[ads-post]



“Dengan rendah hati aku mengakui : aku adalah bayi semua bangsa dari segala jaman, yang telah lewat dan yang sekarang. Tempat dan waktu kelahiran, orang tua memang hanya satu kebetulan, sama sekali bukan sesuatu yang keramat”- Pramoedya Ananta Toer

Identitas secara administrasi merupakan sesuatu yang sakral, setidaknya untuk menggambarkan seseorang secara jelas keberadaannya dan adanya, selebihnya adalah pemadat dompet sebelum terisi oleh rupiah. Identitas tidak lain dan tidak di pungkiri adalah sebuah tanda dari mana seseorang itu berasal, meski dengan sebuah tulisan yang menuliskan tempat asalnya. Barang tentu belumlah identitas itu menjadi penting bagi sebuah bangsa yang sedang dipadati berabagai krisis yang terus menguat.
Ucapan terima kasih di layangkan kepada teman kamerad Noval Fansuri yang telah sudi meminjamkan buku tetralogi keduanya, juga tidak lelah bercerita tentang apa yang ada di dalamnya sebagai bumbu rasa penasaran saya untuk seera membacanya hingga selesai pada bagaian ahir. Kemudian saudara Muhammad Harits yang juga telah meminjamkan buku keduanya sebagai pelengkap halaman yang kurang jelas, semoga keduanya mendapat hari yang gemilang dari essensi sebuah bangsa yang kian hari kian menciutkan diri dihadapan penguasa bedompleng korporasi.
Anak Semua Bangsa ialah titik balik perjalanan Minke dalam menelusuri kehidupan kelas bawah dan observasinya menelusuri jejak kebenaran. Pada bagian buku pertama dituliskan bahwa Minke mendapatkan kesulitan dalam menghadapi Pengadilan Putih dengan berbagai muslihatnya yang mendorong Minke dan Nyai mengobarkan semangatnya dalam melawan ketidaksewenang-wenangan penguasa kolonial, dan pada buku yang kedua, dan di beri judul Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya Ananta Toer kembali sekaut/kepala kepolisian distrik, namun setelah bebas dari masa tahanan tersebut Minke sering menerima surat yang isi surat tersebut bukan hanya menyangkut masalah perusahaan dan pertemanannya dengan sesama lulusan H. B. S. Namun dari anak laki-laki Nyai Otonsoroh sendiri yaitu Robert dengan diketahui bahwa Robert memiliki perasaan terpendam kepada adik kandungnya sendiri yaitu Annelis, yang kini dalam kondisi sakit-sakitan karena banyaknya tekanan dari pihak-pihak yang ingin menghancurkan keluarganya. Di ketahui bahwa Robert telah menghadiahkan cincin bermata berlian kepada Annelis pada saat resepsi pernikahannya dengan Minke, dan sekarang Minke mengetahui bahwa cincin tersebut ialah ahasil curian dari Ezekiel yang merupakan toko emas di kota tersebut. Sehingga dari berbagai informasi yang di dapat bahwa cincin tersebut merupakan cincin yang di dapat dari hasil curian, maka Minke segera menyerahkan cincin tersebut kepada pihak yang berwajib dengan menceritakan semua kronologinya dari awal cincin itu ada padanya setelah acara resepsinya.
menggebrag saya untuk membacanya sampai bagian ahir buku. Didalamnya kisah pelik, licik, dan mencekik keluarga Nyai semakin menjadi-jadi, dengan permainan Tuan Mallema yang kian mendominasi buku kedua Pram tersebut. Sesudah di permainkan oleh hukum Nyai dan Minke ahrinya menjadi tahanan rumah selama dua minggu hingga apabila ada tamu maka tidaklah di perbolehkan kecuali dengan izin dari
Teman Minke yang begitu loyal kepadanya bernama Robert Jan Dapperste : nama yang menyandang wibawa dimata pribumi, sebenarnya adalah seorang pribumi sama seperti Minke, namun karena nasibnya yang beruntung karena angkat sebagai anak oleh seorang pendeta, kemudian setelah dewasa ia kabur kesana-kemari hingga ahirnya bertemu Minke untuk menjelaskan keadaannya yang kacau terlebih ia harus segera mengganti namanya yang ia sendiri merasa asing dengan nama tersebut. Kemudian ia menganti namanya dengan Paji Darman sebagai nama barunya juga sebagai identitas asli kepribumiannya, dan ia mendapat pekerjaan dari nyai Otonsoroh sebagai pengurus Palawija, namun dengan apa yang terjadi di rumah nyai ia di utus untuk mengawal Annelis menuju Nederland yang menanggung rasa tersinggung kaena keadilan, dan karena nyai dan Minke tidak memungkinkan untuk ikut menemani dikarenakan pekerjaan rumah dan urusan administrasi kolonial yang memaksa mereka berdua bertahanan di Wonokromo. Hingga di Amsterdam Annelis sakitnya bertambah parah, namun tidak sampai di stitu saja, jururawat Annelis di Amsterdam ialah orang suruhan dari Amelia Mellema-Hammers yang justru dengan dengan kehadiranya malah memperparah keadaan Annelis hingga ahirnya Annelis menghembuskan nafas terahirnya dinegri kincir angin tersebut, dengan keberadaanya di Amsterdam Panji dengan leluasa mengorek informasi yang berkaitan dengan orang disekitarnya saat berada di Wonokromo, seperti Mgda Peters yang terkenal dengan ke-liberal-annya hingga ia di mutasi dari H. B. S dan kembali ke tempat asalnya, juga mengetahui Robert yang sedang mendorong gerobak karena menjadi seorang kuli pelabuhan. Dan yang terpenting ialah Amelia Mellema tersebut telah memiliki perusahaan bernama Zuivel yang memproduksi barang-barang yang terbuat dari susu, dan bangunan perusahaannya pun tidak seperti milik nyai di Wonokromo yang besar jika di bandingkan dengan Zuivel milik Amelia.
