[ads-post]


Tiada hal di dunia ini yang baik-baik saja, terlebih kata makmur dan sejahtera, adalah hal semu eufemisme. Dengan beberapa indikator pendeknya dalah ketidakadilan yang berdampak pada munculnya embrio kekacauan di segala sektornya. Kemudian dalam bermasyarakat persoalan terus ada, dari persoalan keadilan antar personal maupun komunal, dan yang selama ini terjadi adalah ketimpangan yang tiada berujung. Seperti halnya sebuah pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, terdapat 225 proyek strategis nasional, 1 program PSN (Proyek Strategis Nasional), dan 30 proyek prioritas yang berasal dari Kementerian Keuangan. 30 proyek itu diatur dalam Peraturan Menteri Ekonomi Nomor 12 Tahun 2015 dan akan menerima fasilitas sesuai Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional. Namun keberadaannya seringkali berdampak negatif kepada kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitar. Seperti keberadaan sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang terus mendapat penolakan di berbagai daerah, seperti halnya dengan apa yang terjadi di Indramayu saat ini. 

Pembangunan yang sebenarnya hanya menguntungkan kepentingan kelompok menengah atas, justru harus mengorbankan ruang hidup manuisa di dengan kelas di bawahnya – lingkup ekonomi dalam skala prioritasnya. Hingga kemudian alam dan organisme di dalamnya mendapatkan suatu ancaman, ketika ruang hidupnya di alihfungsikan sebagai penopang kepentingan manusia. Dalam persoalan hari ini, buruh tani khususnya, sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Sebab “Dalam keterangan resminya, PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Tengah (UIP JBT) menjelaskan PLTU 2 Indramayu merupakan salah satu program infrastruktur ketenagalistrikan yang menjadi bagian dari proyek strategis nasional. Proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 X 1.000 Mega Watt tersebut mendapatkan sokongan dana dari Japan International Corporation Agency (JICA).[i] Proyek tersebut membutuhkan ratusan hektar tanah dan tempat yang strategis tentunya, seperti dekat dengan jalur utama pendistribusian dan juga laut, tentu  saja hal ini di maksudkan untuk menekan biaya produksi yang rendah, meski dengan konsekuensi akan menmatikan biota laut dengan limbahnya. Namun tentu saja akumulasi modal yang berjalan tidaklah stagnan, terelebih ini adalah proyek strategis nasional, sudah barang tentu akan memakan biaya yang sangat besar dari JICA tersebut, dan lagi-lagi negara akan berhutang demi hal ini. 

Oleh sebabnya, masyarakat yang menolak pembangunan PLTU 2 tersebut terus melakukan perundingan dengan pihak-pihak yang terkait, seperti Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hingga komnas HAM. Semua ikhtiar ini di lakukan guna mengantisipasi terkikisnya ruang hidup yang selama ini tempat bergantung mereka, dan apabila pembangunan tersebut dilakukan maka mereka tidak menikmati hasilnya, sebab dalam dunia industri klasifikasi pendidikan  serta life skill sangatlah di butuhkan, sedangkan mereka yang hanya status sosialnya sebagai buruh tani dengan pendidikan yang tidak masuk dalam klasifikasi industri akan tersingkir, dan lagi tidak bisa menikmati manfaat dari adanya pembangunan tersebut. Dan sudah barang tentu yang menikmati hasilnya adalah para investor yang telah menanamkan modalnya di sekitaran jalur pantura. Wilayah tiga, yang dalam hal ini ialah Indramayu, Cirebon, Majalengka dan Kuningan atau bisa juga di katakan Jawa Barat. yang hendak di jadikan sebagai pusat industri, telah di buktikan dengan adanya bandara dan jalur tol Cipali. Hingga saat ini, telah menjamur pabrik-pabrik baru, yang tentunya membutuhkan pasokan energi super, dan dengan di bangunnya PLTU 2  akan memudahkan dalam mengopersionalkan perusahaan. Lalu kemana mereka akan menggantungkan hidupnya apabila lahan produktif yang selama ini di garapnya di jadikan sebuah perusahaan bertaraf nasional tersebut?.

