kolonial yang telah merampas
tanahnya, namun Minke berprasangka lain, bahwa kedatangan Truno hendak menagih
janji dari tulisannya tempo hari, ketik Minke menginap dirumahnya, akan tetapi
Truno meminta perlindungan dari ancama demi ancaman yang menimpa dirinya dan
keluarganya yang diburu oleh Kolonial. Disaat yang berdekatan Minke bermaksud
meninggalkan Wonokromo dan pergi menuju Betawi untuk belajar kedokteran dengan
menggunakan sebuah kapal laut, hingga ahirnya Minke bertemu dengan Ter Haar dari
koran Lokomitif di Semarang , ia berkhotbah tentang segala tentang
kemajuan dan semangat revolusi namun berkhotbah dengan cara berbisik dengan
Minke.
Tentang pemberontakan di Filipina yang dipelopori oleh kaum
terpelajar sebagai agennya, bercerita tentang sosok dokter Joze Rizal sebagai
pendobrak semangat perubahan di Filipina, Ter Haar juga menceritakan kebusukan
atau muslihat dari Politik Etis atau politik balas budi yang di
canangkan kolonial hingga kapal yang ditunggangi mereka berdua sampai di
Semarang dan Minke dijemput oleh Van Duijnen dan membawanya ke Surabaya bukan
ke Betawi, hingga dalam perjalanan ke Surabaya Minke medapati “kereta roda-dua”
yang hendak memadati lalu lintas dimasa yang akan datang, juga membuat Minke
teringat akan sebuah rubrik pada kolom koran tentang akan adanya hal tersebut
dan itu terjadi karena ulah Don Quixote yang menggalakkan emansipasi dalam
teknologi pada negara Belanda. Perjalanan tersebut membuat Minke ahirnya pulang
ke Wonokromo lagi.
Sesampainya di Wonokromo Minke di kejutkan dengan kabar
kematian Robert di Los Angles disebabkan oleh “penyakit kotor” yang disebabkan
ia sendiri saat bersama Maiko dirumah bordir/prostitusi, dan yang lebih
mengejutkan adlah anak Minem merupakan anak dari Robert sendiri yang kini
menjadi cucu nyai dan minem semakin berkuasa dirumah nyai, hingga ahirnya
Robert dalam tulisannya pada lembar surat selanjutnya menceritakan kelicikan
Babah Kong sewaktu di Plesiran/rumah bordir, karena Babah Kong ingin menguasai
harta nyai dan merebut perusahaan nyai dengan sistem perbutan yang telah
dirundingkan bersama Robert waktu itu. Nyai dan Minke kembali menghadapi
persidangan yang memang tidak selayaknya persidangan karena apa yang seharusnya
menjadi tpoik persidangan melenceng jauh dan malah menyudutkan nyai dan Minke
tentang duduk persolalan pribadinya. Hingga Nyai menyimpilkan tejadi
persekongkolan antara jaksa dan Ir. Maurits yang hendak merebut segalanya dari
nyai. Namun dengan bantuan Nijman dan Kommer, perkara Robert dan Ah Tjong telah
selesai.
Beberapa waktu setelah persidangan Minem yang tempo hari
tinggal dirumah nyai atas pesan Robert kini memilih pergi bersama Tuan Devisch,
namun sebelum keberangkatannya Minem berjanji tidak akan berbicara macam-macam,
namun Minem meminta pesangon dari Nyai, dan nyai memberikan tetap bukan
bermasud membeli seorang bayi tetapi sebagi uang pesangon hasil kerjanya, dan
hal itu di saksikan oleh Tuan Raymond selaku penjemput Minem.
Hingga pada saat yang di tentukan Ir. Maurits Mallema dan
Amelia Mallema hendak berkunjung ke Wonokromo dengan maksud mengambil seluruh
harta kekayaannya yang kini di pegang oleh nyai sebagi gundik dari tuan Mallema
sebelum kematiannya. Kabar akan kedatanggannya membuat Minke meminta bantuan
kepada sahabatnya yaitu Kommer dan Jean Marais yang hendak membela Nyai
bersama-sama saat menghadapi Maurits.
Kedatangan Tuan Maurits menurut nyai terlalu basa basi
dengan banyak menyinggung soal kematian Annelis istri Minke, belum lagi dengan
bela sungkawa atas apa yang terjadi pada diri nayai sendiri, Nyai merasa ia
terlalu lama bermanis-manis hingga membuat mereka berempat bersama Darsam naik
pitam dan menggertak Maurits dengan gertakan kemanusiaan yang selama ini
dilupaka oleh Eropa yang selalu mengejar keuntungan.,
“jika kemanusiaan tersinggung, semua orang yang
berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang
yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana”. Suatu epilog yang
mengentakkan pikiran sadar manusia akan tiada berartinya sebuah pendidikan,
saat kemanusiaan dilupakan dan terlupakan, digeser dengan kepentingan,
keserakahan yang membuat jiwa tersebut pudar. Tak ubahnya binatang yang hanya
makan, minum, dan berkembang biak namun masih memiliki perasaan akan sesamanya,
tetapi manusia sejak dulu lupa siapa dirinya, dan untuk apa dirinya, ilmunya,
bahkan kekayaannya, selama ini. Keserakahan akan jabatan, dan harta adalah
tolok ukur awal manusia modern setelah mengalami masa peralihan dari zaman
feodal, identitas adalah perubahan itu sendiri yang merupakan cerminan segala
bangsa akan ragam watak kebudayaannya, semuanya tercuarah dalam Anak Semua Bangsa
yang nir-perbedaan, kerakusan yang tidak semestinya.
Ahonkbae, bacaan 08-02-2016 – 12-02-2016 di Arjawinangun.
Posting Komentar