Dengan berdatangannya surat kepada Minke dari teman-temannya atau bahkan dari musuhnya sendiri membuat minke memiliki ketertarikan tersendiri dalam belajar menulis menggunakan bahasa Inggris dengan seringnya ia bergaul dengan Nijman dan bertemu orang Tiongkok di kantor redaksi milik Nijman, dan Minke memulinya secara langung di kantor tersebut dengan mendengarkan interview antara Khouw Ah Soe dan Nijman kemudian Minke mencatatnya meski pada saat itu penguasaan bahasa Inggris Minke sangatlah minim, belum lagi ia mendapat kritik pedas dari sahabatnya Jean Marais yang meminta kepada Minke untuk bisa menulis dengan bahasa Melayu dan juga Jawa.
Karena Minke di besarkan dan dipola pemikirannya oleh Belanda atau Eropa maka dengan ia hidup bersama mertuanya yaitu nyai sendiri, maka Minke di bebaskan dari dogma Eropa yang masih bercokol dalam pikirannya, antara superior dan inverior, antara Eropa dan Pribumi, yang kesemuanya merupakan sebuah kontruksi kelas yang di bangun oleh Kolonial. Dan Minke juga belum begitu memahami apa makna Kolonial yang sebenarnya. Nyai dengan segudang pengalamnya menjelaskan kepada Minke setapak demi setapak hingga membuat Minke terkejut dengan apa yang dialaminya sebagai penindasan yang sama sekali berbeda cara penindasannya dengan pribumi yang biasanya. Setelah bertemu dengan Khouw Ah Soe, Minke semakin banyak mempelajari pergerakan melalui buku dan informasi yang diterima dari seorang penyelundup tersebut, Khouw Ah Soe merupaka seorang mahasiswa Tiongkok yang sedang melakukan studi lapangan yang hingga ahirnya bertemu Minke di Wonokromo.
Robert yang merupakan anak pertama nyai telah kabur dari rumah (sebagai mana diceritakan pada Bumi Manusia) dan sampai saat ini nyai tidak menyesal dengan apa yang di perbuat oleh anak laki-lakinya, karena nyai tidak heran dengan kelakuan anaknya jika berkaca pada ayahnya : Tuan Mallema, hingga suatu hari datang surat kepada nyai dari Robert yang menceritakan bahwa ia hidup dengan cita-citanya namun dengan berpindah dari satu kapal ke kapal yang lainya, namun ia enggan menyebutkan dimana ia tinggal dan menetap, bukan itu saja Minke juga menerima surat dari Miriam yang merupakan kenalannya sewaktu ia pulang kerumahnya menghadiri acara pengangkatan ayahnya menjadi seorang bupati, Miriam selalu bercerita tentang zaman yang baru dan serba baru yang didalamnya didominasi oleh teknologi dan menggantikan tenaga manusia. Dan yang membuat Minke terkejut ialah berita tentang pecurian benda-benda sejarah yang seharusnya dirawat oleh ahli warisnya yaitu bangsa Indonesia, seperti benda-benda peninggalan kerajaan yang diboyong ke Belanda.