Peliknya persoalan agraria saat ini semakin tak tertahankan, konsesi dan pencaplokan lahan (land grabbing) yang merajalela, telah menambah daftar hitam bahwa negara sama sekali belum mensejahterakan masyarakatnya, kemudian apabila membicrakan keadilan, mungkin adalah persoalan lain. Sedangkan apabila membicarakan soal pembelaan terhadap ekosistem alam yang kini di rundung segudang persoalan, memang terdapat berbagai legitimasi atasnya, seperti seruan untuk menjaga dan melestarikannya. Dan setiap ajaran agama menghendaki para penganutnya agar dapat menjalin relasi harmonis dengan alam raya sebagai tempat dan sumber hidup baginya.[ii] Namun dalam relaitas belakangan, agama telah dijadikan komoditi serta hanya terjebak dalam ritual-ritual simbol (baca: ibadah mahdah), namun dalam persoalan semacam ini agama seringkali di kesampingkan, hingga esensi agama menjadi kering karenanya. Kecenderungan ini menjadi sebuah indikator atas kerakusan manusia kepada alam, dan bahwa alam hanya di persepsikan sebagai alat pemuas kebutuhannya – tanpa simbiosa. Eksploitasi alam yang kerapkali terjadi merupakan sebuah surplus atas animo kebutuhan setiap manusia, baik untuk kebutuhan dirinya, maupun dengan alibi sebagai penopang kebutuhan industri yang berdapak pada pendapatan negara. 

Lahan produktif yang kian hari kian berkurang kuantitasnya menjadi tanggungjawab bersama, memepertahankan serta mengolahnya demi kelangsungan hidup umat manusia di kemudian hari.
Dan apa yang menimpa warga Mekarsari Indramayu hari ini adalah satu dari sekian banyaknya representasi atas konsesi yang terjadi di Indonesia, meskipun dengan alasan perizinian serta perumusan atas Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) masyarakat terdampak tidak dilibatkan, dan hanya sebagian masyarakat yang dilibatkan dalam sidang pembentukan Amdal pada 2011 lalu, hal ini tentu saja tidak sesuai prosedur yang sesuai dalam masyarakat, biak dalam aturan konstitusi ataupun kebudayaan dalam masyarakat sebagaimana adanya. "Sebab, dalam proses penyusunan dan sidang Amdal PLTU 2 Indramayu tidak melibatkan warga yang terdampak langsung seperti dijelaskan dalam PP 27 tahun 1999 tentang Amdal,"[iii] yang kemudian hal ini juga terdapat perubahan dalam hal peraturan Amdal tersebut, antara 2010 dan 2015 yang telah berubah. Dan yang memilukan ialah kurang lebih 377 orang pemilik lahan dipaksa menyerahkan lahan mereka dengan dalih program pemerintah mewujudkan target energi listrik 35.000 mega watt. Kondisi yang kontras tentu dirasakan oleh sekitar 1.500 buruh tani yang bekerja di lahan tersebu karena terancam tak punya pekerjaan apabila PLTU 2 di bangun. Keadaan itu kemudian menjadikan warga yang terdampak melakukan unjuk rasa di berbagai lembaga, hal itu dimaksudkan untuk meminta keadilan atas apa yang terjadi pada ruang hidup serta ekosistem alam di sekitarnya.

Meskipun WALHI Jawa Barat menilai proyek pembangunan PLTU Indramayu 2 x 1000 MW di Desa Mekarsari cacad prosedur dan substansi.  Beberapa dasar izin lingkungan PLTU batu bara Indramayu 2 cacad prosedur dan substansi, adalah:
1. Bupati tidak berhak menerbitkan objek gugatan .Penerbitan objek gugatan dalam hal ini izin lingkungan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemerintahan Daerah serta Lampiran UU Pemerintahan Daerah Bagian No. I Huruf Y sub urusan nomor 1.
2. Bupati tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan izin lingkungan sehingga izin lingkungan harus dinyatakan tidak sah dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dari penerbitan objek gugatan dianggap tidak pernah ada.
3. Izin Lingkungan diterbitkan tanpa Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKLH). Sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 36 ayat (2) UU PPLH 32 tahun 2009, yaitu “Izin Lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup.”
4. Izin lingkungan diterbitkan tanpa Melibatkan Partisipasi Masyarakat yang Terkena Dampak. Sebagaimana diatur pada pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Izin lingkungan.
5. Objek gugatan diterbitkan berdasarkan pada dokumen AMDAL yang mengandung cacat hukum, kekeliruan, dan penyalahgunaan dokumen dan/atau informasi, sehingga cacat substantif. Diantaranya Rona awal lingkungan hidup,Penentuan besaran dan sifat dampak penting hipotetik,Evaluasi secara holistik terhadap seluruh dampak penting; dan RKL-RPL.
6. Penerbitan Objek Gugatan Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Selain itu Majelis Hakim menilai surat keputusan yang diterbitkan oleh Bupati Indramayu bukam merupakan kewenangan yang bersangkutan. Melainkan merupakan kewenangan DPMPTSP Indramayu. Sebagaimana tercantum di Perda No.15 tahun 2015 tentang Juklak Pelayanan terpadu Satu Pintu.[iv] 

