[ads-post]


  Disinyalir mata dan telinga ini sakit jika selalu hadir kabar yang beredar tentang para tenaga kerja indonesia atau TKI banyak mengalami problema ketika mengais rejeki di negri sebrang, mulai dari kekerasan hingga pelecehan yang menimpa pekerja tersebut. Bukan hal yang tabu ketika media mengekspos hal yang berkenaan dengan permasalahan TKI tersebut, dan mengapa mereka sampai di perlakukan tidak manusiawi oleh majikannya? Bilakah motif yang menyebabkab hal tersebut berawal dari kelalaian dari pekerja tersebut maka pemotongan gaji bisa di berlakukan setelah beberapa peringatan atau juga pemberhentian kerja dan menyerahkan pekerja tersebut kepada agen penyalur di tempatnya, namun apabila dari pihak majikan yang memang melakukan hal tersebut dengan unsur yang bervariasi maka hukum akan bermain di dalamnya. 
Akan tetapi, melihat pejabat yang berwenang dalam menangani peristiwa tersebut menyerahkan segalanya begitu saja kepada otoritas hukum di negara yang bersangkutan, sepertinya tidak terlihat diplomatic pressure yang kuat dan wibawa sebuah bangsa, misalkan negara yang bersangkutan meminta maaf secara publik juga melakukan aksi hukum (menjatuhkan hukuman maksimal) atau aksi sosial (perlindungan dan santunan ) yang maksimal sehingga hubungan bilateral antar negara tetap harmonis, dan tidak menimbulkan aksi-aksi yang berlebihan di negara kita yang terlanjur "nasionalisme buta". Karena memang sudah ada badan atau instansi yang sudah menangani hal tersebut.
Kekerasan yang di alami oleh TKI kita bukan hanya sebatas kekerasn fisik seperti pemukulan atau di strika oleh majikannya yang harus menerima "ganjaran" pengobatan secara intensif, lebih dari itu sisi psikisnya juga akan selalu membayangi kehidupan mantan TKI tersebut seperti halusinasi, phobia bahkan rasa trauma berlebihan yang nantinya ia akan sulit bergaul dengan sekitarnya.
Seharusnya mereka mendapatkan jaminan atas apa yang mereka perbuat, sepertinya jaminan tersebut hanya terdapat di ruang negara ini yang kepastiannya masih menjadi teka teki layaknya Jamkesmas atau Jamsostek, dan terlebih kinerja kedubes yang seharusnya menangani dengan serius namun sudah sederet kasus belum juga mendapat perhatian serius, apa yang di lakukannya di balik meja? Entah itu jawaban pastinya.
Para imigran tersebut bukan tanpa alasan memilih untuk keluar dari bumi pertiwi, seperti gaji yang tinggi (dalam kurs), juga shortcut untuk kaya yang dalam mindset mainstream-nya lebih cepat jika bekerja di tanah tetangga namun bukan berarti di indonesia tidak memiliki lapangan pekerjaan, pekerjaan memang ada namun upah yang di terima belum seberapa bila di komparasikan dengan di luar negri, sehingga mindset "pahlawan devisa" sudah menjadi bubur basi namun terus di nikmati oleh agen penyalur. Karena bila tanpa segelintir orang yang mengais rejeki di negri tetangga pun income devisa tetap bisa di dapat dengan turis yang mengunjungi bumi pertiwi ini, namun upaya pemerintah yang kurang sigap pengawasaan akan fenomena-fenomena tersebut membuat negri ini semakin terpuruk dan terus mensuplay daftar kinerja terburuk di mata jeli rakyatnya.
Lantas di mana masalahnya kemudian : pada kualitas kepemimpinan, mekanisme dubes atau yang lebih krusial yaitu kondisi psiko-sosial kita? Dan ini tidak perlu di sounding oleh pemimpin atau dubes kita, akan tetapi oleh kita semua (rakyat) sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas sebuah negri.
"Wonosobo27J/09R"........x)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.