Teman-teman Minke menekannkan pentingnya bahasa Melayu agar segera di kausai Minke dan bermuara pada tulisannya kelak, karena bagaimanapun bahasa ibu adalah bahasa yang umum bagi pribumi dan mudah dipahami oleh kalangan bawah sehingga Minke dengan leluasa bisa menyuarakan apa yang menjadi kegelisahannya selama ini juga sebagai bagaian tolok ukur Kolonialisme yang kian membabibuta dikalangan pribumi, namun Nyai mengajak Minke untuk keluar kota menggunakan kereta api dengan maksud membuang kepengapan atmosfir Wonokromo yang kian tidak bersahabat dengan mereka berdua, dengan Maurits Mallema yang menjadi momok bagi mereka berdua yang hendak merebut segala apa yang mereka miliki selama ini dari jeripayanya, dalam perjalannya Minke menemukan keunikan dari lokomitf tersebut dengan adanya kelas yang di ciptakan oleh Kolonial pada setiap gerbongya, seperti kelas satu untuk golongan kaya dengan ciri bersepatu, dan kelas dua diperuntukkan bagi kalangan menengah yang dicirikan menggunakan selop, dan golongan ketiga untuk kelas bawah dengan dicirikan tanpa alas kaki atau ceker ayam.
Dengan keadaan yang terus mendesak dari Kolonial membuat nyai dan Minke memutuskan untuk berlibur kedesa asal nyai yaitu di Tulangan, yang kebetualan pada saat itu Djumilah yang merupakan adik Sanikem atau nyai Ontosoroh mendapati kejadian yang sama seperti nyai yang hendak di serahkan pada tempo dulu oleh ayahnya, Djumilah didalam latar belakang pendidikannya hanya lulusan Volks School atau sekolah rakyat dengan jenjang 3 tahun, kemudian Surati anak dari Djumilah akan di serahkan oleh ayahnya bernama Sastro kepada Tuan Besar Kuasa bernama Plikemboh, dan ia tidak bisa mengelak karena ia hanya sebagau jurubayar dari perusahaan gulanya, Sastro merupakan potret pegwai yang takut akan atasannya yang dengan kuasanya hendak merampas kehidupan pribadinya, juga sebagai pegawai yang korup, dengan memiliki anggapan bahwa pegawai lain di bawahnya hanya pagawai baisa yang buta huruf, namun kemudian Sastro mendapat cobaan atau lebih tepanya ganjaran karena ketledorannya dan keterbelakangannya, Tuan Besar Kuasa Plikemboh mencuri uang perusahaan dan memutarbalikkan fakta bahwa Sastrolah yang mencuri uangnya dengan berbagai tuduhan hingga ahirnya Sastro terjerat hutang kepadanya untuk membayar upah kuli pabrik, belum lagi anaknya Surati yang harus di serahkan kepadanya yang kelak akan dijadikan gundik olehnya, hingga Sastro membubuhkan cap jempol diatas surat perjanjian yang dibuat oleh Plikemboh tanpa Sastro mengetahui isinya. Dengan Surati yang tidak bisa membantah kemauan ayahnya untuk di serahkan kepada Plikemboh maka Djumilah yang merupakan istri Sastro marah besar dan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengeluarkan sumpah serapah kepada suaminya yang lemah, hingga tidak lama kemudian terdengar kabar bahwa Tuan Besar Kuasa Plikemboh meninggal karena wabah cacar yang menghinggapi wilayahnya dan memaksa Surati pulang dengan keadaan yang memilukan.
Minke yang ikut bersama nyai menyempatkan diri berjalan-jalan menelusuri desa hingga menemukan sosok Truno dengan nama asli Trunodongso, nama Truno sendiri merupakan nama dari golongan pendekar dengan tafa’ul kepada keberaniaannya. Truno yang dalam keadaan terdesak karena lahannya akan di eksekusi oleh pihak pabrik dengan tipu muslihat berupa sewa yang merugikan pemilik lahan/tanah yaitu Truno, pihak pengeksekusi yang tak lain adalah Tuan Besar Kuasa Plikemboh yang telah mati, sewa yang dibayar dari satu bahu (7096,5 M2) pertahun sebelas picis, sedangkan ialah satu picis : 10 sen, dan dari satu bahu tanah di bayar 11 picis itu pun kurang, dan Truno memiliki lahan 5 bahu namun hanya menyisakan 2 bahu yang hendak di rampas oleh pabrik, dengan memulai observasi, Minke menginap di rumah Truno semalam dengan maksud mencari informasi lebih banyak apa yang di alami keluarganya dengan mencatat apa yang di lihatnya, dirasanya, dan di dengarnya.
