[ads-post]






Begitu gemerlapnya gudang musik di Tanah Air ini, akan tetapi sedikit meleset dari ideal-idealnya yang terpatri dalam sebuah rongga pendidikan yang semakin keropos, kemudian ditambah dengan perlombaan industri musik yang jauh dari nilai edukasi bagi bangsa yang semakin terdegradasi oleh westernian sehingga telah menjadi semacam dogma hedonis yang mengakar dalam benak anak muda, minimnya kesadaran, dan selera pasar atau konsumen yang dalam hal ini adalah pendengar telah menjadi satu nilai tambah dari sekian banyak indikasi dari berkubangnya pemodal rakus.

Melanglang buana dan berserakannya ijasah dalam laci kantor staf administrasi menambah kepiluan dari impack pendidikan yang juga ditopang oleh minimnya motivasi terhadap kesadaran berkebangsaan, dengan nilai plus “jaminan” pekerjaan yang hendak diperoleh oleh pendidikan berlabel kejuruan dan keahlian pada sektor-sektor tertentu, jika mau jujur terhadap kemunduran sebuah bangsa maka akar permasalahan tersebut diarahkan pada varietas pendidikan yang berkualitas, hingga sarat dengan kontras dengan apa yang didengar, dilihat, apalagi dirasa secara waras oleh akal sehat bila hari ini kuantitas adalah raja. Berlarut jaminan kepastian telah merombak, jika tidak merubah, mindset pelajar kearah budak “Bermental Pabrikan” dan dengan congkaknya berbudaya ala Barat ketika sepulangnya ke kampung halaman, bila hemoglobinnya berfungsi maka ia sadar bahwa Outscourcing adalah kepastian tanpa tandingan ditangan pemodal yang enggan kolep, juga dalam pendidikan moral yang implementasinya “bisu dihadapan layar monitor” terus menambah deret dekadensi sebuah luka yang ditanggung oleh sebuah bangsa yang dulu bijak dengan segala kearifannya, siapa mau memberontak kepada “pemilik batalion”? siapa mau diculik? Siapa mau hidup nomaden dengan ketentuan dibalik jeruji? Atau kini aktifis lebih sibuk berselfi saat demonstrasi dari pada meneriakkan kritik-kritik tajam yang menggoyahkan nyali pemerintah yang hendak mengeksploitasi. Berulang kali media masa terus menyeret berita yang memang telah di boncengi kepentingan yang pemilik modal, dan berita yang disajikan kepada pembaca tidak lebih dari rekaan jurnalis yang takut kelaparan, juga lebih merinding ketika sebuah kasus yang harus ditutup dengan kasus lain (baca:pengalihan isu) yang dalam benak konsumen media kini merupakan sesuatu yang absah jika terdapat hal-hal demikian. Kritik-kritik tajam yang dibangun dari sebuah paradigma industri musik hari ini begitu cemen dalam pembangunan karakter bangsa yang sudah terpuruk, jika tidak hancur dalam skala besarnya. Sos-Bud telah mengubah arah masyarakat menuju arah radikal dalam bertindak dan berfikir, lebih memprioritaskan sesuatu yang bersifat instan ketimbang meneteskan keringat yang bermuara pada setiap dagu pemilik rahangnya. Apalagi yang diharapkan dari sawah yang telah disulap menjadi pemukiman baru bertarat estate yang dikonsentrasikan dalam bilik-bilik desa, dan petani yang rela menjual tanahnya untuk kontraktor dengan harga yang tidak sepadan dengan apa yang terjadi kedepannya. semuanya berlandaskan materi hingga memunculkan pola konsumtif buta pada masyrakat, sehingga MEA adalah manuver terbaik, jika tidak sempurna, dalam usaha menghancurkan bumi pertiwi, karena roda perekonomiannya hanya di isi oleh para korporat serakah dan hanya mau membayar upah dengan dengan harga rendah jika tidak menekannya dengan Out scourcing, tapi watak progresif bangsa ini lebih menarik, dengan upah yang rendah dan biaya hidup yang tinggi tidak menciutkan nyalinya dalam memilih kendaraan sport bertaraf pembalap dan tenaga pacu besar, meski sia-sianya tenaga sebesar itu dalam kemacetan, tapi itu life style bangsa saat ini, atau juga nanti. Dan pemerintah hanya sibuk melaksanakan afair bersama pengusaha kaya yang dibelanya mati-matian pada setiap proyeknya, pada setiap gerbangnya dijaga oleh tentara bermodalkan senjata.

Jeruji berlari bersama Morgure Vanguard dalam memainkan distorsi yang tidak dominan dari pasar, dengan kritik atas analisis tajam sebagai penguat liriknya, juga tidak mendengarkannya pun tidak semesra saat mendengarkan lagu bernuansa cengeng, yang hari ini hafal besok hilang. Yang dirasa adalah kegelisahan, berkontemplasi panjang, juga tentu menciptakan trobosan untuk perubahan, tidak muluk-muluk dalam skala global, dari lingkungan sekecil keluarga dan teman disekitar pun bisa, dengan ketentuan, kemauan. Entah berseliweran bahkan sudah menjadi paradigma yang lekat dimasyarakat bahkan juga sudah menjangkit dunia akademis, apabila seorang yang hanya mengabdikan hidupnya untuk kehidupan sosial (baca: altruis), tidaklah bisa memenuhi kebutuhan sosial pribadinya. Betapa kelirunya persepsi tersebut, atau juga ada yang salah dengan konsep Max Weber dengan Pemimpin Kharismatisnya. Akan tetapi apa gunanya bisu dan lebih rendah jika bergumam dengan tanpa aksi nyata? Bangkit atau Binasa? Ditelan oleh muslihat jargon Go Green, di hempaskan oleh arus mayoritas yang memaksa tunduk ditangan-tangan borjuasi, dilemparkan pada neraka keterasingan, dan bermuara menghianati jargon bangsa sesungguhnya: Bhineka Tunggal Ika. Kembali pada ke-Indonesia-an, kembali pada nilai-nilai luhur, kembali pada falsafah ke-timur-an bukan sama sekali primitif, tapi kita bermain dengan intuitif yang sesungguhnya, dan idak terjebak pada arus dangkal globalisasi. Bangkit atau Binasa adalah sebuah tanggung jawab sosial dari sebuah pilihan menghisap atau terhisap.





Arjawinangun-Cirebon, 09 Maret 2016

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.