Masalah tersebut terus hadir dalam masyarakat yang terdampak, upaya demi upaya penyelesaian belumlah mendapat jawaban pasti atas apa yang terjadi pada mereka, pro dan kontra adalah hal biasa dalam memandang sebuah permasalahan. Bagi meraka yang tidak terkena dampak atas pembangunan tersebut sudah barang tentu mendukung sepenuhnya, namun bagi mereka yang terkena dampak secara langsung tentu dengan sekonyong-konyong menolaknya. Serikat seperti Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (JATAYU) merupakan simpul konkrit, mereka yang menyuarakan penolakan PLTU 2 Indramayu tersebut, sebagian besar anggota di dalamnya merupakan buruh tani dan nelayan yang merasakan dapak dari adanya pembangunan energi listrik tersebut. 

Jatayu berperan sejak lama mengorganisir dan  bergerilya dalam penolakan PLTU 1 di Sumur Adem yang telah membawa mantan bupati Indramayu  sampai balik jeruji. Tentu saja peranan Jatayu di perhintungkan dalam hal ini. Militansi serta solidaritas yang terbangun dalam komunitas tersebut merupakan upaya membangun kesadaran kolektif masyarakat, sehingga dalam menghadapi persoalan mereka sudah terbiasa urun rembug dan mengesampingkan ego pada setiap anggotanya. 

Persoalan yang di alami oleh Jatayu merupakan sebuah permasalah pelik yang berujung pada sistem birokrasinya yang kusust, meskipun upaya fair telah dilakukan akantetapi pengabaian dari kasus tersebut tidaklah mendapatkan respon yang serius, mengingat dampak yang akan di rasakan bukan hanya pada manuia yang yang hidup di sekitaran PLTU tersebut, akan tetapi segala unsur yang bersentuhan langsung dengan alam pun merasakan impact dari limbah tersebut.

Krisis Udara Bersih  dan Kriminalisasi Petani

Silih bergantinya aksi dan mediasi yang dilakukan oleh kelompok Jatayu memberikan dampak yang signifikan, secara gradual mereka melakukan aksi damai pada setiap demonstrasinya, hingga kemudian surat pemberitahuan aksi yang di terima oleh pihak Polres Indramayu menjadi sebuah kemafhuman. Upaya aksi ini sebagai alasan terakhir apabila upaya mediasi sama sekali tidak mendapatkan respon dari pihak yang dituju. Dari aksi lapangan, di lahan sawah Mekarsari yang hendak dijadikan bangunan Pltu, hingga aksi pada di berbagai kantor dinas terkait. 

Mengingat dampak yang akan di rasakan oleh penduduk sekitar, udara yang tercemar hingga ancaman biota laut yang akan memutuskan mata rantai atas keberlangsungan mahluk hidup menjadi alasan esensial atas simpul penolakan tersebut. Mengingat bahwa dampak buruk dari asap Pltu mengandung hujan asam, green house efect, ispa atau gangguan pernafasan yang sudah barang tentu mengancam keberlangsungan kehidupan, terlebih jaraknya hanya 200m dari lokasi yang hendak di bangun Pltu dengan pemukiman warga. Meskipun, apabila di siapkan alat peredam atau setidaknya dapat meminimalisir atas dampak tersebut, tentu dengan sistem yang canggih, belumlah tentu dapat menjadikan suatu legitimasi atas kerusakan yang di sebabkan oleh dampak adanya Ptu tesebut. Walau “AMDAL sudah sedemikian rupa mengantisipasi dampak lingkungan. Salah satunya dengan piranti atau alat yang disebut FGD (flue-gas desulfurization).  Alat ini sangat mahal. Bisa mencapai kurang lebih 10% dari biaya investasi. Karena itu, tidak semua PLTU memakai alat tersebut. Tapi PLTU (Indaramayu) 2 pakai ini. Sebab ini bisa mengurangi banyak sekali SOx (sulfur oksida), dan dalam narasinya “PLTU Indramayu 2 juga akan dilengkapi "dua peralatan canggih" lain untuk menekan emisi, yakni DSP-CFT (dry solids pump coal feed technology) dan ESP (electrostatic precipitator),”[v] alat demikian hanya dapat meminimalisir, akantetapi,  dampak keberlanjutan dari adanya proyek tersebut sudah barang tentu akan mengaibatkan banyaknya mikroorganisme yang hidup dalam radius yang sedikit jauh dari adanya proyek tersebut. 