Setelah mereka sampai kembali di Wonokromo, Minke bermaksud menyerahkan tulisannya mengenai Surati dan Truno kepada Kommer selaku sejawat Minke yang bekerja pada sebuah koran yang dengan harapan Minke suara Truno bisa didengar oleh seluruh dunia bahwa kelicikan-kelicikan telah menjadikan pribumi semakin terbelakang, Kommer memuji tulisan Minke, namun setelah di amati secara seksama juga dengan pengkrtisan lebih lanjut akan tulisan Minke tersebut, dan Kommer membacakan surat Kartini yang telah sampai pada Nederland sebagai acungan pertama emansipasi wanita. Dengan berabagi cerita yang di dapat oleh Minke melalui teman-temannya membuat ia terbius oleh romanitisme revolusi Prancis, namun cara Minke dalam meluapkan asprasinya melalui tulisan belum bisa di terima oleh kalangan bawah karena kesulitan bahasa yang mereka alami dan Minke belum mau untuk belajar bahasa mereka dan selama ini ia hanya di pesani untuk belajar bahasa melayu tersebut karena merupakan “pesanan” dari teman-temannya, belum menjadi kemauannya sendiri. Tapi bagi Minke, Jean Marais merupakan teman yang sejalan dengannya, hingga Minke selalu mengindahkan apa yang Jean ucapkan.
 Nijman, teman Minke selaku redaktur dalam sebuah koran membaca tulisan Minke sebelum diahirnya dicetak dan dibaca semua kalangan, tapi justru dengan pengritisan dari Nijman tersebut Minke berkecil hati karena apa yang ia tulis mengenai Surati dan Truno merupakan tulisan Smaad Schrift/atau tulisan fitnah, karena Minke belum memasukkan bukti-bukti konkrit akan adanya penindasan terhadap petani tersebut, sehingga Minke merobek semua tulisannya sepulangnya dari kantor, belum lagi bayangannya akan Nijman yang mengkorelasikan perusahaan Nyai dengan apa yang di tulis Minke, bahwa peruahaannya juga di bangun dari harta rampasan petani-petani, baik ladangnya atau juga tenaganya sehingga membuat nyai naik pitam saat mendengarnya dari Minke dan membuat nyai semakin sedih. Hal ini membuat Minke berasumsi bahwa media tidak memihak pada rakyat pribumi, namun secara terang-terangan memihak pada Tuan-Tuan pemilik modal. Beruntung Kommer sebagai sahabat Minke memberikan informasi terkait kecurangan media dalam membela rakyat, dan membuka kebusukan koran De Evenear yang sudah di boncengi kepentingan Kolonial, juga Kommer menceritakan kepada Minke bahwa ia bekerja pada koran komersil Kolonial, dari Bintang Surabaia ke D.D kemudia digugat namanya, dan berubah kembali menjadi S.N. v/dD hingga saat ini, sehingga membuat Minke terbelalak karena tanpa disadari ia telah masuk kedalam perangkap-perangkap media. Dan nyai Otonsoroh merasa bersedih karena selama ini perusahaan yang di bangunnya atas jerih payah petani yang dirampas oleh Mallema sebagai suaminya dulu.
Kini dalam perusahaan sendiri dalam sebuah konflik, konflik yang terjadi antar pegawai yang ingin naik pangkat menjadi mandor meski Nyai menilai etos kerjanya belum maksimal, ditambah ia telah membawa seorang bayi dalam pekerjaannya, dan ini dialami oleh Minem. Juga tertangkapnya Darsam sebagai keamanan rumah sekaligus keamanan perusahaan Nyai membuat Nyai semakin sedih yang membuat nyai terus bercerita kepada Minke tentang arti gelombang kehidupan.
Dalam keadaan yang di selimuti kesedihan Truno datang kerumah nyai bermaksud meminta perlindungan dari ancaman Kolonial yang telah merampas tanahnya, namun Minke berprasangka lain, bahwa kedatangan Truno hendak menagih janji dari tulisannya tempo hari, ketik Minke menginap dirumahnya, akan tetapi Truno meminta perlindungan dari ancama demi ancaman yang menimpa dirinya dan keluarganya yang diburu oleh Kolonial. Disaat yang berdekatan Minke bermaksud meninggalkan Wonokromo dan pergi menuju Betawi untuk belajar kedokteran dengan menggunakan sebuah kapal laut, hingga ahirnya Minke bertemu dengan Ter Haar dari koran Lokomitif di Semarang , ia berkhotbah tentang segala tentang kemajuan dan semangat revolusi namun berkhotbah dengan cara berbisik dengan Minke.
