Beberapa hal yang sedikit menggelikan terjadi belum lama ini, razia buku
atau sweeping atas buku-buku yang di lakukan oleh beberapa orang
berseragam, pada Rabu 26 Deember 2018 yang mafhum kita asumsikan sebagai
seorang yang ‘gagah’. Dengan dalih yang
cukup mengesankan, bahwa buku di anggap sebagai acaman atas stabilitas sebuah
negara, seperti buku yang berbau Marxisme-Leninisme dan Mao-tsung atau lebih
tepatnya adalah kominisme, maka tindakan selevel sweeping pun di
galakan. Apa sebenarnya yang terjadi di negeri dengan euforia bahwa bangsanya
ingin sejajar dengan bangsa lain di negara-negara maju. Lebih dari itu bahwa
animo razia telah begitu menggebu dalam mengamankan buku-buku yang kiranya
dapat ‘merusak’ generasi bangsa. Begitupula dengan undang-undang yang
memfatwakan atas kecerdasan bangsa, terkesan kontradiktif dengan apa yang tejradi
belakangan.
Kita tentunya mafhum atau paling tidak hati nurani kita berkata ‘itu
prosedur atasan’. Memang hal demikian bukan hanya terjadi pada era dimana
sebuah bangsa di dorong untuk maju dengan menggalan program literasi pada
setiap lininya, sekali lagi meskipun terjadi kontradiksi, kita abaikan.
Kita flash back sebentar, bahwa pada UU No.4/PNPS/1963 yang dulu di
njadikan tendensi atas sebuah pelarangan buku di Indonesia telah menuai sukses
besar. Meski pun UU Pers No. 40/1999 juga menjadi komparasi atas UU63 Tersebut.
Di pucuk tahun 2009, pelarangan buku pun terjadi, 5 buku di larang beredar,
dengan asumsi yang sama – berbahaya. Pertama, Dalih Pembunuhan Massal:
Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto besutan John Rosa. Kedua, Suara Gereja Bagi
Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di
Papua Barat Harus Diakhiri karya Socrates Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra
Tak Membakar Buku: Suara Senya Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya
Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya
Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin
Ahmad. Dari kelima buku tersebut, entah apa yang di pikirkan oleh mereka
sebagai eksekutor sweeping atau dalang dari hal itu. Yang jelas bahwa
kemajuan peradaban sebuah bangsa di manapun di dunia ini tidak bisa menafikan
satu instrumen pengetahuan penting bernama buku.
Kemudian di Indonesia, pada masa Orde Baru juga menerapkan kontrol atas
pers yang point of view-nya meliputi lima hal; 1. Kontrol kolektif dan
preventif terhadap kepemilikan institusi media. 2. Kontrol terhadap individu
dan kelompok pelaku profesional seperti wartawan atau penulis melalui mekanisme
dan reguilasi yang ketat. 3. Kontrol terhadap produk teks yang di ciptakan,
baik pemberitaan ataupun buku. 4. Kontrol terhadap sumber daya, seperti halnya
monopoli kertas oleh penguasa. 5. Kontrol terhadap akses ke pers, berupa
pencekalan tokoh-tokoh oposan tertentu yang tidak di tampilkan dalam
pemberitaan pers.
Kemudian pada masa lalu, juga terdapat bibliokas, seseorang atau kelompok yang
berhasrat menhancurkan buku dalam skala kecil atau besar. Seperti penghancuran
buku yang terjadi di Sumeria sekitar 5.300 tahun lampau, yang disebabkan oleh
perang yang berujung pada pembakaran. Seperti halnya perpustakaan yang tak
luput dari kobaran api, mengingat bahwa perpustakaan adalah sebuah kuil ingatan
dari sebuah bangsa. Kemudian dalam Romawi kuno terdapat istilah damnatio
memoriae yaitu penjatuhan hukuman atas ingatan yang di golongkan tercela
atau mengganggu stabilitas kerajaan. Meskipunjuga terdapat genizah atau
tempat menyembunyikan, dan biasanya kata ini di gunakan untuk menyimpan ingatan
pada masa lalu oleh orang-orang Roma pada masa lalu.
Penghancuran buku mafhum terjadi, baik buku-buku milik umum atau pribadi,
dan penghancuran tersebut tentunya melalui beberapa fase melankolik seperti;
pembatasan, peminggiran, penyensoran, penjarahan, dan yang berujung pada
pembakaran. Namun hal demikian tidaklah tidak mungkin, apabila fenomena ini di
benturkan dengan sebuah kepentingan – politis misalnya. Fenomena ini juga
dikenal sebagai akulturasi ataupun transkulturasi, saat sebuah kebudayaan
memaksakan dirinya pada kebudayaan laindengan cara mencangkokkan ingatan-ingatan
baru pada masyarakatnya. Dinukil dari Umberto Eco, bahwa terdapat tiga bentuk
penghancuran buku di dunia ini. Pertama, biblioklas fundamentalis, yaitu
mereka yang tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan
tidak ingin orang lain membacanya. Kedua, bibliosida sebab keabadian
yaitu buku yang tidak di rawat dan mebiarkan buku rusak begitu saja tanpa ada yang
menyentuhnya, hal ini pernah terjadi di Italia. Ketiga, bibliosida sebab
kepentingan, yaitu dengan merusak buku-buku untuk menjualnya per-lembar atau
per-potong dengan tujuan laba yang lebih besar.
“Mungkin buku bukan dianggap sebagai media pencerdasan kehidupan bangsa,
melainkan sebagai elemen potensial yang mengganggu ketertiban umum”
Dengan berpijak dari kata bahaya, yang dalam term di definisikan sebagai
sesuatu yang (mungkin) mendatangkan kecelakaan (becana, kesengsaraan,
kerugian). Maka kita tarik kesimpulan sementara bahwa buku yang di anggap
berbahaya maka sama halnya dengan nuklir yang selama ini menjadi pusat
perhatian dunia sebab dampaknya. Sehingga dalam membendung upaya pembuatajn
nuklir beredar di tempat lain maka di lakukan upaya denuklirisasi dengan jalan
diplomatis antar negara yang memiliki kepentingan. Pun dengan buku yang selama
ini kerap kali di sweeping dengan sebab yang setara. Isu komunisme
begitu erat kaitannya dengan sweeping yang di lakukan oleh bibliokas dengan
dalih-dalih yang sama. Dan tak syak lagi penulisnya pun tidak hanya mendapatkan
stigma semata, lebih dari itu para penulis sejarah yang tak sejalan dengan
ideologi pemerintah di penjara atau bahka di deportasi.
Menjadi sesuatu yang janggal saat membicarakan kebebasan bereksperasi namun
di dalamnya terdapat ‘sensor’, meskipun dalam medium penunjang kemajuan sebuah
bangsa. Kemajuan sebuah peradaban tanpa di tunjang oleh sebuiah bacaan adalah
hampa. Dan menurut Dimam Abror,
kedidaksepakatan seseorang terhadap sebuah buku semestinya dilawan dengan
menuliskan buku tandingan.
pict by; google
Posting Komentar