Sudah sepatutnya manusia yang sadar akan krisis udara bersih dan yang telah terkontaminasi oleh polusi menjadi tersadar, secanggih apapun proteksinya, sekuat apapun konstruksi yang di bangun untuk melindungi kehancuran alam, tetap saja alam memiliki cara lain untuk mendegradasikan siapa saja yang menentangnya. Naluri manusia memang tidak pernah puas akan apa yang telah menjadi miliknya, dan hal ini adalah alami, berangkat dari ego setiap individu. Namun dalam mengelola alam dengan segala kerunianya, setiap individu memiliki porsi yang sama, sebab semua yang di berikan alam merupakan karunia bagi setiap mahluk yang ada di dalamnya. “Berlaku adil sejak dalam pikiran” tukas Pramoedya Ananta Toer, meskipun keadaan ini kontras dengan realitas yang terjadi di sekitar kita, upaya pencaplokan lahan (land grabbing), konsesi serta konflik agraria yang saat ini berkembang mengakibatkan representasi atas tercapainya sebuah pemerataan ekonomi, terlebih monopoli kekuasaan yang semakin memudahkan akses birokrasi pada level elit politik didalamnya. Mengingat Perpres nomor 3 tahun 2016 mengharuskan para gubernur dan bupati untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional di wilayahnya. Dalam naskah yang ditandatangani itu, di dalamnya mencakup penanganan dampak lingkungan atas kegiatan pembangunan PLTU tersebut.[vi] Tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses perizinan, birokrasi mengabaikan hal-hal krusial saat ini. Meskipun dengan dalih percepatan pembangunan atau dengan argumentasi lain, tetap saja bahwa dampak terbesar dari hujan asam serta limbah yang dihasilkan dapat mematikan ekosistem yang terdapat di sekitar bangunan tersebut. Terlebih lahan tersebut merupakan lahan produktif dan juga tempat masyarakat menggantungkan kehidupannya. Sedangkan apabila mereka kehilangan lahan tersebut, hendak kemana mereka akan menggantungkan hidupnya?, meskipun PT. PLN  mengadakan Pelatihan yang diberikan bagi 27 orang Warga Terdampak Proyek (WTP) PLTU Indramayu tersebut, menurut dia, digelar bekerja sama dengan Indonesian Welding Association (IWA) dan berlangsung selama 10 hari, pada 21 sampai 30 November. Peserta pelatihan adalah WTP dengan rentang usia mulai dari 22 sampai dengan 35 tahun.[vii] Padahal yang lebih merasakannya ialah mereka yang bercocok tanam di daerah tersebut. 

Lebih memilukan lagi karena sampai hari ini dua orang pejuang lingkungan hidup dari Mekarsari menjadi sasaran kriminalisasi, dengan tuduhan pembalikan bendera merah putih. Seperti pada pasal 24 jo pasal 66 tentang lambang dan bendera Negara, dan bertepatan dengan Hari Tani Nasional (HTN) 24 September 2018 lalu, Sawin dan Sukma kembali mendapat surat panggilan dari polres Indramayu, kemudian pada tanggal 27 September 2018 Sawin dan Sukma dilimpahkan penyidik polres ke kajaksaan negeri Indramayu.[viii] Hal inilah yang kemudian menjadi tantangan solidaritas Jatayu serta aktivis Indramayu dalam mengawal kasus yang keliru tersebut. Bahwa dalam jargon Lumbung Padi yang di kumandangkan oleh pemerintah daerah tidaklah sinkron dengan realita di lapangan. Dari land grabbing yang berbuntut pada kriminalisasi petani menjadikan jargon tersebut tak berlaku sama sekali.

Ahonk bae     

*Pegiat literasi Street Art dan solidaritas Dermayu Ora Meneng (DOM).
         


[ii]  Febriani, Nur Afiyah, Ekologi Berwawasan Gender, Mizan Pustaka 2014; cet 1, hlm 114. 

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.