Tentang pemberontakan di Filipina yang dipelopori oleh kaum terpelajar sebagai agennya, bercerita tentang sosok dokter Joze Rizal sebagai pendobrak semangat perubahan di Filipina, Ter Haar juga menceritakan kebusukan atau muslihat dari Politik Etis atau politik balas budi yang di canangkan kolonial hingga kapal yang ditunggangi mereka berdua sampai di Semarang dan Minke dijemput oleh Van Duijnen dan membawanya ke Surabaya bukan ke Betawi, hingga dalam perjalanan ke Surabaya Minke medapati “kereta roda-dua” yang hendak memadati lalu lintas dimasa yang akan datang, juga membuat Minke teringat akan sebuah rubrik pada kolom koran tentang akan adanya hal tersebut dan itu terjadi karena ulah Don Quixote yang menggalakkan emansipasi dalam teknologi pada negara Belanda. Perjalanan tersebut membuat Minke ahirnya pulang ke Wonokromo lagi.
Sesampainya di Wonokromo Minke di kejutkan dengan kabar kematian Robert di Los Angles disebabkan oleh “penyakit kotor” yang disebabkan ia sendiri saat bersama Maiko dirumah bordir/prostitusi, dan yang lebih mengejutkan adlah anak Minem merupakan anak dari Robert sendiri yang kini menjadi cucu nyai dan minem semakin berkuasa dirumah nyai, hingga ahirnya Robert dalam tulisannya pada lembar surat selanjutnya menceritakan kelicikan Babah Kong sewaktu di Plesiran/rumah bordir, karena Babah Kong ingin menguasai harta nyai dan merebut perusahaan nyai dengan sistem perbutan yang telah dirundingkan bersama Robert waktu itu. Nyai dan Minke kembali menghadapi persidangan yang memang tidak selayaknya persidangan karena apa yang seharusnya menjadi tpoik persidangan melenceng jauh dan malah menyudutkan nyai dan Minke tentang duduk persolalan pribadinya. Hingga Nyai menyimpilkan tejadi persekongkolan antara jaksa dan Ir. Maurits yang hendak merebut segalanya dari nyai. Namun dengan bantuan Nijman dan Kommer, perkara Robert dan Ah Tjong telah selesai.
Beberapa waktu setelah persidangan Minem yang tempo hari tinggal dirumah nyai atas pesan Robert kini memilih pergi bersama Tuan Devisch, namun sebelum keberangkatannya Minem berjanji tidak akan berbicara macam-macam, namun Minem meminta pesangon dari Nyai, dan nyai memberikan tetap bukan bermasud membeli seorang bayi tetapi sebagi uang pesangon hasil kerjanya, dan hal itu di saksikan oleh Tuan Raymond selaku penjemput Minem.
Hingga pada saat yang di tentukan Ir. Maurits Mallema dan Amelia Mallema hendak berkunjung ke Wonokromo dengan maksud mengambil seluruh harta kekayaannya yang kini di pegang oleh nyai sebagi gundik dari tuan Mallema sebelum kematiannya. Kabar akan kedatanggannya membuat Minke meminta bantuan kepada sahabatnya yaitu Kommer dan Jean Marais yang hendak membela Nyai bersama-sama saat menghadapi Maurits.
Kedatangan Tuan Maurits menurut nyai terlalu basa basi dengan banyak menyinggung soal kematian Annelis istri Minke, belum lagi dengan bela sungkawa atas apa yang terjadi pada diri nayai sendiri, Nyai merasa ia terlalu lama bermanis-manis hingga membuat mereka berempat bersama Darsam naik pitam dan menggertak Maurits dengan gertakan kemanusiaan yang selama ini dilupaka oleh Eropa yang selalu mengejar keuntungan.,
“jika kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berpikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang memang berjiwa kriminil, biar pun dia sarjana”. Suatu epilog yang mengentakkan pikiran sadar manusia akan tiada berartinya sebuah pendidikan, saat kemanusiaan dilupakan dan terlupakan, digeser dengan kepentingan, keserakahan yang membuat jiwa tersebut pudar. Tak ubahnya binatang yang hanya makan, minum, dan berkembang biak namun masih memiliki perasaan akan sesamanya, tetapi manusia sejak dulu lupa siapa dirinya, dan untuk apa dirinya, ilmunya, bahkan kekayaannya, selama ini. Keserakahan akan jabatan, dan harta adalah tolok ukur awal manusia modern setelah mengalami masa peralihan dari zaman feodal, identitas adalah perubahan itu sendiri yang merupakan cerminan segala bangsa akan ragam watak kebudayaannya, semuanya tercuarah dalam Anak Semua Bangsa yang nir-perbedaan, kerakusan yang tidak semestinya.  

Ahonkbae, bacaan 08-02-2016 – 12-02-2016 di Arjawinangun.      

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.